Selasa, 13 Oktober 2009

Berkunjung ke Markas Media Bawean

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya Berkunjung ke Markas Media Bawean berikut ini.




Baru saja saya tiba di Bawean, tiba-tiba ”Titit... titit....” Massage alert tone standard ponsel saya berbunyi. Ada SMS dari Abdul Basit, Pemred Media Bawean.

”Bapak, jadi berkunjung ke Media Bawean?” bunyinya.
”Untuk apa ya?”
”Lho kan Bapak guru besar kami, jadi wajar dong berkunjung ke mari?”
”Baik, nanti jam delapan (20.00) saya datang,” balas saya. Pembicaraan selesai.

Hingga akhirnya pukul 20.00 saya menepati janji. Motor yang saya kendarai pun parkir di sebuah deretan bangunan petak. Saya hitung ada empat petak, tiap petak berukuran sekitar 4 x 4 meter.

Pintu bangunan ini, menggunakan pintu geser ke atas dan ke bawah. ”Oh, di sini rupanya markas yang menjadi gudang ide pembangunan pulau Bawean itu?” gumam saya dalam hati.

Kantor ini treletak di Jalan Pendidikan Sawah Laut, tepat sebelah selatan depan Rumah sakit Sangkapura. Malam itu, kantor media Bawean cukup terang oleh temaram lampu led hemat energi Sinyoku, setara 80 watt.

Tanpa ragu saya masuk. Kantor ini hanya terbagi dua ruang, yang hanya diskat oleh triplek. Ruang redaksinya menghadap ke jalan, dilapir sebuah kaca hitam, mirip studio radio. Di sini, ada sebuah komputer layar cembung dan sebuah laptop.

Di dalam ada seorang lelaki berbadan subur, mengenakan pakaian bak kaum santri, sarung kotak, baju koko warna kuning, berpeci haji bersulam benang emas, sedang mengutak atik sebuah laptop.

”Ah, pasti ini Abdul Basit itu,” pikir saya menebak. Sekadar diketahui, saya belum pernah bertemu langsung dengan Basit. Hubungan kami selama ini hanya melalui SMS, telepon atau chatting di Facebook.

Makanya saya agak bingung juga, ketika dia meminta saya menjadi guru besar Media Bawean yang luar biasa ini. Ya sudahlah, saya saya terima saja. Semoga saja menjadi ibadah.

”Assalamualaikum...”

”Wa alaikum salam,” lelaki subur menjawab, lalu itu bangkit dari duduknya, badannya setengah membungkuk, lalu menjabat tangan saya, lalu bekas telapak tangan saya dia cium.

Saya bingung. Siapakah saya ini? Apakah setan sifat Malaikat, atau seorang malaikat bersifat syetan bak kisah Harut Marut?

”Slamat datang bapak,” sambutnya, suaranya lembut pandangannya tetap tertunduk.
”Terimakasih,” balas saya. ”Oh benar ternyata dia Basit,” bisik saya dalam hati.

Kemudian Basit mempersilakan saya duduk di kursinya. ”Sudah kita duduk di sini saja,” balas saya, sembari menunjuk ke sebuah tikar Bawean yang terhampar di ruang tersebut.

Dari wajahnya, tikar ini amatlah multi fungsi. Kadang sebagai alas para tamu yang hadir, tempat makan, bahkan juga tempat tidur Basit bila kantuk menjajah.

Selanjutnya kami terlibat perbincangan hangat. Sebuah kipas angin duduk, menggeleng ke kanan dan kemari, memberikan hawa sejuk dalam perbincangan itu.

Saat itu saya berpesan agar Basit, sebagai pengelola Media Bawean, tak larut dalam sanjungan dan alergi kritik bahkan hinaan.

Karena orang yang kerap menerima kritikan memiliki energi lebih dari orang yang terbiasa disanjung atau orang-orang yang mengkritiknya.

Oleh karena itu mengapa tak ada orang besar yang tumbuh dari hasil mengkritik. Orang besar itu umumnya tumbuh dari hasil membangun dan menguatkan orang lain. Watawa saubil haq, wa tawa saubissabr.

Selanjutnya kami membicarakan banyak hal. Sejak malam itu, saya sering bertandang ke markas media Bawean ini. Saya pun tak merasa kesepian, karena suasana di sekitar Media Bawean cukup ramai. Kadang saya mendengar ada sekumpulan orang bercanda, tertawa kecil, atau orang yang sedang membuka tutup pintu. Pokoknya semarak.

Namun, setelah lama-lama saya mulai merasa aneh. Saat akan pulang, saya perehatikan lagi, kantor Media Bawean ini terpencil, terpisah dari perkampungan dan rumah penduduk.

Yang lebih aneh, bangunan di sebelahnya masih kosong. Juga tak ada yang menggunakan pintu engsel, melainkan slidingdoor. Lalu, dari mana asal suara-suara itu?

Penasaran saya tanya ke Basit. Menjawab keanehan saya ini, dia hanya tersenyum. ”Ah itusih hiburan saya sehari-hari. kadang saya mendengar ada segerombolan orang tawuran di belakang,” jawabnya.

”Emang di belakang itu ada perkampungan?”

”Tak ada Bapak. Tepat di belakang kantor ini adalah taman pemakaman umum!”

Saya terhenyak mendengar jawaban ini.

”Tak takut sendirian di sini?”

”Tidak Bapak, saya santai saja. Tiap malam saya kadang pulang di atas jam 12 (dini hari). Saya berperinsip, tak ada orang mati gara-gara diganggu setan. Jadi kenapa harus takut?”

Foto: Saat berkunjung ke dapur redaksi Media Bawean.

-----------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya selama berlibur ke Bawean di blog ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya baca dari awal sampai akhir tulisan Anda begitu sangat berkesan, jadi pengen main-main juga ke Markas besar MB. mudah-mudahan bisa terlaksana.