Sabtu, 05 Desember 2009

Lukman Hakim dan Keledainya

Tak enak rasanya bila kita masuk dalam posisi serba salah dan berada dalam pusaran prasangka buruk. Diam salah, berbuat salah. Niat mulia pun bisa menjadi malapetaka. Hal inilah yang saya resapi dalam kisah keluarga utama Lukman Hakim. Di balik kisah waliyullah ini, tentu ada hikmah yang besar.

Dikisahkan, pada suatu hari Lukman Hakim mengajak anaknya ke pasar dengan menuntun keledai. Di jalan mereka bertemu dengan seseorang (orang pertama), Orang itu mengatakan “bodoh sekali bapak dan anak itu, bawa keledai tapi kok tidak dinaiki, malah dituntun”. Mendengar omongan ini, anaknya kemudian naik ke atas punggung keledai.

Di jalan mereka lalu bertemu dengan seseorang (orang kedua), orang itu lalu mengatakan ”Durhaka sekali anak itu, mosok bapaknya disuruh jalan kaki, sedangkan dia enak-enakkan naik keledai”. Mendengar ucapan orang kedua, anaknya langsung turun, dan menyuruh bapaknya (Lukman Hakim) untuk naik ke atas keledai.

Di tengah perjalanan, kembali mereka bertemu dengan seseorang (orang ketiga), sebagaimana kedua orang sebelumnya, orang ketiga ini juga mengomentari “bagaimana sih bapak ini, teganya naik keledai sendiri, sedangkan anaknya disuruh jalan”.

Nggak tahan mendengar komentar ini, anaknya lalu naik ke punggung keledai. Jadilah mereka berdua naik keledai berjalan ke arah pasar.

Seperti sebelumnya, di tengah jalan mereka bertemu dengan orang keempat, orang ini lalu berkata “tega sekali bapak dan anak ini, keledai kecil begitu dinaikin berdua, dasar tidak punya perikebinatangan”.

Anaknya langsung turun, kemudian berlari dan kembali lagi dengan membawa kayu dan seutas tali. Keledai itu lalu diikat dan dipikul oleh mereka berdua.

Akhirnya mereka sampai di pasar, ternyata ketika mau dijual keledainya tidak laku, karena tidak ada orang yang mau membeli keledai yang lemah. Sang anak kemudaian bertanya kepada Lukman Hakim. “Bapak kan ahli hikmah, yang sering dimintai solusi oleh masyarakat, bagaimana nih yang terjadi dengan kita sekarang?”.

Kemudian Lukman berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku, janganlah engkau mengikuti pendapat orang lain yang tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan mereka belaka”

Kemudian dilanjutkannya dengan mengutip kata-kata Ali bin Abu Tholib, ”Dan janganlah engkau mencari kebenaran (al-haqq) dari makhluk, tetapi temukanlah kebenaran (al-haqq) yang dari Rabb terlebih dahulu baru kemudian engkau tentukan siapa-siapa yang barada di sana”

Dari kisah ini, Lukman mengajarkan hikmah pada anaknya mengenai bagaimana seharusnya mengambil keputusan dan bagaimana bersikap atas keputusan yang telah diambil.

Kepada anaknya Lukman mengatakan ”Wahai anakku, sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang-orang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah SWT saja. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang harus menjadi pertimbangannya”.

Menjadikan Allah sebagai satu-satunya pertimbangan sesungguhnya membuat jiwa tenang dan jauh dari kebimbangan. Bukankan setiap keputusan kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Nya? Bukankan hanya Allah yang kuasa atas baik dan buruk, bahagia dan bencana, sulit dan mudah maupun tenang dan gelisah? Bukankan Allah sendiri telah memberikan Al kitab yang didalamnya tidak ada keraguan petunjuk bagi orang-orang yang beriman?

Hikmah lain yang terkandung, Teruskanlah bekerja demi kepentingan mulia itu hingga selesai. Jangan hiraukan nistaan orang lain. Jangan dengarkan tanggapan-tanggapan miring mereka, tapi maafkanlah mereka. Karena tidak ada jalan untuk memuaskan mereka semua.

Ingatlah, kebenaran datangnya dari Allah, melalui informasi wahyu dan ilham. Kebenaran bukan diukur oleh banyaknya orang yang mendukung atau kekuatan yang mempertahankannya. kebenaran tetaplah kebenaran walaupun yang menerima hanya seorang saja.

-----

Ya Allah, keteladanan keluarga Lukman sebagai landasan jalan hidup hamba dan keluarga hamba.

Tidak ada komentar: