Minggu, 21 Juni 2009

Escape to Singapore (1)

(Makan Nasi Beryani, Bau Karenya Tak Mau Hilang)

Akhir pekan… Saatnya berlibur. Tapi ke mana? Ah, ke Singapura sajalah.


Berlibur ke Singapura bukanlah hal yang wah bagi masyarakat di Batam. Rata-rata warga di sini sudah pernah melakukannya, mengingat letaknya mudah dijangkau.

Dan perjalanan saya kali ini, entah sudah kali ke berapa. Tapi, ini menjadi kali pertama jalan-jalan seorang diri, karena sebelumnya selalu ikut tur wisata.

Dari Batam, saya memilih berangkat dari pelabuhan Internasional Sekupang. Alasannya sederhana, lebih cepat, hanya 45 menit saja, meski jaraknya dari rumah saya di Batam Center cukup jauh.

Kenapa tak memilih pelabuhan Internasional Batam Center? Karena, dari sini ke Singapura memakan waktu 1 jam. Ah, mending lama di jalan dari pada di laut. Bosan, apalagi jika ombak besar, perutku langsung mual dan pusing.

Feri Batam Fast bertolak dari pelabuhan sekitar pukul 11.00. 45 menit kemudian, setibanya di perairan Marina, feri kami dihentikan oleh polisi keamanan laut Singapura. Biasalah, dilakukan pemeriksaan penumpang.
















Kerap terjadi, bila ada penumpang dicurigai langsung di bawa ke kantor imigrasi, diinterogasi macam-macam, sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia, dengan paspor berstempel “tolak”.

10 menit berlalu, syukurlah tak ada masalah, jadi feri dipeersilakan melaju lagi. Pukul 12.00 akhirnya merapay juga di Harbour Front, pelabuhan feri Singapura. Dulu namanya World Trade Centre.

Setelah melalui thermal scanning (alat pendeteksi panas), lalu saya terhenti di loket pemeriksaan paspor. Ditanya ini itu, “Nak kemane cik? Berape lame di Singapo? Ape tujuan kat Singapo? Di Singapo tinggal di mane?”

Saya jawab, “Nak liburan. Balik hari saje!” Lalu, “Tok…” Stempel petugas itu mengayun, tanda pemberian izin masuk ke Singapuura selama 30 hari. Sebuah awal yang bagus. Maklumlah, paspor ini baru selesai saya buat, jadi masih “perawan”.

Dan biasanya, bila izin awal sudah dapat 30 hari, maka jika nanti mau masuk Singapura lagi, tak akan terlalu dapat masalah.

Keluar dari konter Imigrasi, deretan etalase mall Harbour Front langsung menyambut. Tak lama, melintas di gerai roti, Gruuukkk… Gruk… Perut berbunyi, pertanda lapar.



















Saatnya makan! Kebetulan, di seberang jalan Harbour Front, tepatnya di Teluk Blangah Drive, ada sebuah pusat makanan serba ada (Panasera). Di sana, berjejer aneka gerai masakan. Antara panasera dan Harbour Front ini dihubungkan sebuah jembatan layang.

Langsung saja kaki ini melangkah mantap. Saat menyeberang di jembatan itu, ada beberapa pedagang asongan menjajakan tisu. Cuek sajalah, udah lapar neh.

Hingga akhirnya sampai di Panasera. Sesuai namanya, panasera ini terletai di atas jalan raya.. Bangunannya memanjang beratap spandex. Di dalamnya, beberapa kedai aneka masakan berjejer, mulai China hingga India. Di samping panasera ini ada terminal bus untuk menuju ke beberapa daerah Singapura.

Yang asyik, di panasera ini bebas asap rokok. Tapi bagi yang ingin merokok tetap diterima, tapi mereka dikucilkan di sebuah meja kursi paling pinggir yang di atasnya tak beratap. Jadi kalau siang kepanasan, dan kalau hujan ya kehujanan.

Salah sendiri, ngapain merokok. Sudah tahu di Singapuira, perokok menjadi “public enemy number one”. Yang paling penting, panasera ini bersih. Ya, namanya juga Singapura.











Di panasera ini, saya langsung menuju stan makanan India Muslim, bernama Rezki Allah, milik ibu Hanifah. Langsung saja pesan nasi beryani (nasi bryani). Tak lama hidangan sampai.

Nasi beryani semacam nasi goreng khas India. Yang membedakan, nasi ini disajikan dengan disiram kuah kare, acar timun dan krupuk. Untuk lauknya, kita bisa memilih, mau ikan, kambing atau ayam.

Saya memilih kambing, supaya ada tenaga, mengingat saya akan melakukan jalan kaki nan panjang.

Begitu disajikan, wow… bau karenya langsung menyengat hidung. Perlu diketahui, kare India beda dengan kare di Jawa, aroma dan rasanya begitu kuat. Bagi yang tak biasa akan langsung pusing. Tak heranlah, rasa kare ini lama bertahan di tenggorokanku, bahkan bersendawapun bau kare.

Untuk air munumnya, umumnya kedai di Singapura warung makan tak bisa merangkap menjual air minum. Semua harus terpisah. Makanya, saya memesan teh tarik di gerai sebelah, milik orang Bangladesh H Amin Brothers.

Saya baru tahu mengapa kedai ini bernama demikian (brothers), ternyata yang jualan bersaudara. Semua ada tiga orang, semua sudah tua, wajahnya mirip dengan “seragamnya”, kaos oblong putih dan peci haji warna putih pula. Ketiganya juga memelihara janggut panjang, yang juga sama-sama sudah memutih.

Di negeri ini, warga Bangladesh memang terkenal akan teh tariknya, sama seperti orang Aceh di Batam, yang memang spesialis penjual bandrek.
Taklama, nasi beryani itu ludes. Melihat piringku kering, pelayannya langsung datang membersihkan. Rules number one, di Singapura tak boleh kotor.















Setelah makan, saya malah kebingungan. Mana tisue? Aduh, mana tangan dan mulut berminyak lagi. Ah ternyata, tisu tak tersedia. Pantas saja tadi, saat akan menuju ke panasera ini banyak yang jualan tisu. Kini saya mengeri maksudnya.

Sudahlah, beranjak kembali ke Harbour Front, selanjutnya mecari jalan ke samping tempat antrean taksi. Untunglah tak terlalu ramai, sehingga tak perlu lama nunggu.

Taksi di sini juga beragam merek. Mulai jenis mobil Jepang hingga buatan Eropa, semisal Mercedes. Ada yang masih baru, ada pula yang keluaran lama. Meski lama, tapi masih terawat dengan baik.

Dan saya, kali ini tak beruntung bisa naik taksi Mercedes. Tapi lumayan jugalah, saya dapat taksi Hyundai seri terbaru.

“Nak ke mane cik?” Oh, rupanya supirnya orang Melayu.
“Ke Orchard Road, Takashimaya!” jawab saya mantap.

Di dalam taksi, sepanjang perjalanan ke Orchard, mata saya menyapu ke kanan kiri jalan. Tampak, pohon besar nan rindang memagar, seolah saya melintas di hutan belantara saja. Hal inilah yang selalu membuat saya kagum, hutan kota Singpura memang tak ada matinya.

Lapat-lapat saya mendengar suara radio. Rupanya pak supir suka musik. Stasiunnya saat itu, Ria FM, radio Melayu di Singapura. Saat tiu, memang ada program pemutaran tangga lagu. Aneka lagu Indonesia terus mengalun, umumnya lagu Malaysia.

Setelah lagu Penghianat Cinta dari Duo Maya usai, langsung disambung lagu Madu Tiga dari Ahmad Dhani. “Suke lagu Indo Cik?” tanya saya. Sang supir hanya tersenyum.

Sepanjang jalan menuju Orchard ini, saya sesekali bersendawa. Ah, bau kare India lagi.




Nasi beryani.... Wah, bau kare...

Tidak ada komentar: