Minggu, 21 Juni 2009

Escape to Singapore (2)

(Di Sini, Pedestrian Adalah Raja)

Akhirnya, sampai juga ke tujuan. Saya turun di depan pintu masuk Nge Ann City. Dari sini, saya masuk.

Layaknya mall di dalamnya banyak gerai pakaian bermerek, mulai Aigner, Prada. Polo, ah tak terhitung lagi. Semua produk didiskon sampai 50 persen. Rupanya di Singapura sedang ada sale besar-besaran.

Melihat barang-barang bermerek ini, saya berpikir, bagaimana pejabat Indonesia tak tergiur berbelanja di sini. Semua bangus-bagus. Kalau tak kuat hati, bisa korupsi.

Selanjutnya, saya melintasi gerai Samsung. Rupanya sedang ada pemeran produk baru ponsel ini, yang fiturnya mirip BlackBerry. Bila mau, harganya bisa miring selama pameran.

Lepas dari sana, saya menelusuri jalan tembus ke Takashimaya. Di pintu keluar Takashimaya ini, langsung tembus ke Orchard Road, jalanan Singapura paling banyak dikunjungi pelancong.

Dari sini, saya dapat melihat kemegahan Singapura. Jalannya yang bersih, kendaraan mengkilat. Sesekali mobil model terbaru merek kenamaan melintas, modelnya belum masuk ke Indonesia.










Bis kotanya juga di cat warna-warni, senada dengan haltenya yang hi-tech. Tampak di sana, orang antre dengan tertib menunggu giliran.

Selanjutnya, saya menelusuri jalan Orchard. Di kri-kanannya, banyak diapit pusat belanja megah nan mewah Singapura. Yang asyik jalan-jala di sini, karena sangat memanjakan pedestrian.

Trotoar pejalan kaki di sini sangat lebar, hampir 10 meter. Di sisi-sisinya banyak berjejer bangku-bangku berubin bersih, untuk pejalan kaki melepas penat sembari menikmati pemandangan.

Di samping itu, berjalan kaki menelusuri deretan mall Singapura juga tak akan keringatan, karena selain rindang, hawa AC juga terhembus sampai ke jalan.

Melihat ini saya jadi teringat, betapa borosnya Singapura menggunakan listrik yang nota bene dia beli dari Conoco Philip, Panaran Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, malah krisisnya bukan main.

Haus, atau mau ngemil? Jangan khawatir, banyak gerai snack di sini. Mau burger atau koran juga ada. Pokoknya asyik, asal kuat bawa uang saja.

Selanjutnya, berbaur bersama ratuasan pejalan kaki, saya melngkah menelusuri blok demi blok sepanjang jalan Orchard. Di sini, para pejalan kakinya cepat-cepat. Bisa 5 km perjam.















Antara blok satu ke yang lain dipisahkan jalan raya. Untuk nyeberang jalan, kita harus menunggu sampai lampu hijau pertanda orang menyala. Selama itu ya, harus menunggu.

Demikian juga sebaliknya, jika tanda pejalan kaki sudah berwarna hijau, kendaraan harus berhenti.

Bicara soal kendaraan bermotor, modelnya bagus-bagus bahkan banyak yang belum dipasarkan di Indonesia, menandakan tingkat ekonomi warga di sini cukup baik.

Di Singapira, mobil sangat mahal. Pajaknya juga tinggi. Belum lagi harus bayar parkir yang tiap jamnya cukup mahal. Pemerintah di sini memang sangat membatasi pemakai kendaraan bermotor.

Kendaraan pribadi di sini tak boleh berumur lebih dari 10 tahun, emisinya dan kebersihannya harus dijaga.

Meski semuanya mengkilat, namun pemilik mobil di Singapura sangat menghargai pejalan kaki. Tak jarang mereka mengalah, jauh-jauh sudah berhenti, jika melihat pejalan kaki menyeberang jalan.

Beda dengan di Indonesia, pejalan kaki sangat menghargai pengguna kendaraan. Malah, terkesan ketakutan. Maklumlah, pengguna kendaraan di sini tak mau kalah. Bila lihat ada pejalan kaki menyeberang, maunya mau nabrak. Kalau tak begitu, klakson diumbar keras-keras.

















Setelah lama berjalan, saya berhenti di depan gedung Wisma Atria, sebelah Starbucks Coffe. Di sini duduk-duduk sebentar. Saat itu, sekawanan merpati menghampiri.

Dari bentuknya yang terawat, saya yakin ini bukan merpati nyasar. Asumsi saya, merpati ini sengaja dilepas pemerintah setempat utnuk menemani pejalan kaki. Ya, mirip di Itali-lah.

Haus ah. Sayapun berganjak ke gerai Seven 7 tak jauh dari saya duduk, untuk membeli sekadar air mineral. Di antara beberapa merek, saya memilih Aqua 600 mili. Ceritanya menghargai produk-produk Indonesia, he he he.

Tapi harganya bikin kaget. Di Indonesia hanya Rp2.500, di sini sampai 15 ribu, atau 2 dolar (1 dolar Rp7.200). Minum sebentar, duduk di bangku ubin, lalu jalan lagi.

Kali ini saya belok melintasi Hotel Hilton. Di sini saya mampir ke pedagang koran, penjualnya seorang nenek-nenek berkewarganegaraan India. Ini sudah orang lanjut usia ke sekian yang saya temui berjualan.

Memang, di Singapura harus bekerja, termasuk kaum lanjut usia. Kenapa? Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan seorang lansia Singapura. Kata mereka, hasil kerja ini mereka kumpulkan sebagai bekal jika nanti meninggal. Malumlah, biaya orang mati di Singapura amatlah mahal.

















Di gerai ini, ada sebuah koran yang menarik perhatian saya. Namanya FT Weekend. Sebuah koran ekonomi. Saat melihat, semula saya pikir ini koran lama, sebab kertasnya tampak merah kekuningan, mirip koran yang puluhan tahun disimpan. Namun setelah saya raba, ternyata kertasnya mengkilat dan halus. Entah jenis kertas apa ini.

Setelah lihat-lihat, saya tak jadi beli. Saya lihat, penjualnya menatap saya dengan wajah menggerutu.

Dari sini, saya masuk ke Isetan, mall waralaba dari Jepang. Di sini banyak gerai kosmetik, merek ternama dunia. Saya lihat, banyak kaum perempuan tua muda, kunsultasi sebelum memilih jenis kosmetik yang cocok untuknya.

Keluar dari Isetan, saya langsung disambut pedagang pakaian anak yang emmbuka gerai di trotoar. Ah, rupanya ada diskon. Harga baju, hanya 5 dolar sampoai 7 dolar. Yang tak didiskon juga ada, tapi mulai 12 dolar.

Namanya juga diskon, banyak yang mengerubung. Dan mau tahu, siapa sebagian mesar dari mereka? Ternyata orang Indonesia. Hal ini saya tahu dari hasanya, yang berdialek Jakarta (Betawi). He he he, siapa bilang orang Indonesia miskin, ya?











Saya pilih cari baju yang 5-7 dolar saja. Untuk Regalia, putri saya yang bu;lan ini berumur 13 bulan. Kebetulan modelnya bagus-bagus.

Di sinilah saya dibikin bingung oleh bahasa pelayannya. Disebut Singlish, artinya Singapore English. Bahasa Inggris yang disesuaikan dengan bahasa Tionghoa.

“Oh, kam kam kam se. Dis gud lah, ol from Hongkong, jas faef dole. Ken ken ken (Oh, come come come sir. This good lah, all from Hongkong. Just 5 dollar. Can can can?)” ujar wanita Tionghoa setengah baya pada saya.

Tentu saja saya bingung, tapi cuek saja, saya pilih baju anak-anak. Kebetulan bagus, harganya 12 dolar. Tiba-tiba si penjaga datang lagi, “Faef dole aot saed lah. Ya, aot saed aot saed (Fifth dollar out side lah. Ya, out side out side),” katanya.

Saya pun menuju ke luar. Diapun ikut, lalu memilihkan baju yang cocok untuk anak saya. Ya, inilah asyiknya berbelanja pada orang Tionghoa, semua dilayani.

Akhirnya saya pilih dua baju yang harga 7 dolar. Kebetulan modelnya unik, dan eksklusif. Setelah itu saya bayar, langsung kabur. Pusing dengarkan Singlish.





Pedestrian menikmati keindahan Orchard Road. Mau nyeberang jalan, antre dulu, tunggu lampu hijau.

Tidak ada komentar: