Kamis, 10 Desember 2009

Brita Prita

Prita Mulyasari. Wah, siapa yang tak mengenal nama ini. Sosoknya belakangan ini sudah setara dengan artis papan atas.


Prita adalah sebuah sosok baru yang muncul dari sebuah lakon baru di negeri telenovela ini, menyusul kesuksesan "seniornya", seperti Inul daratista, Maria Eva,
Rhani Juliani dan Manohara.

Terus terang, saya sangat bersimpati dengan derita Prita, seorang ibu rumah tangga yang dijerat hukum hanya gara-gara curhat melalui email kepada rekannya, tentang pelayanan dokter Rumah Sakit Omni Internasional.

Tentu saja, nasibnya mendapat simpati dari para peselancar dunia maya, hingga akhirnya membuat sebuah gerakan di jejaring sosial yang mengundang beragam tangapan simpati dari semua pihak, termasuk para politisi top negeri ini.

Akhirnya, kasus Prita berakhir damai. Namun baru-baru ini, dia digugat secara perdata dan harus membayar denda Rp204 juta. Sungguh terlalu.

Simpatipun kembali datang, bahkan kali ini lebih dahsayat. Adalah seorang blogger yang menggalang dukungan dengan mengumpulkan sumbangan koin untuk Prita.

Bak dikomando, rakyat di negeri yang memang sangat penuh kasih ini, kembali menyumbang. Di mana-mana, koin untuk Prita pun terkumpul.

Hingga satu minggu, jangankan hanya Rp204 juta, malah sudah menyentuh angka Rp500 juta. Luar biasa.

Ini adalah sebuah fenomena, bahwa perhatian kecil mampu membuat sebuah perubahan. Dan memang, akhir-akhir ini terbersit kabar, RS Omni akan mencabut gugatan perdatanya itu.

Inilah sebenarnya substansi kasus tersebut. Sekali lagi, saya sangat bersimpati.

Namun, akhir-akhir ini rasa simpati ini agak sedikit tergerogoti, manakala Prita mulai -sadar atrau tidak- menikmati popularitasnya tersebut. Lihat saja, akhir-akhir ini Prita sering tampil di televisi, koran dan majalah.

Pagi lihat Prita nangis, siang lihat Prita nangis, malam lihat Prita nangis.

Bukan di segmen straight news, namun sudah yang sangat pribadi. Hingga akhirnya keluarganyapun diboyong ke layar kaca. Jauh dari kupasan alur kasus yang terjadi.

Inilah yang membuat simpati saya luntur. Ternyata, saya tak sendiri. saat ini sudah mulai muncul keluhan atas tingkah Prita yang mulai menikmati popularitas ini. Tanggapan miring pun mulai timbul.

"Wah enak ya Prita, udah kaya dia. Modal gitu doang dapat Rp500 juta!"

Ada lagi yang bilang, "Prita itu aslinya kan orang berkecukupan, kenapa bukan nenek yang divonis mencuri kakao saja yang dibantu? Orang yang benar-benar miskin." Dan lain-lain.

Memang sih, Prita mengatakan akan menyumbang uang tersebut pada orang kecil yang tertindas, namun terlalu besarnya dia menikmati popularitas membuat orang lain agak risih.

Dari kasus ini, mestinya Prita harus mampu membatasi diri dengan hanya muncul saat momen berita langsung saja. Muncul, karena memang harus muncul. Karena bagaimanapun, popularitas itu bagai pisau bermata dua.

Mestinya juga, dia mau belajar dari kasus Inul, Maria Eva, bahkan terakhir Manohara.

Jangan sampai nantinya, masyarakat yang bosan melihat terlalu banyaknya Prita tampil, malah balik bersimpati pada Rumah sakit Omni Internasional.

Karena di negeri telenovela ini, apapun bisa berbalik. RS Omni jika terlalu lama jadi under dog, terlalu lama dijelek-jelekkan, maka semakin besar juga porsinya memenangkan hari rakyat.

Sementara Prita jika terlena, menikmati popularitasnya, terlalu lama menerima sanjungan, peluang kalahnya juga menganga.

Inilah sebenarnya aturan main pencitraan.

Saya rasa itu tak akan terlalu sulit, jika RS Omni mampu memainkan perlombaan memenangkan hati atau simpati masyarakat ini.

Too much love (popularity) will kill you.

Tidak ada komentar: