Senin, 14 Desember 2009

Profesionalisme dan Kendalanya

”Kalau kerja yang Profesional dong!”
Pekikan seorang ibu terdengar, di depan sebuah loket pelayanan umum.
Profesional, ”mahluk macam apakah ini?


Kalau dari etimologisnya, profesional mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Sedangkan profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang professional (Longman, 1987).

Dari sini sudah jelaslah, bahwa bukan sembarang pekerjaan disebut profesi dan pelakunya adalah profesional yang memiliki profesionalisme. Misalnya tukang becak, tukang ojek, pengemis, ini bukan profesi, namun bisa disebut dengan pekerjaan atau keterampilan skill saja.

Beda dengan dokter, wartawan guru dan jabatan instansi pemerintah dan swasta. Semua memerlukan kepandaian khusus, dan kajian yang khusus pula. Dengan demikian dalam pelaksanaannya selalu diatur atau diawasi dengan aturan (undang-undang) khusus juga.

Setelah muter-muter di atas, lalu apa sebenarnya esensi dari profesional itu? Saya punya jawaban sederhana saja. Seorang profesional adalah orang yang mampu membuat orang lain nyaman. Itu saja.

Misalnya pedagang yang profesional, mereka harus membuat konsumennya nyaman dan terbantu. Begitu juga dokter, wartawan, birokrat dan lain sebagainya. Semua harus membuat orang yang dilayaninya nyaman dan terbantu, sehingga mereka merasa hommy dan cozy.

Karena hakikatnya , profesi itu ada untuk membuat dan membantu orang agar nyaman.

Hal ini juga berlaku pada para pelaksananya (person) dari profesi itu sendiri. Misal, seorang atasan dinilai profesional bila dia bisa membuat suasana kerja (bawahan) tenang dan nyaman. Bukan sebaliknya, tegang dan mencekam.

Situasi sterss kadang membuat komunikasi kita jadi offensive. Ini wajar saja terjadi. Namun sebagai seorang pemimpin, jangan sampai hal ini menjadi bumerang. Karena seorang pemimpin harus mampu memberikan ketentraman, ketenangan bagi orang yang dipimpinnya.

Demikian pula sebaliknya, seorang bawahan bisa dikatakan profesional adalah yang mempu membuat nyaman rekan setim dan atasannya. Tugas-tugas jadi lancar. Bukan malah sebaliknya, suka kasak-kusuk, menjilat untuk menutupi ketidakmampuannya.

Lalu apa hambatan profesionalisme di tempat kerja? Tak lain dan tak bukan adalah, komunikasi yang buruk.

Ah, kalau hanya itu, semua juga sudah tahu.

Memang benar, namun apakah sudah dilaksanakan? Karena kadang kita banyak tahu, namun melaksanakannya susahnya minta ampun. Mirip melaksanakan salat, sudah tahu dosa masih aja dilanggar.

Sebelum mengurai bagaimana itu komunikasi yang buruk, tentunya kita harus paham apa itu komunikasi. Komunikasi berasal dari kata komunis, artinya sama. Penjabarannya, dengan berkomunikasi kita mencaripersamaan persepsi, melalui pelepasan simbol-simbol yang kita sebut bahasa.

Agar komunikasi berjalan baik, antara pelempar dan penerima pesan harus ada kesepakatan. Bila ada yang satu berbicara yang satu harus mendengar, dan sebaliknya.

Jangan lupa, orang-orang yang berkomunikasi dianggap setara.

Dalam skala besar, agar komunikasi berjalan baik maka semua arahnya harus aktifkan. Apakah itu dari atas ke bawah, bari bawah ke atas, atau saling silang.

Bila semua hal tersebut tak bisa tercapai maka bisa dikatakan bahwa komunikasi yang sedang terjadi masuk dalam katagori buruk. Berikut saya paparkan beberapa contoh komunikasi yang buruk, antara lain,

1. Mau menang sendiri. berhadapan dengan manusia semacam ini repot juga. Jika dibiarkan, pendapatnya dapat menyesatkan, namun bila diluruskan malah menyulut perang. Serba salah.

Khusus uraian ini, rekan saya punya pengalaman dengan hal ini. Suatu gurunya bertanya di kelas, gunung apa yang tertinggi di dunia. rekan saya menjawab, ”Everest”. Ternyata jawaban ini disalahkan. menurut si guru, gunung tertinggi di dunia adalah Himalaya. Tentu saja rekan saya protes, karena merasa yakin dengan jawabannya. Namun, si guru merasa tersinggung malah marah lalu melecehkan rekan saya itu.

2. Komunikasi yang buruk juga bisa berbentuk marah bila dikritik. Jangankan dikritik, diberi masukan saja sudah emosi. Seolah saat mendengar saran, merasa dirinya direndahkan, kewibawaannya runtuh. Bahkan, merasa seolah jabatannya mau dirampas saja. Emang siapa yang mau merampas? Mungkin yang bersangkutan terlalu banyak nonton sinetron, sehingga pola pikirnya terbentuk seperti itu.

3. Lebih mengedepankan prasangka buruk dari pada open mind. Mungkin pikirannya terpengaruh kisah-kisah detektif dan konspirasi politik. Bila ada yang kritis dianggap punya niat buruk, konspirasi yang jahat dan sebagainya.

4. Tak menghargai hak kekayaan intelektual rekan sekerjanya, mulutnya nyinyir, suka merendahkan. Kadang ada rekannya yang kesusahan, bukannya dibantu, malah dinistakan.

5. Ciri komunikasi buruk lain adalah kasar. Ngomong dengan rekan sekerja bak ngomong dengan budak belian saja. Lama-lama situasi ini menimbulkan gesekan latent, ibarat gunung api, dipicu sedikit siap meledak.

Semua ciri tersebut ditunjang oleh kualitas kejiwaan dan kepribadian seseorang. Karena semuanya ini muncul akibat rasa ego yang besar, sombong, arogansi sektoral, merasa paling hebat, merasa paling benar, angkuh, takabbur merasa sudah jadi Tuhan.

Bila demikian, jangan bingung bila banyak masalah yang timbul, tak usah heran bila situasi kerja tak kondusif. Tak usah terlalu banyak tanya, mengapa profesionalisme itu hilang seketika.

Tidak ada komentar: