Senin, 12 Oktober 2009

Salat di Surau Kampung

Terhitung hari Senin 28 September - Kamis 8 Oktober, saya berlibur ke Pulau Bawean. Banyak kisah unik yang berhasil saya rangkum di pulau yang berada 80 mil utara Jawa Timur itu. Seperti kisah saat saya Salat di Surau Kampung berikut ini.


Pulang kampung, jangan hanya muas-muasin lidah dan raga saja, jiwa dan ruh juga dong.

Inilah prinsip yang masih saya pegang. Hingga ketika memiliki ksempatan pulang ke Bawean, saya bisa melampiaskan dahaga akan ruh Rabbani ini lebih lekat lagi.

Maklumlah, di Batam saya tinggal di sebuah komplek yang jauh dari masjid. Jadi nuansa religiusnya agak sedikit berkurang. Untuk ingin mengetahui apakah saat ini sudah masuk waktu salat saja, saya harus memutar radio. Atau bila terlewat, melihat jadwal salat di Batam Pos. Sedih. Banget.

Beda dengan di Bawean, rumah kami di sana dikelilingi masjid-masjid besar. Yang paling dekat adalah Masjid Jami Sangkapura.

Bila saat waktu salat tiba, suara kaset orang melantunkan ayat suci Alquran menggema di mana-mana. Apalagi saat azan tiba, lantunan suara beraneka langgam dan vokal pun terdengar yang disusul dengan puji-pujian aneka rupa. Pokoknya meriah.

Yang paling nostalgik dan sangat saya sukai adalah, mendengar lantunan tahrim dari Masjid Jami, sebelum azan subuh berkumandang. Untuk yang saru ini, saya tak mau melewatkan. Sehingga, saat saya pulang saya selalu bangun pukul 04.00 pagi.

Aduh, saat mendengar ayat demi ayat dibaca, rasanya bulu kuduk saya berdiri, merinding, seolah ada Malaikat Izrail datang menyapa. Kadang tak terasa air mata ini berlinang.

Saya sendiri hingga saat ini tak paham, mengapa hal ini terjadi. Yang jelas, bila tahrim berkumandang tanpa dikomando air mata ini luruh. Padahal yang suara tahrim tersebut berasal dari kaset. Namun justru itulah yang bikin diri ini bergetar. Bila dilantunkan secara langsung, malah getarannya kurang, maklumlah, yang membaca tahrim asal-asalan, tanpa memperhatikan tajwid.

Kebiasaan saya yang lain, adalah salat berjamaan di surau kampung Kotta, tempat darah saya pertama tumpah dari rahim ibunda. Waduh, rasanya sangat syahdu, seolah salat di Masjid Haram saja.

Di surau inilah masa kecil saya dihabiskan. Utamanya pada bulan Ramadan, dulu, saya dan kawan-kawan menjadikan surau ini sebagai rumah kedua. Taraweh, tadarus, bahkan tidur pun di sini. Nuansanya sangat hidup dan makmur.

Dulu surau ini berbentuk rumah panggung dari kayu, namun sejak tahun 90-an bangunannya dirumbak dan diganti berbahan tembok. Seiring berubahnya bangunannya, surau ini juga tak lagi semakmur dulu.

Dulu saat salat Maghrib dan Isya jamaahnya berlimpah. Sekarang hanya lima orang saja. Umumnya yang datang yang rumahnya berada di dekat surau ini. Itupun udah tua-tua.

Seiring zaman, imam surau ini pun berganti. Dulu imamnya adalah Pak Muhammad, kiai yang sangat saya banggakan. Kami memanggilnya Mama, kependekan dari Rama dalam bahasa Indonesia berarti bapak.

Kini, setelah Mama mangkat, surau ini diteruskan oleh anak-anaknya. Kadang yang jadi Imam adalah Maswadi, teman sebaya saya. Kadang juga Kak Dullah.

Syukurlah. Saya bangga akan sikap istiqomah keluarga Mama dalam menjaga surau ini tetap hidup.

Ya, semua berubah. Meski demikian, kenangan itu masih tetap lekat.

Karena itulah, pada hari Selasa 6 Oktober lalu, saat menyempatkan salat Isya di surau ini. Saat itu, Kak Dullah yang jadi imam. “Silakan,” kata kak Dullah meminta saya jadi imam. Namun tawaran ini saya tolak dengan halus. Soalnya, saya ingin merasakan kesyahduan menjadi makmum, seperti saat-saat dulu.

Saat itu saya mengambil tempat dekat mihrab, tepat di belakang imam. Hingga akhirnya salat selesai ditunaikan, mata saya menyapu seisi ruang. Di kanan dan kiri gerbang mihrab imam itu saya melihat lafal Allah dan Muhammad, terpajang.

Namun saat melihat lebih ke atas lagi, ternyata di atas antara lafaz itu terpampang sebuah jam bergambar dua orang calon bupati Gresik (kini telah terpilih), bertuliskan “KH Robbach Maksum dan HM Sastro Suwito Pemimpin Pilihan Rakyat Gresik.”

Sayapun langsung gusar. Waduh, ternyata saya salat menghadap gambar dua orang ini. “Wah, macam orang Ko*****u saja, beribadah harus menghadap gambar,” pikirku.

“Sekalian saja di surau ini dipajang gambar garuda Pancasila, Presiden dan wakilnya, Gubernur dan wakilnya, pak camat dan sekcamnya, kalau perlu pak Kades dan bu Kades, pak kasun dan bu kasun, atau pak hansip dan bu hansip,” selorohku dalam hati.

Hingga setelah para jamaah tutun, saya menanyakan pada Kak Dullah, “Apa masalahnya kok jam bergambar Robbach Maksum dipasang lebih tinggi dari lafaz Allah dan Muhammad?”

Kak Dullah pun tersenyum. “Entahlah, itu siapa yang pasang,” ujarnya.

Selidik punya selidik, rupanya jam itu hadiah dari tim sukses Robbach Maksum untuk dibagikan pada masjid dan surau di seluruh Gresik.



Simak terus kisah-kisah unik lainnya di blog ini
.

1 komentar:

esont mengatakan...

ha ha ha ha..semangat memakmurkan masjid /surau yg hilang.