Selasa, 16 Juni 2009

Negeri Sensasi, Negeri Simpati

Negeri ini adalah negeri sensasi.

Amex, rekan sekantorku berkata dengan masygul. Saat itu, dia tengah mengomentari boom berita Manohara Odelia Pinot di media massa, yang telah seminggu lebih menghumblang ranah publik Indonesia.

Ya, Manohara memang menyita perhatian. Drama bak Cinderella gagal, berbumbu kekerasan dalam rumahtangga. Kisah ini kian membahana, didukung kian menghangatnya hubungan Indonesia-Malaysia di Ambalat. Tak jelas lagi mana isu rumah tangga, mana isu negara.

Sensasi demi sensasi terus menerpa negeri ini. Sensasi bak kisah sinetron, nantinya diharapkan berakhir happy ending, yang kalah selalu memang di akhir episode. Karena, menjadi tokoh sensasional di Indonesia ternyata cukup menjanjikan.

Lihat saja, tak lama setelah kasusnya terkuak, Manohara langsung bisa mememangkan hati pemirsa dan publik. Simpati datang silih berganti. Langkahnya diikuti, tangisannya diamini, airmatanya diresapi.








Orang-orangpun ingin tahu semua tentang Manohara, apapun yang berbau Manohara laris, bahkan model tas yang dipakainyapun laris. Mereka menyebut tas Manohara.

Semua ini adalah lahan yang bagus bagi televisi untuk menjaring pemirsanya. Artinya, porsi iklan kian panjang dan lama. Tak lama setelah itu, Manohara langsung dapat kontrak sinetron fantastis Rp12 miliar! Hari gini, dapat 12 em dalam waktu kurang dari dua minggu. Siapa yang tak ngiler.

Maka, dari sinilah ”bisnis” ini bermula. Sebelum Manohara, banyak artis yang menangguk peruntungan dengan cara yang seperti ini. Dan ini memang disengaja.

Ada saja tingkahnya dalam menebar sensasi. Ada yang pura-pura berkelahi antar sesama artis, ada juga yang menabrak norma-norma masyarakat, seperti mempertontonkan aksi panggung (goyang) yang seronok atau melakukan foto bugil, lalu di sebar di internet. Malu, sudah tak ada lagi, yang penting bisa ngetop dengan cepat.

Karena semakin sensasional dan menuai pro-kontra, akan semakin bagus. Makin besar dia ditentang, makin besar jua namanya. Tawaran manggung, tampil di televisi, majalah dan iklan akan semakin deras. Semua ini berarti uang.








Dan lihatlah, di saat orang sibuk berpolemik, mereka malah terus kebanjiran kontrak. Dalam sekejap, ada yang sudah bisa punya rumah di bilangan Pondok Indah. From zero to hero. Dari artis kelas kampung, bisa menjadi bintang papan atas.

Cara ini juga kerap dipakai oleh beberapa artis lama, untuk menjaga namanya tetap eksis. Tepat betul kiranya sindiran dalam pepatah Arab, ”Jika ingin terkenal, kencingilah air zam-zam”.

Selain menebar sensasi dengan ”kekurang ajaran”, ada juga yang menebar sensasi dengan menyuguhkan kisah yang mengharukan. Lihatlah acara idol-idol itu, betapa banyak peserta yang tampil menjadi juara setelah “menjual” kemiskinan keluarganya.

Mereka seolah berkata, “Lihatlah aku, aku miskin, bantu aku, menangkan aku, pilih aku.”

Rintihan ini, didukung skenario dan teknis publisitas moderen, akhirnya sanggup menggerakkan rasa iba penonton untuk memilihnya.

Di samping mereka, praktik ini juga dianut para pemimpin negeri ini. Demi mendongkrak popularitasnya, mereka mengemas kisah sensasional yang mengharu biru ini. Seolah dia berkata, “Hei rakyat Indonesia, lihatlah saya yang lemah ini, dizalimi lagi. Bantu saya, pilih saya!”

Lalu, mengapa negeri ini penuh sensasi? Ya, karena masyarakat kita penuh simpati dan empati. Orang Indonesia itu baik-baik. Mereka penuh kasih, baik hati dan suka menolong.














Jadi bagaimana, apa salah memiliki sifat seperti ini? Tentu tidak. Karena ini berarti rakyat Indonesia masih memiliki suara hati yang baik, suara hati berlandaskan pada cahaya nama-nama Ilahi.

Ini berati masyarakat Indonesia masih memiliki emosional qoution (EQ) yang baik yang mudah-mudahan bisa menggerakkan emosi spiritualnya, area titik ke-Tuhan-nya.

Jadi, mengapa sifat yang baik ini harus dibuang? Sifat ini tidak salah, yang salah adalah orang-orang yang memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadinya.

Karena itu, sebaiknya kita, sebagai pemirsanya, harus lebih cerdas lagi menelaah informasi. Jangan sembarangan, harus jernih. Jangan hanya selalu memperturutkan persepsi, sehingga membawa kita pada kesimpulan yang salah, bisa bahaya.

Apalagi di zaman semacam ini banyak orang-orang yang memanfaatkan rasa iba ini untuk mencari keuntungan pribadinya. Contoh gampangnya bisa kita lihat para pengemis yang berpura-pura cacat atau bermodalkan menggendong anak kecil, untuk menggedor hati kita.

Dan seiriring majunya ilmu pengetahuan di bidang audio visual, kini banyak bertumbuhan perusahaan-perusahaan dan para profesional yang core bisnisnya untuk mengelola sensasi, empati dan simpati ini menjadi tambang emas.

Inilah yang disebut publisitas. Pengertian harfiahnya adalah sebuah pemberitaan secara gratis dan bertujuan untuk memusatkan perhatian terhadap suatu tempat, orang, orang, atau suatu institusi yang biasanya dilakukan melalui penerbitan umum.

Akar ilmunya berasal dari Publisistik, sebuah ilmu untuk menggerakkan dan membimbing tingkah laku khalayak. Dalam perkembangannya, publisistik diakui sebagai suatu kekuatan yang dapat mengendalikan tingkah-laku manusia dan mewarnai perkembangan sejarahnya.

Dari sinilah citra dibentuk dan juga dihancurkan. Dari sinilah rasa iba diciptakan, simpati dikumpulkan, hingga akhirnya tujuan tercapai.
--------------


Baca juga tulisan sejenis di: http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/02/kasihanilah-saya.html

Tidak ada komentar: