Minggu, 21 Juni 2009

Escape to Singapore (4)

yang oleh National Geographic disebut the finest destination on earth, laju taksi tiba-tiba melambat. Saya lihat di depan, sebuah plang nama “Arab Street” menyambut.

“Oke. How much,”
“Six dollar,” kata pak supir, sembari menunjuk angka 6 pada sebuah LCD kecil di dashboard.

Setelah bayar, sayapun berganjak keluar. Ah…. Arab Street. Tempat ini merupakan blok besar yang terdiri dari rumah toko dua lantai. Desainnya antik dan saling berhadapan, megapit jalanan untuk pedestrian. Di jalan itu, kadang banyak dibikin untuk kedai makan atau minum.

Toko-toko di sini memang banyak menyediakan makanan hingga souvenir khas Timur Tengah atau khas muslim lainnya, semisal sajadah, parfum, tasbih dan lain-lain.

Tak heran, semua nama jalan di sinipun mengambil nama daerah di timur tengah dan asia tengah. Ada Baghdad, hingga Kandahar Street.

Tiap hari, di sini banyak dikunjungi para wisatawan muslim, yang ingin mencicipi masakan halal dan enak. Terutama wisatawan dari Indonesia, yang rindu masakan Jawa atau Padang, di sinilah tempatnya.

Tak mau berlama-lama, saya berjalan satu blok, mencari warung teh tarik langganan, milik orang Bangla (Bangladesh). Letaknya di pojok komplek pertokoan di Jalan Busaroh.

Selain menghilangkan haus, saya berharap bisa mengusir rasa kare yang sejak tadi terus melekat di tenggorokan.

Seorang tua berpeci putih, berjanggut putih datang menyambut, saat saya duduk di kursi pojok.

“One teh tarik, please…” ujar saya. Diapun langsung tergopoh masuk lagi. Tak lama, dia datang dengan segelas teh tarik di tangan.

Saya sruput… Ah, rasanya lebih enak dari pada milik H Amin, tadi pagi. Saat itu saya kembali teringat, kok potongan penjual teh tarik ini sama semua? Orang tua, berjanggut putih, pakai kaos oblong putih dan celana kain putih. Ah mungkin hanya kebetulan saja.

Di seberang jalan, saya melihat orang tengah bersantai di Kampong Glam Cafe. Nama ini diambil dari nama kampung yang dulu ada di daerah ini. Dulu, Kampong Glam tempat orang-orang Melayu, pengukit Sultan Hussain.


Selanjutnya, kampung ini juga dikenal sebagai tempat komunitas Bugis. Di sini pula, banyak menetap orang Boyan, atau Bawean, sebuah pulau yang berada di utara Jawa Timur.

Hingga kini, Kampong Glam menjadi tempat favorit bagi anak-anak asal Indonesia untuk sekedar kongkow, melepas rasa penat. Di antara mereka adalah orang Bawean, asal Jawa Timur.

Saat syik duduk, saya mendapat seorang kawan. Namanya Philip. Dia marga Tionghoa.
Kamipun terlibat percakapan. “Ah, sayang sekali judi di Indonesia ditutup. Kan yang berjudi orang Singapur juga,” katanya.

Philip, memang paham bahasa Indonesia. Maklumlah, beberapa waktu lalu, di kerap bolak-baik Batam- Medan-Pekanbaru, untuk mengurus bisnisnya.

Tak lama, setelah berbincang, saya pamit ke Philip. “Saya mau ke Masjid Sultan.” Diapun mengangguk. Masjid Sultan terletak di Muscat Street, tak jauh dari tempat saya nge-teh. Tepatnya ada di belakang blok ini.

Tak lama saya pun tiba di Masjid Sultan, masjid tertua dan terbesar di Singapura. Masjid ini dibangun oleh Sultan Hussain pada tahun 1824-1826, bersama istana Sultan yang berada di sebelahnya. Meski sudah tua, namun masih kokoh dan bagus. (Lebih lengkap klik : http://en.wikipedia.org/wiki/Masjid_Sultan).

Sebenarnya saya ingin masuk ke dalam untuk mengetahui profil masjid ini, namun mengingat badan penuh daki, jadi takut mengotori kesucian masjid.

Tahulah kita di Singapura, di jalan saja sangat mengutamakan kebersihan, apalagi di masjid. Meski begitu, saya masuk ke pelataran masjid. Dari sinilah saya dapat melihat kemegahan bangunan masjid di dalam.

Mihrabnya berbentuk panggung, khas mihrab masjid-masjid Melayu, dengan tiang berukir keemasan. Suasananya kian elok, dengan lampu kristal menghiasi langit-langit. Aneka karpet dari timur tengah, tampak menghampar rapi. Sementara di dinding sebelah luarnya, banyak berjejer tv plasma yang tiap saat menayangkan ayat suci Alquran.

Puas melihat-lihat, saya pun memutuskan kembali ke pelabuhan. Saat hendak berganjak dari halaman masjid itulah, saya melewati beberapa perempuan dengan baju lusuh, duduk di bangku balok setinggi lutut.

Saya penasaran. Kok di Singpura ada orang macam ini? Ternyata mereka adalah pengemis yang berharap sedekah dari pengunjung masjid. Agar tek mengganggu, otoritas
Setempat membuatkan mereka lahan berupa tempat duduk berbentuk baloh, yang memagar di kiri kanan masjid.

Sayapun terus berlalu. Naik taksi lagi. “Harbour Front,” serusaya mantap.

Dari Arab Street menuju pelabuhan ini, saya melintas jalan layang. Jalan ini tampaknya baru dibangun, karena sebelumnya saya tak melihatnya. Dari atas jalan ini, saya melihat ke sisi kiri, Singapore Wheel yang beberapa bulan lalu sempat macet itu, berderak lambat, mengangkut beberapa wisatawan.

Dan ketika melihat di sisi kanan jalan, ada tiga tower yang pembangunannya terus dikebut. Saya lihat sudah kelar 80 persen.
“This Singapore casino,” kata pak supir.

“Ah tak heranlah, bangunannya mirip mesin jackpot,” batinku berkata.

Akhirnya, sampai juga ke pelabuhan. Batam, saya pulang.










Pemandangan di Arab Street, Kampong Glam Cafe, Deretan toko suvenir menuju masjid sultan, Masjid Sultan.
.

Tidak ada komentar: