Selasa, 02 Juni 2009

Kekanak-kanakan

Sungguh risih rasanya, mendapat label childish alias kekanak-kanakan. Teman-teman pun menghindar. Maklumlah, siapa yang betah berada di dekat ”anak kecil”.



Begitulah keluhan seorang kawan. Memang, akhir-akhir ini bahasan soal sifat ini ramai dibicarakan. Bukan hanya kalangan muda remaja, juga kalangan profesional. Karena childish bukanlah monopoli remaja saja, namun juga “diidap” orang dewasa, bahkan terbilang matang sekalipun.

“Diidap?” Memangnya childish penyakit ya? Oh, maksud saya dimiliki. Begitu. Karena childish merupakan cabang sifat atau sikap.

Hal ini memiliki tautan erat dengan apa yang disebut peterpan syndrome. Sepele memang, namun kalau tak segera disadari bisa menjadi penyakit.

Childish, sesuai namanya, si pemilik sifat cenderung bersifat layaknya anak kecil, bahkan mirip balita.

Sifat anak kecil itu bagaimana? Yang paling mendasar adalah ingin selalu diperhatikan atau istilah psikologinya hypokondria. Karena itu, jangan heran jika mereka akan terus mencari perhatian. Bagaimana bila kita tak memberi perhatian, mereka akan marah. Bisa juga nangis dan merengek.

Sifat lain, umumnya selalu ingin dipuji dengan dibilang cakep, pinter, pokoknya yang hebat-hebat. Omongannya selalu ingin didengar. Dan yang terakhir selalu bersifat teretorial.

Uraiannya seperti ini. Tentunya kita pernah berhadapan dengan anak kecil, khususnya balita. Lihatlah, bagaimana cara mereka bersikap dan berkomunikasi.

Yang jelas, saat berbicara dia ingin selalu didengar, materinya selalu berkutat pada hal yang menunjukkan kehebatannya. ”Ayah (atau) Om... tadi saya bisa begini lho... atau Om... om... lihat, saya punya ini....”






Atau bisa juga seperti ini, saat berbicara kadang tak mempertimbangkan etika. Ya, namanya juga anak-anak. Misalnya, pernah kejadian anak kecil yang bertanya soal hal-hal pribadi atau provasi seseorang. Bahkan, kecacatan seseorang. Dan ini saya alami sendiri.

Kala itu, ponakan saya dengan polosnya bertanya, “Om... om... om.... mata kiri om kenapa? Kok merem terus,” katanya sambil menuding ke mata kawan saya yang (maaf) cacat itu. Kontan saja, kawan saya langsung pergi. Sayalah yang malu minta ampun.

Juga pernah dia bertanya, tentang sebuah hal yang bersifat pribadi lainnya. Misalnya begini, "Om... om... gaji om berapa sih? Banyak mana sama gaji papa?" Ampun deh! Semua mau diurusi.





Atau juga bisa begini, saat bersikap cenderung menunjukkan teritorialnya (wilayah kekuasaannya). Mereka bertingkah bak raja kecil, atau istilah psikologinya trozalter.

Pernahkan pengalaman, bertemu balita. Katakanlah anak kawan kita. Lihatlah, betapa sangat senangnya dia memamerkan wilayah kekuasaannya. Hal ini bisa dia tunjukkan saat dia menangis atau merengek, atau bersikap tak mau berbagi mainan atau makanannya pada Anda.

Anak kecil, memang selalu ingin tampak oleh orang lain, bahwa dia hebat, bahwa dia berkuasa. Ya namanya juga anak kecil, semuanya masih manis dilihat dan dirasakan, tapi kalau “casingnya” orang dewasa, namun sikaponya macam begitu, tentu bukan sebuah hal yang menyenangkan.

Seorang rekan sering cerita, terpaksa menghindar jika rekannya yang bersifat childish ini tiba-tiba muncul. Alasannya ada saja. ”Pernah suatu ketika kami kumpul-kumpul, tiba-tiba dia (menyebut nama rekannya yang bersifat childish) nelepon mau ikutan gabung, terpaksa kami bubar,” jelasnya.

“Mengapa?”
“Ya, habis siapa mau tahan ngobrol ama dia. Selalu ingin menonjolkan diri, ingin disanjung, omongannya selalu ingin didengar. Capek deh...” selorohnya.








Lalu, megapa bisa childish? Biasanya, sifat ini muncul bawaan dari faktor masa kecil. Seorang anak yang terlalu dekat pada ibunya, bisa jadi anak bungsu, umumnya rawan dihinggapi sifat childish ini. Hingga dewasa, sifat ini terus dia bawa. Sekarang pertanyaannya, bahayakah sifat ini?

Bisa iya, bisa tidak. bahaya, jika sifat childish ini mempengaruhi cara berpikir (menangani masalah). Namun bisa tidak, ya tak masalah. Sekali lagi, childish adalah sifat.

Umumnya hanya mempengaruhi fungsi sosialisasi, bukan cara berpikir. Karena, banyak juga orang dengan sifat childish ini yang mengisi posisi penting dalam organisasi.

Lalu, bagaimana menghadapi orang bersifat childish ini? Inilah repotnya. Yang jelas kita harus sabar, dengan terus berusaha menyadarkan siapa dia sebenarnya. Caranya bisa melalui teknik komunikasi yang manis. Sekali lagi, harus sabar. karena bila tidak, ya mending menghindar sajalah. Capek.

Tidak ada komentar: