Selasa, 11 Agustus 2009

FTZ Bikin Batam Sekarat (1)

Batam saat ini sudah sekarat. Sektor usaha yang menjadi core bisnis utamanya terpukul habis. Pengusaha pun kini dalam keadaan pasrah. Antara hidup dan mati. Sementara pejabatnya, sangat tidak care.



Poin menyeramkan ini saya dengar langsung saat diskusi dengan beberapa pengusaha papan atas di Batam, belum lama ini. Sorry, namanya tak bisa saya sebut di sini.

Saya baru tahu, bahwa diskusi ini dilakukan tiap mimggu, pesertanya pengusaha papan atas di batam dan beberapa asosiasi bisnis. Kesimpulannya, pengusaha Batam saat ini memang tengah kesulitan.

Selain terpaan krisis, juga kondisi dalam negeri sendiri yang kurang bersahabat pada iklim usaha, khususnya di Batam.

Penabuh lonceng kematian bagi Batam ini tak lain dan tak bukan aturan free trade zone yang tak jelas dan menyulitkan iklim usaha.

“Kalau hal ini tak direvisi, Pak, maka oil company akan hengkang dari sini dan kembali ke Singapura,” ujar salah seorang dari mereka.

Saya tertegun, “Oh ya? Buktinya apa?”
“Bapak mau bukti, nanti saya akan kumpulkan mereka, lalu kita ketemu lagi,” balasnya.

Salah satu poin dari FTZ yang tak jelas ini, soal pajak bea masuk barang ke dalam dan ke luar Batam. “Tak usah oil companie Pak, Ramayana Batam aja sekarang sudah kesulitan,” jelasnya.

Menurutnya, barang-barang Ramayana Batam diangkut dari Jakarta, dan ini kena pajak. Sialnya, saat mereka akan membawa barang ke cabang mereka di Tanjungpinang, juga kena pajak lagi. “Belum lagi aturan master list yang membingungkan itu,” jelasnya.

Apakah hal ini bisa diselamatkan, tentu bisa, bila pemerintah pusat dan daerah memiliki target yang jelas mau ke mana arah Batam ini ke depan.

“Selama ini kan tak jelas. Kalau kami protes, maka dibilang, kami manja, suka mengeluh. Padahal kami bukannya minta fasilitas, namun hanya ingin perlakuan secara fair aja,” urainya.

Coba bandingkan dengan Senzen, China atau bahkan Malaysia sekalipun. Mereka sangat wellcome pada dunia usaha. Asal mereka tahu ada peluang, maka akan disupport-nya habis-habisan.

“Lha kemarin saya ditelepon oleh menteri besarnya. Intinya, ayo berinvestasi. Anda mau apa, lahan? Izin? Pokoknya kami sediakan,” ungkap salah seorang taipan Indonesia ini.

Sementara di Indonesia, khususnya Batam, mengurus izin saja susahnya minta ampun. Di atas lain, di bawah lain.

“Sekarang pengusaha asing banyak yang kapok urusan di sini. Ada yang bilang, ‘ah biarin saja, nanti mereka juga pada balik.’ Pada balik gimana. Mereka sudah say good bye gitu!” jelas seorang pengusaha yang lain.

Contoh yang paling nyata, saat Petro China di Jakarta mengorder pipa minyak dari Batam, namun akhirnya berbuah kekesalan. Pasalnya, saat akan membawa pipa tersebut ke Jakarta, sulitnya minta ampun.

Kendala terbesar menyangkut perizinan keluar dari Batam, akibat aturan FTZ itu. Akhirnya, hingga deadline tak bisa dipenuhi.

“Perusahaan kami pun dapat wan prestasi. Mereka bilang, ‘Nah kan sudah saya bilang, your government payah.’ Akhirnya mereka bawa sendiri pipa dari China, sudah murah cepat lagi!” keluhnya.

Dari sini saya memotong, bukankah tiga bulan lalu Presiden SBY di Turi beach resort mengatakan, bahwa FTZ Batam sudah berlaku?

“Ya, saya dengar itu. Bahkan dia berkata Insyaallah bila saya terpilih lagi, FTZ Batam akan diterapkan. Namun mana buktinya?”

“Beda betul dengan zaman Pak Harto. Dulu bila Pak Harto berbisik, di bawah gemanya sangat kuat. Sekarang, di atas sudah pakai corong juga dicuekin,” jelasnya.

Soal tanggapan pemerintah yang asal ini, saya juga sampaikan pada mereka. Suatu hari saat wartawan menanyakan, kenapa FTZ Batam tak kunjung jelas? Sang menteri menjawab, “Kalau Batam minta keistimewaan (FTZ) nanti Gunung Kidul juga minta perlakuan sama,” jelasnya.

“Ha ha ha. Masak menteri jawabannya kayak gitu!” sergah salah seorang pengusaha. Menurutnya, Batam dan Gunung Kidul tentu berbeda. “Masak Gunung Kidul mau minta FTZ, bagaimana rumusnya, kan di sana bukan daerah berikat,” jelasnya..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Riza,

Nice story. Kalo kita kirim bahan2 bangunan dari Jkt ke Batam, apa kena pajak juga ? Trims.

BM