Jumat, 29 Juli 2011

Ramadan Tiba

Seorang teman yang kebetulan pernah tinggal di Eropa sempat berkisah, menjalankan ibadah puasa di Ramadan di negeri beriklim sub tropis dengan empat musim, seperti negara-negara di Eropa atau beriklim kutub seperti sebagian besar daerah Rusia, sangat berat. Mengingat perbedaan waktu antara siang dan malam sangat jomplang. Khususnya pada musim panas dan dingin.


Jadi saat ramadan jatuh pada musim panas, maka siang hari lebih panjang dari malam hari, namun saat jatuh pada musim dingin, maka malam hari lebih panjang dari siang hari. Kadangkala matahari terbenam sebelum jam 10 pagi seperti daerah Bulgaria.

Namun saat musim panas, siang hari mencapai hingga 23 jam. Beda lagi dengan negara Swedia yang siang hari selama 18 jam, atau masuk waktu isya baru masuk pada pukul 11 malam seperti negara Denmark. Tentu perjuangan akan kian berat.

Beda dengan di Indonesia, sungguh sangat nyaman. Semuanya, mulai alam hingga pemerintah, mendukung agar kita menjalankan puasa dengan khusyu tanpa gangguan. Di Indonesia yang hanya mengalami dua musim (panas/kemaraudan musim hujan), waktu siang dan malam berjalan seimbang. Malam 12 jam, siang 12 jam.

Belum lagi, dukungan dari pemerintah yang mengeluarkan aturan melarang warung makan buka pada siang hari, dan tempat hiburan berbau maksiat pada malam hari. Keputusan ini diambil untuk menghormati, menjaga kesucian dan ketenangan orang yang berpuasa.

”Karena itu, bila masih saja ada alasan untuk meninggalkan puasa tanpa sebab apapun, itu tentu tak masuk akal,” katanya.

Dia kembali bercerita, di Eropa saat Ramadan semua berjalan seperti biasa. Jam tempat hiburan, rumah makan dan sebagainya tak ada bedanya. Namun, itu malah membuatnya bisa ”bertarung” secara fair. ”Imanpun lebih terasah,” terangnya.

Dari sini saya teringat sebuah kisah dalam buku Bujang dan Putri Melayu. Tentang seorang lelaki yang dengan santai, mampu menjaga pakaian putihnya tetap bersih, meski telah dipakai seharian. Ya tentu saja, karena dia memakainya di rumah.

Namun, ketika keesokan harinya dia ke luar rumah dengan memakai pakaian yang sama, maka dia tak bisa leha-leha lagi. Dengan penuh kerja keras dia berusaha menjaga pakaiannya agar tak terciprat lumpur. Kadang kakinya berjinjit sembari engangkat ujung celana putihnya, ketika melintas di jalan becek.

Tentu saja, nilainya akan lebih tinggi saat dia mampu menjaga pakaiannya tetap bersih saat di luar rumah, dengan hanya saat dia di dalam rumah. Karena di dalam rumah, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semau telah bersih. Namun di luar, akan banyak sekali noda yang mengancam, mulai debu hingga lumpur.

Begitulah

Bertolak dari sini, saya berpendapat, bila penutupan tepat hiburan itu hanya ditujukan agar tak menganggu iman orang yang sedang berpuasa, harusnya kita tersinggung. Itu pelecehan. Apa memang sebegitu tipiskah iman kita, sehingga bisa kalah godaan rumah makan dan tempat hiburan malam?

Menurut saya, sebenarnya godaan yang lebih menyeramkan itu datang bukan dari tempat hiburan malam atau rumah makan yang buka siang. Godaan itu sangat dekat dan akrab dengan kita, tanpa harus ke luar rumah. Dialah televisi.

Lihat saja, bagaimana kapitalis itu mengubah Ramadan menjadi bulan lawakan dengan didominasi acara lawakan, kuis, iklan yang sedikit sekali sentuhan agamanya.

Tentu tak semua televisi begitu, namun sebagaian besar yang demikian. Dan, kita juga lebih suka siaran televisi yang menjual dagelan dari pada siaran yang membicarakan kiat sukses meraup ampunan dan berkah di bulan Ramadan.

Pertanyaanya, beranikah kita menutup televisi hiburan itu, selama Ramadan?
Belum lagi kini marak televisi langganan yang acaranya langsung dipasok dari Amerika. 24 jam film yang tentu saja tanpa sensor yang ketat. Di Batam, hampir semua keluarga berlangganan televisi berbayar ini.

Sekali lagi pertanyaanya, beranikah kita menutupnya selama Ramadan?
Inti dari uraian saya ini, bahwa kita harus sadar bahwa di era ini, tempat maksiyat itu sangat dekat. Bila memang sudah niat, hal tersebut mudah sekali dilakukan.

Hal ini juga sempat dikatakan almarhum Buya Hamka dalam sebuah pengajiannya. Saat itu Buya ditanya muridnya, ”Saya pernah pergi haji ke Mekah, ternyata di sana ada pelacur. Saya heran, bagaimana mungkin di Mekkah yang suci ada pelacur?”

Buya Hamka pun menjawab, ”Saya pernah beberapa kali berkunjung ke Kalifornia. Tetapi di sana tidak menemui satu pelacur pun!”

Kisah ini bisa dimaknai, bahwa seseorang itu akan selalu mencari sesuai dengan apa yang menjadi orientasinya. Apabila dirinya dipenuhi dengan orientasi maksiat, maka ia akan selalu menemuinya walau itu di Tanah Suci sekalipun.

Begitu pula sebaliknya, bila orientasi seseorang itu selalu dipenuhi kebaikan, maka meski di Kalifornia yang pusatnya kebebasan pun ia tidak akan menemui kemaksiatan.

Kalau udah niat maksiyat, meski ditutup pun tetap bisa ditemukan. Demikian pula bila sudah iman tertanam kuat, meski dikelilingi tempat maksiatpun, akan tetap terjaga.

Tidak ada komentar: