Sabtu, 16 Juli 2011

Bisik-Bisik Pembantu

Seorang teman tampak galau. Barusan dapat kabar bahwa Bibik, pembantu rumah tangganya mulai membanding-bandingkan gaji yang diterimanya dengan gaji pembantu rumah tangga rumah sebelah, yang katanya lebih besar dua kalilipat.


Hal tersebut dia dengar dari ibundanya yang langsung dicurhati pembantunya saat dia tak ada di rumah.

”Ya tentu saja pembantu sebelah itu bergaji besar, karena dia itu pembantu dari agen (maksudnya pembantu rumah tangga yang diambil dari penyalur tenaga kerja),” ujar teman saya.

”Iya saya bilang juga seperti itu. Bik, gaji tersebut tak semua dia terima. Ada separuh untuk agen,” timpal ibunya.

”Lagipula, akalau saya gaji dia segitu, apa dia bisa bekerja sebagus pembantu sebelah itu? Yang semua serba terstruktur dan teratur dengan jam ketat?” sambung teman saya itu.

Setelah peristiwa curhatan ini, membuat hati teman saya was-was. Ibarat ekspresi Presiden Bambang Yudhoyono saat mendengar Wikileaks mengumbar abuse of power-nya ke publik.

”Entar, semua ’rahasia negara’ gua dia bocorkan semua ke publik,” gumamnya.
Sekadar diketahui, usia pembantu rekan saya ini sudah agak lanjut. makanya dipanggil ”Bibik.” Kerjanya bagus, cuma kadang susah diarahkan. kata orang Jawa, kareppe yo kareppe, maunya ngatur. Mungkin merasa lebih senior.

Sebenarnya dulu dia pernah punya keinginan punya pembantu yang masih muda, agar bisa diarahkan. Namun ada yang bilang, kalau terlalu muda nanti akan dipusingkan dengan masalah lain. Misalnya lagi kasmaran, tiap saat SMS-an dan telepon teleponan terus. Wah, bisa-bisa masakan asin semua dia bikin.

Belum lagi bila kebiasaannya suka up date status di facebook. Kalau tak waspada, nanti rahasia rumah tangga majikan dia posting di facebook, waduh, bisa gempar dunia.

Ya begitulah. Risiko punya pembantu. Ibaratnya, negara yang menerima dutabesar negara asing, rawan terjadi aksi mata-mata.

Punya pembantu itu, juga sama artinya menyerahkan separuh keselamatan keluarga. Karena secara tak langsung kiprahnya akan ikut mewarnai, tak hanya masakan, juga kebiasaan anak-anak. Juga secara tak langsung, kebiasaan-kebiasaan besar dan kecil penghuni rumah juga akan terekam sempurna.

Misalnya, si A suka makan pakai jengkol, atau kalau tidur suka ngiler. Juga tentang jam-jam sibuk keluarga. Kapan rumah kosong, kapan rumah ramai, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Maka itu, memilih pembantu harus teliti. Minimal kita tahu latar belakangnya. Tinggal di mana, dulu kerja di mana dan sebagainya.

Teliti sebelum memilih inilah, yang membuat masyarakat urban kesulitan mendapat pembantu meski negara kita terkenal banyak mengirim pembantu ke luar negeri.
Maka itulah, banyak yang bilang, agar tenang, carilah pembantu dari kampung halaman.
Yang sedaerah. Biasanya banyak yang cocok. Minimal bahasanya sama, sehingga bisa mengerti apa yang kita maksud. Namun, tentu saja prosesnya agak lama. Karena kadang tak bisa langsung dapat.

Majunya zaman, makin terbukanya komunikasi, membuat orang-orang di kampung tak sama dengan dulu. Mereka dengan tangkas mampu membandingkan upah minimum kota dan upah minimum regional di daerah tujuan, dengan daerahnya.

Bila bersedia pun, mereka ajukan syararat lain: tak mau naik kapal, maunya naik pesawat dengan ongkos ditanggung calon majikan. Ribet juga. Makanya, kalau ada memang lebih baik mecari pembantu di sini saja. Asal melalui orang yang sudah kita percaya, yang sudah lama mengenal seluk beluk dan latar belakang calon pembantu.

Seperti pembantu rekan saya tadi yang masih tetangga saudaranya sendiri. Tapi ya begitu itu. Ada saja masalahnya. Apa itu? Ya itu tadi, suka bocor.

Hal ini bermula daru kebiasaan pembantunya olahraga jalan pagi dan jalan sore keliling kompleks. Sebenarnya olahraga murah ini baik untuk kesehatan jasmani, sebagaimana dianjurkan dokter dan pemerintah, namun jadi kurang baik bila dilakukan sambil bergosip.

”Mau bagaimana lagi, bila saya larang ke luar rumah, malah saya nanti yang ditangkap polisi hak azazi manusia,” keluhnya.

Saya hanya diam menyimak, meski kisah pembantu yang mengumbar manajemen rumah tangga majikannya ini serasa de javu di telinga. Karena, saya juga sering mendengar kebiasaan karyawan atau pegawai yang menjelek-jelekkan bos atau kantornya di luar. Apa bedanya? Oh, manusia. ***

Tidak ada komentar: