Senin, 15 Juni 2009

Evaluasi Kinerja Dinas Pendidikan

Terkejut rasanya membaca berita hari ini. Rata-rata laporan utama koran-koran di Kepulauan Riau melansir berita akan ribuan siswa tak lulus Ujian Nasional. Yang paling banyak diderita siswa sekolah swasta. Ada apa ini? Apa mereka bodoh-bodoh?





Tunggu dulu, sebelum menyalahklan siswa, sebaiknya Dinas Pendidikan khususnya dan kepala daerah pada umumnya, melakukan introspeksi, apakah kinerja-nya selama ini, khususnya soal pendidikan, sudah baik atau belum.

Belum lama ini, saya terlibat diskusi dengan beberapa praktisi pendidikan di kota Batam. Di antara mereka ada guru, ada juga kepala sekolah. Saat itu, kami membahas akan peristiwa beberapa sekolah di Jawa Timur tak lulus UN 100 persen.

“Apakah ini bisa terjadi di Batam?” tanya saya.
”Oh, sangat mungkin Pak. Mungkin sekali,” jawab mereka.
Saya penasaran, ”Mengapa begitu?”
”Sistem pendidikan kita masih kurang bagus,” tegasnya.

Merekapun mengurai, di Batam ini betapa mudahnya mendirikan sekolah swasta tanpa adanya kontrol yang jelas soal kurikulum dan sistem belajarnya. Sekadar diketahui, ternyata beberapa sekolah swasta di Batam, ada yang menerapkan kurikulum luar negeri.







Hal ini akan menjadi pukulan telak saat UN tiba, yang nota bene memakai kurikulum dalam negeri. Sehingga siswa akan kesulitan mengerjakannya. Bukan berarti mereka bodoh, cuma agak asing saja.

Masalah lain, soal tak jelasnya otonomi sekolah, misalnya dalam membentuk soal-soal dan semacamnya. Kadang, Dinas Pendidikan terlalu masuk dan terkadang dinilai terlalu otoriter.

Belum lagi, pembinaan Dinas Pendidikan yang kurang pada guru-guru di sekolah swasta, khususnya sekolah swasta yang miskin. Dinas Pendidikan terlalu memperhatikan guru-guru di sekolah negeri saja.

Akibat perhatian yang tak seimbang ini, sempat membuat guru-guru sekolah swasta kecewa, hingga beberapa waktu lalu sempat muncul wacana guru swasta akan mendirikan semacam persatuan.

Ada juga masalah tak jelasnya standarisasi pendidikan. Khususnya menyangkut soal-soal UN ini. Selama ini, pusat terlalu memaksakan standarisasinya saja, meski itu ada kalanya tak sesuai dengan kondisi di daerah.

Padahal, standarisasi ini penting adanya supaya kualitas pendidikan di daerah juga bisa bagus, dan tak akan banyak lagi siswa di daerah menjadi korban dari standarisasi pusat yang nota bene Jakarta sentris itu.

Dan yang paling penting kepala dinas juga kepala daerah, aktif memperhatikan masalah pendidkan dan guru ini. Buakan rahasia lagi, di kalangan guru-guru di Batam, mereka lebih menyanjung Nyat Kadir (Wali Kota Batam terdahulu), dibanding penggantinya saat ini.

”Pak Nyat lebih memperhatikan guru. Mungkin karena dia dulu adalah guru ya Pak?” ujarnya.







Ini baru masalah penyelenggara pendidikan, sementara kondisi siswa sendiri tak kalah rumit. Hal ini terkait pada kondisi psikis mereka kala menghadapi UN.

Bukan rahasia lagi, selama ini UN terlalu dicitrakan sebagai sesuatu yang (didramatisir) menyeramkan. UN bahkan, lebih menakutkan dari teror bom. Lihat saja, betapa banyak arapat kepolisian dilibatkan saat UN akan berlangsung. Mulai dari mengawal soal-soal hingga masuk ke lingkungan sekolah.

Hal ini sedikit banyak tentu membuat kondisi psikis siswa yang sudah tegang, semakin terancam. Apalagi, polisi tersebut berpakaian lengkap dengan senjata laras panjangnya.

Apa tak ada cara lain yang lebih baik, misalnya polisinya disuruh berpakaian preman saja. Apa pasal harus memakai pakaian dinas lengkap dengan senjata laras panjang-nya itu, toh yang mereka jaga bukanlah sekelompok nara pidana. Hanya siswa yang ujian saja. Jika pun ditemukan kecurangan, kan tak harus dilumpuhkan dengan senapan laras panjang. Jadi untuk apa?

Selain itu juga, peran orang tua harus aktif. Menyekolahkan anak, bukan berarti mereka melepas semua masalah anak ke sekolah. Kerena, seberapa jauhkah jangkauan sekolah? Paling banter hanya 6 jam saja. Sisanya, tentu orang tua-lah yang harus berperan. Mulailah melakukan komunikasi yang efektif, dengan mencari tahu apa permasalahan anaknya.








Di samping semua masalah ini, ada hal lain yangh tak kalah pentingnya. Hal ini terkait pada teknis pengerjaan soal.

Sudah sejak dulu kita mengatahui, bahwa jika UN berlangsung siswa harus membawa pensil 2B. Tujuannya untuk mengarsir (hitamkan) lingkar jawaban. Nah dalam praktiknya, ternyata siswa harus menekan kuat-kuat agar lingkar jawaban itu tampak hitam.

Kalau tidak, tentu jawabannya tak bisa dibaca soal. Akibatnya, karena terlalu kuat, kadang membuat lingkar jawaban itu bolong, yang berarti jawaban soal tak bisa dibaca oleh komputer.

Dari sini, marilah kita bertanya, apa memang sistem ini tak bisa diubah. Apa zaman yang secanggih ini, tak bisa menemukan sofware yang bisa membaca lingkar jawaban tanpa harus menggunakan pensil 2B, atau adakah sofware yang bisa membaca jawaban soal meski hanya dicoret tipis saja?

Demikianlah. Saya rasa yang saya kemukakan disi ini adalah masalah yang tampak di permukaan saja, karena aslinya bisa jadi seperti gunung es, tampak sedikit di permukaan, padahal di bawah sangat besar.

Tidak ada komentar: