Senin, 19 Oktober 2009

Makan di Kelong

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah Makan di Kelong berikut ini.


Ini adalah secebis kisah dari ekspedisi keliling Bawean yang saya lakukan bersama Basit, Pemimpin Redaksi Media Bawean. Ada sisi lain yang menarik, selain kisah amburadulnya jalan sepanjang jalur yang kami lalui, yaitu soal kisah hunting makanan selama perjalanan.

”Gruukkk.... grukkk...”

Perut ini tak berhenti berderak, saat jam tangan sudah menunjuk pukul 11.30. Lapar. Mana matahari sedang panas-panasnya, sampai dua punggung tangan saya terbakar. Rasanya perih dan gosong.

”Di mana makanan khas yang enak pak Basit?”
”Di mana ya Pak, mungkin di daerah Tambak.”
”Aku dengar ada rumah makan kelong yang mantap?”
”Oh itu di Pangge, Pak setelah Tanjungori,”
”Apa memang enak?”
”Kabarnya begitu,”
”Ayo kita ke sana,” ajakku.

Brum.... roda-roda motor itu melaju, tubuhku berguncang lagi, menghindari lubang menganga dan batu tajam yang menlintang. harus konsentrasi penuh rupanya. Sudah lama lebih 8 tahun saya tak offroad, eh di sekarang malah kejadian. Padahal, saya pikir jalannya mulus.

Hingga sampai di dusun Dedawang, Teluk Jatidawang, Basit membelokkan sepedanya. ”Kita mampir dulu ke Tellok Jhete di sana ada sentra produksi pindang,” ujarnya. Akupun mengangguk.

Tak lama, kami sampai ke sebuah kampung nelayan. beberapa perahu tampak parkir di pantai, yang menghadap langsung ke Pulau Cina.

Saat saya memarkirkan sepeda motor, bau ikan pindang sudah menyengat.

Selanjutnya Basit mengajak saya ke sebuah rumah berdinding bambu. Ukurannya cukup besar. Dari dalam, asap tebal mengepul. ternyata di sana ada seorang wanita setengah baya, sedang mengukus pindang.

Di dalam rumah itu, ada puluhan tungku yang di atasnya bertengger sebuah kendil (kette) ukuran kecil. Dalam kette itulah, ikan pindang dimasukkan bersama garam, lalu dikukus dengan kayu bakar.

Puas melihat-lihat, kamipun berangkat kembali menuju Tambak. Setelah berguncang-guncang lagi, melakukan manuver-manuver lagi, akhirnya tiba juga di kota kecamatan Tambak. Tepat di pasar, saya meminta Basit berhenti. ”Kabarnya di sini ada empek-empek yang lezat?” tanya saya.

”Oh iya Pak, tadi udah tertinggal di belakang,”
”Kalau begitu, ayo balik lagi,” ajak saya. basit pun setuju.

Di sebuah warung pinggir jalan, saya memborong empek-empek. Buat oleh-oleh setibanya di rumah, Sangkapura. Namun untuk mengganjal perut yang lapar, saya memesan bola bakso (pentul) yang langsung saya santap di teras rumah dekat toko itu. ”Wah mantap, rasa ikannya terasa sekali,” seru saya, sembari meneguk hampir setengah botol sedang air mineral.

Setelah puas, perjalanan dilanjutkan kembali. Di sebuah daerah bernama Labuhan, Basit menghentikan sepeda motor. Sekitar 1 km dari pantai, saya melihat lima yacth (perahu pesiar) sedang berlabuh. ”Itu milik turis Belanda, Bapak. Mereka kerap ke mari,” jelas Basit.

Sementara itu, tepat di depan saya, sebuah kapal tongkang bersandar di pantai Labuhan yang landai. Di belakangnya, tampak sebuah tug boat. Lama saya mengagumi pantai ini, hingga akhirnya kami berganjak lagi.

Kali ini menuju ke Bandara Bawean, yang berada di desa Tanjungori. ”Sebentar lagi sampai,” jelas Basit. Soal kisah di bandara sudah saya tulis di blog ini sebelumnya.

Setelah dari Bandara. Nah, ini dia, tibalah saatnya untuk menjamu selera yang sedari tadi tertahan.

Selepas Tanjungori, roda-roda motor kami terus melintas di sepanjang pantai. Hingga dari kejauhan saya melihat sebuah rumah panggung berbahan bambu, berdiri di pantai agak menjorok ke tengah laut yang dihubungkan dengan jembatan yang juga berbahan bambu.

”Ah, mungkin itu yang dimaksud rumah makan kelong itu,” pikir saya.

Ternyata benar, Basit memarkir sepeda motornya. Saya lihat, posisi bangunan ini tepat diseberang pintu masuk ke situs Nyai Zainab, Desa Ponggo, desa yang satu-satunya di bawean memiliki bahasa endemik; berbahasa Jawa aksen Bawean. Selama dasawarsa, bahasa orang Ponggo tak terpengaruh Bahasa Sumenep, bahasa orang Bawean pada umumnya.

Di tengah deraan rasa lapar, saya masuk ke kelong itu. Namanye cafe Pantai Losari Diponggo.

Saya lihat bagunannya cukup apik. Di sebelah kiri pint masuk, terpasang parabola ukuran sedang yang ditopang sebuah pipa besi.

Sebelum masuk, kita diminta meninggalkan alas kaki di pintu masuk. Di dalam saya lihat aneka meja khas jepang, berjejer rapi. Ya, konsep rumah makan ini memang lesehan. Sebagai alasnya, pengelola membentangkan karpet dan tikar.

Bangunan kelong ini terbagi dari bangunan induk tempat pengunjung memesan makanan, dan bangunan pelengkap di belakang.

Di sini, tempatnya yang lebih elok. Dari sini, sembari menyantap hidangan, pengunjung dapat menikmati pemandangan laut yang indah, berlatar belakang perkampungan nelayan dan perahu-perahu kecilnya. Sungguh indah. Terpaan angin sepoi-sepoi menambah syahdunya nuansa.

”Makan pak?” seorang wanita berbadan subur, berusia 40-an tergopoh-gopoh menghampiri.

Saya pun melihat menunya. Semula kerangka otak saya berpikir, bahwa menunya tak jauh dari sari laut, sebagaimana khas masakan kelong. Tapi ternyata apa yang saya temui, berbeda sama sekali. Di sini yang ada malah nasi lalapan. Wah, kok jadi macam di pegunungan saja.

”Ya udah, saya pesan ayam penyet dan jeruk anget,” pinta saya. Sementara Basit pesan Indomie goreng dan es soda gembira.

Tak lama pesanan datang. Perlahan saya cicipi bersama beberapa daun kemangi, wah.... nasinya masih hangat, berasnya cukup pulen. Sementara daun kemangi yang magis, memberikan rasa yang atraktif. Excellence!

Lalu saya coba mencicipi ayam gorengnya, wah..... krenyes di luar, namun juicy di dalam. Mantap.

Saat tiu saya melirik Basit, wah, tampaknya dia juga sibuk menikmati mie-nya. Saya lihat, mimik wajahnya yang bulat bersemu merah. "Tambah nasi Pak Basit?!"

"Emh... Empon, ento la cokop. Ghik kenyyang bule, pon mare adheer kan engghellek (Udah, ini udah cukup. Saya masih kenyang, tadi juga baru sarapan," jelasnya.

Selanjutnya saya terus bereksperimen. Apa jadinya bila dua paduan ini saya cocol dengan sambalnya. Ah... Saya ambil bagian kecil, dococol, lalu ambil nasi di ujung jari, yak... siap disantap. Hasilnya?

Uwaaaahhhhhh... Mantap sekali, rasa ayam yang lembut dan krispi tadi, berpadu dengan pulennya nasi, dan tersentuh rasa sambal yang manis sedang dan godaan cabe yang lembut. Sungguh sebuah paduan yang cakep banget.

Sayapun sampai-sampai memanggil penjualnya. ”Wah, mantap banget sambalnya. Tolong dibungkusin ya, mau saya bawa ke Sangkapura,” pesan saya. Luar biasa.

Agar rasa cabe tak nempel, saya basuh lidah ini dengan irisan timun. Blezzzz.... Emh... Mantap, sensasi seger langsung terasa.

Terakhir, saya lengkapi sapuan makan-makan ini dengan meneguk hangatnya jeruk nipis peras. Wah.... benar-benar segar. habis pedas pedas, langsung dibasuh dengan yang segar. Tenggorokan ini jadi enteng kembali. Pokoe maknyus.












------------

Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini...



1 komentar:

esont mengatakan...

lempo...lempo...he he he...