Selasa, 15 Desember 2009

Pemimpin Tolol dan Pembisik Licik

Sebenarnya bagaimana hubungan antara pemimpin dan pembisik? CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, cukup bagus mengupasnya.

Dari dulu cerita tentang atasan dan bawahan tak pernah habis. Ribuan buku ditulis untuk menjelaskan bagaimana menjadi pimpinan yang benar.

Ilmu dan cerita tak pernah habis karena kepemimpinan mengelola manusia, bukan barang. Barang mudah digeser, bahkan dibuang. Sementara, manusia belum tentu mudah digerakkan.

Tidak mudah digerakkan karena pada dasarnya hubungan antarmanusia tergantung dari kuat lemahnya posisi tawar-menawar seseorang terhadap orang lain. Kalau posisi kuat, dia cenderung menguasai lawan dengan kebenarannya sendiri. Kalau posisi lemah, dia cenderung ikut lawan yang lebih kuat, kendati dia tahu seharusnya dia tidak perlu serta-merta mengikuti lawannya itu.

Urusan atasan bawahan juga sama. Posisi tawar atasan lemah bila bawahannya memegang kunci-kunci penting dalam pekerjaan yang mungkin tidak dikuasai atasannya. Kunci itu bisa berupa keterampilan dan keahlian menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga karena rahasia pribadi yang dipegang anak buah.

Namun, secara umum posisi tawar atasan biasanya lebih kuat dibandingkan dengan anak buah. Atasan yang mejanya kosong, duduk memejamkan mata sambil memegang keningnya hingga berkerut, akan disebut pimpinan yang sedang mencari inspirasi. Dengan acting seperti ini, pimpinan dianggap sedang berpikir keras bagaimana mengatur strategi jitu untuk kemajuan perusahaan. Padahal, dia benar-benar tertidur.

Sebaliknya, kalau bawahan duduk termenung di mejanya sambil memegang keningnya, apalagi bila matanya terpejam, dia berpotensi mendapat hardik, karena akan dianggap malas, suka melamun, atau bahkan kerjanya hanya mengantuk.

Demikian halnya kalau pimpinan ragu dan butuh waktu lama mengambil keputusan, dia mungkin akan dikatakan pimpinan yang berhati-hati. Keputusan harus dipertimbangkan dengan masak, cermat, dan tidak gegabah. Tetapi, kalau bawahan lama tidak mengeksekusi pekerjaan, dia akan dibilang lambat, tidak cekatan, dan kurang dinamis.

Pimpinan cenderung selalu benar. Kendati demikian, kebenaran itu seringkali ditentukan oleh para pembisik. Kalaupun pimpinan melakukan kesalahan, orang di sekelilingnya akan mencarikan rasionalisasi, dibuat seakan masuk akal, bahkan dibangunkan alasan pembenarannya.

Oleh karena itu, seorang pimpinan berpotensi masuk perangkap pembisik dan orang-orang pada ring satu, atau penjilat pada lingkaran terkecilnya. Ketika ada suara berisik di luar kantor karena demo menuntut kenaikan gaji, bisa jadi pembisik akan bilang: “Tenang Boss, keadaan sudah saya amankan, sekarang sudah kondusif dan terkendali.”

Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadi sebaliknya. Ketika ada tiga–empat orang yang biasanya vokal dan berseberangan pandangan kelihatan bertemu di restoran, maka bisa jadi pembisik langsung lapor ke pimpinan: “Wah, gawat, Bos, hati-hati, kelompok pembangkang sedang merencanakan makar.

”Kemudian, situasi didramatisasi dan dibuat begitu mencekam. Dan, ujung-ujungnya prestasi buat pembisik karena dia akan bilang: “Tenang, Bos, keadaan sudah saya amankan, sekarang sudah kondusif dan terkendali.” Padahal, memang mungkin tak ada sesuatu yang layak dirisaukan.

Jadi, siapa lebih berkuasa, pimpinan atau pembisik?

Tidak ada komentar: