Kamis, 04 Juni 2009

Pilih JK, tapi SBY Lebih Ganteng

Akhir-akhir ini, sambutan terhadap Jusuf Kalla sebagai presiden 2009-20014 kian bertambah. Beberapa cendekia utama negeri ini beserta, mulai berhimpun di belakangnya, menyatakan dukungan.

Dukungan atas Kalla ini didasarkan pada sebuah fakta, bahwa ada Kalla di balik beberapa keputusan besar di pemerintahan SBY. Misalnya saja, soal perdamaian di Aceh, bantuan langsung tunai, kenaikan BBM, swasembada besar dan lainnya. Intinya, Kalla adalah karya nyata.

Sementara, bagi mereka SBY dipandang masih melakukan tebar pesona. Kinerja SBY dinilai masih terbatas pada publisitas, pencitraan, dan berebut simpati masyarakat.

SBY dinilai bak peserta kontes pencarian bakat, semacam Indonesian Idol, di mana selalu menjual drama, bahkan telenovela, tentang orang terzalimi, tentang seorang miskin dan semacamnya, bak kisah Pangeran Katak, Putri Salju,dan Joko Kendil, agar mendapat simpati publik. Yang penting bagaimana memenangkan hati khalayak, itu saja.

Tentunya kita masih ingat akan lakon SBY yang sesenggukan di depan para korban musibah pesawat, atau sikap marah-marah-nya itu, yang kini populer ditiru pejabat hingga ke daerah tingkat II.

Yang paling gres, saat baru-baru ini kita ditimpa ketegangan dengan Malaysia soal blok Ambalat, SBY berkata, bahwa tak mau berperang dengan Malaysia, sebab biaya perang itu mahal, karena setiap rudal dan peluru itu dibeli dari uang rakyat. Kan sayang uang rakyat dihambur-hamburkan.









Perhatikan, bagaimana SBY menebar empatinya, lewat kalimat di atas. Lagi-lagi rakyat, seolah dia memang berpikir betul akan rakyat. Tak ayal, kalimat SBY ini menuai reaksi keras, khususnya di kalangan anak muda. SBY dinilai hanya pandai nge-les. Sebuah kalimat publisitas yang bagai bumerang. Senjata makan tuan.

Namun, apapun kehebatan Kalla dan keburukan SBY di mata kaum cendekia, rakyat berkata lain. Karena bagaimanapun, popularitas-lah yang bermain di sini. Psikologi pemilih Indonesia, tetap tak berbeda antara memilih presiden atau memilih Indonesian Idol. SBY tetap saja lekat di hati mereka. Kenapa? Lagi-lagi fisik berbicara di sini.

Magnet SBY ini begitu lekatnya, terutama di hati kaum hawa, khususnya ibu-ibu. Hal ini pernah saya dengar, saat mempir ke sebuah pangkas rambut. Saat itu saya mendengar, seorang ibu yang begitu mengagungkan kegagahan SBY. Sementara, saat berbicara soal Kalla, dia malah mencibir. ”Ah, model begini mau jadi presiden. Tak pantes,” katanya.

Contoh yang paling gress, tampak saat SBY dan Kalla usai menjadi saksi akad nikah politisi Idrus Marham di Masjid Kubah Emas, Kamis (4/6/2009). Puluhan tamu undangan yang semuanya ibu-ibu spontan mengerubuti SBY, sementara Kalla sama sekali tak tersentuh.

”Calon presiden kita sangat kharismatik, ganteng banget, sumpah. Jadi nggak nyesel deh pilih dia,” ujar salah undangan, Rita Elli, usai menyalami SBY.

Hal tersebut terjadi ketika SBY dan Ibu Ani hendak meninggalkan masjid megah itu. Tiba-tiba saja puluhan ibu yang semuanya berdandan cantik lazimnya menghadiri hajatan mengerumuni SBY hingga membuat lingkaran.










Kejadian tersebut sempat membuat Ibu Ani terpisah dari SBY karena tersingkir oleh ”serbuan” ibu-ibu yang ingin bersalaman dengan suaminya. Namun kejadian tersebut hanya berlangsung sebentar saja karena dengan sigap Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) segera memisahkan SBY dari para fansnya.

Lalu dengan tertib para penggemar SBY tersebut dipaksa berbaris sehingga bisa bersalaman dengan pujaan hatinya secara teratur. ”Kalau bisa jadi presiden seumur hidup deh,” cetus Bu Panji sambil tertawa bersama kumpulannya usai bersalaman dengan SBY.

Mengingat begitu populernya SBY, maka, Kalla harus berkerja lebih keras lagi untuk mengalahlannya, khususnya bagaimana meraih simpati masyarakat. Karena, memang fisiknya tak menjual, meski otaknya cukup brilian dan mampu berpikir lebih cepat, lebih baik.

Untuk itu, kemampuan tim sukses harus dominan di sini. Bagaimana mereka mencitrakan Kalla, sehingga layak untuk dipilih.

Namun, berbicara soal ini, saya sangat kecewa melihat tim sukses Kalla, khususnya yang berada di Kepri. Pernah dalan sebuah sesi pertemuan, saya melihat mereka terkesan asal-asalan, bahkan jauh dari kata profesional. Hal ini tampak, kurang bagusnya mereka dalam melakukan sebuah presentasi.








Dari penampilannya saja, sudah tak menarik, ibarat bapak-bapak yang mau belanja ikan ke pasar. Pakaiannya terkesan asal, ada yang pakai kaos, ada yang pakai jaket, itupun sudah kusam. Pokoknya dandanannya juga kurang meyakinkan. Masih lebih keren sales asuransi. Dari sini saja sudah tampak kurang menghargai orang.

Lebih kecewa lagi saat mendengar mereka presentasi. Aduh, layaknya rapat RT saja. Saat duduk di meja, bahasa tubuhnya juga tak mencerminkan seorang cendekia dan profesional. Ada yang duduk sembari setengah tidur, ada juga yang hadapnya ke kiri dan ke kanan, mirip suasana warung kopi saja.

Dan ini yang penting. Ketika ketua tim suksesnya membuka pembicaraan, mau tahu apa isinya? Ternyata, hanya berisi sebuah ”hak jawab” atas tudingan lawan politiknya. Misalnya, soal moto ”Lebih cepat lebih baik”, yang mereka bilang, ”Ini bukan berarti grasa-grusu. Jadi tak benar jika ada yang bilang seperti itu!”

Wah, apa hubungannya? Memangnya siapa yang menuding? Kenapa harus dijawab? Lagi pula, mengapa harus memikirkan omongan orang? Mestinya langsung saja memaparkan apa dan siapa mereka (tim sukses) dan apa programnya, sehingga masyarakat harus memilih JK.








Kalau perlu, bawalah laptop, siapkan slide, sehingga kesan profesional kian lekat, dan masyarakat, setidaknya saya, jadi yakin untuk memilih JK.

Yang lebih bikin memuakkan, saat salah seorang dari mereka diminta untuk memberikan presentasinya. Ternyata, yang diminta menolak, lalu saling lempar pada anggota tim-nya yang lain.

”Kamu sajalah...” katanya menujuk ke sebelahnya.
Yang di sebelahnya, membalas, ”Ha? Bapak saja lah...”
”Ndak, kamu sajalah...”
”Oh, baiklah...” barulah dia berbicara, itupun posisi duduknya masih setengah tidur.

Saat berbicara juga tak jelas apa yang dimaksud, nadanya juga kurang tegas, macam orang mengigau saja.

Sudah begitu, komentarnya malah mengoreksi keterangan yang disampaikan ketua tim sukses-nya sendiri.

Aduh... Apa-apaan ini. Serius nggak sih?

Tidak ada komentar: