Jumat, 05 Desember 2008

Dasi untuk Pak Mentri

Saat remaja, Adhyaksa Dault pernah mendapat hadiah ualang tahun sebuah dasi dari ibunda tercinta. Setengah tak percaya, Adhiyaksa bertanya, untuk apa gerangan dasi tersebut. Ibundanya hanya menjawab, “Pakailah saat kamu dilantik jadi mentri!”

Hingga akhirnya saat yang teristimewa itu sampai juga. Dasi hadiah dari ibunda itu dikenakannya saat ia dilantik oleh Presiden SBY sebagai Mentri negara Pemuda dan Olahraga di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009).

Entah disengaja atau tidak kalimat yang diucap sang bunda saat memberikannya, yang jelas bagi Adhiyaksa dasi itu telah menjadi motivasi dan doa seorang ibu. Kalimat motivasi dan doa yang tepat, sehingga menghasilkan efek yang tepat jua. Dasi tersebut telah menjadi motivasi dan doa yang harus dikejar. Motivasi dan doa yang harus dibuktikan.

Bagi setiap orang tua, adalah kebanggaan melihat putra-putrinya berhasil meraih apa yang dicita-citakan. Namun kadang, banyak di antara orang tua yang kadang salah dalam memberikan jalan.

Adakalanya pula mereka salah mengartikan kalimat motivasi, sehingga selain yang diberikan itu tak tepat, kata-kata motivasi yang seharusnya membangun, malah menjadi kalimat ejekan dan hinaan yang tajam. Jadi, jangan salahkan si anak jika mentalnya langsung turun drastis.

Sering kita mendengar ada orang tua memotivasi anaknya seperti ini; Nak, daripada jadi ekor harimau mending jadi kepala tikus.

Padahal sebenarnya kalimat motivasi ini berbunyi; Kalau jadi ekor, lebiih baik jadi ekor harimau. Tapi kalau jadi kepala, kepala tikus juga tak apa.

Hal ini diartikan, bukan berarti jadi ekor harimau itu tak berguna sehingga harus dijadikan kepala tikus, sebab dengan ekornyalah harimau menyeimbangkan diri saat memburu mangsanya. Dengan ekornyalah harimau menenangkan diri dan mendeteksi bahaya. Jadi, bukan berarti jadi ekor tak ada gunanya. Tugasnya juga sama berat dengan organ tubuh yang lain.

Sedangkan “kepala tikus” memiliki daya untuk menentukan arah, kapan harus bersikap, kapan harus lari dan sebagainya. Sebenarnya tugasnya juga sama dengan kepala harimau, sebab harus memikirkan tubuh, hati, ekor dan lainnya. Malah lebih berat, sebab harus mengangkat martabat, kebanggan, harga diri tubuh dan ekornya agar mentalnya bisa setara dengan harimau.

Selain motivasi tadi, adakalanya pula, orang tua yang hanya mengandalkan pada uang semata agar putra-putrinya bisa berhasil. Sehingga kadang malah membikin si anak kian manja, tidak mandiri, bersikap ngebos, jika ditimpa masalah selalu lari atau ahli mencari kambing hitam.

Sebuah pengalaman. Beberapa waktu lalu saya sempat berkunjung ke sebuah sekolah berkelas. Saat itu saya mengemban tugas dari perusahaan untuk memberi pelajaran akan pekerjaan yang saya geluti kepada siswa SMP-nya.

Semula saya berbangga hati dan melakukan persiapan maksimal, sebab yang akan saya temui adalah murid-murid sekelas siswa internasional. Pasti mereka sangatlah kritis dan serba ingin tahu. Jadi kalau ditanya, saya bisa jawab.

Tapi apa yang terjadi, begitu saya bertatap muka dengan mereka, yang saya temui adalah sekumpulan anak manja dan lembek, jauh dari kritis dan agresif. Tak ada pertanyaan keingintahuan di sana.

Sayapun bingung. Lalu saya membuat pertanyaan dari materi yang baru saja saya sampaikan. Apa yang terjadi? Semuanya tak bisa menjawab, karena saat saya menerangkan mereka sibuk dengan dunianya, seperti ngobrol dengan teman dan lainnya.

Lalu saya alihkan pembicaraan dengan mengupas gosip artis atau game apa saja yang mereka suka. Mau tahu? Hampil 90 persen bisa menjawab dengan baik. Bahkan mereka tahu gosip hot tentang artis Hongkong yang beritanya belum sampai ke Indonesia.

Selanjutnya saya coba bertanya, ”Apa di sini ada yang menggeluti jurnalis sekolah?” Mereka jawab ada. Hanya lima anak saja. Lalu saya minta contohnya, tak lama seorang pesuruh kelas datang membawa beberapa contoh.

”Ini siapa yang buat, apa kalian?”

Mereka menjawab, ”Tidak Om, semua sudah ada yang mengerjakan. Dia adalah pesuruh kelas!”

Waduh, jadi seperti inikah kualitas sekolah berkelas itu? Hanya mendidik anak-anak bermental bos? Saya paham, bahwa anak-anak yang sekolah di sini adalah anak para bos, namun tak selayaknya sekolah memperlakukan mereka layaknya para bos.

Mencarikan sekolah yang hebat tentu baik, namun bukan berarti setelah masuk ke sana masalah bisa beres lalu anak dengan sendirinya akan keluar menjadi orang hebat. Sebab, tanpa kontrol dari orang tua semua tak ada arti.

Orang tua haruslah rajin memantau, seberapa jauhkah perkembangan si anak, seberapa bisakah dia menerapkan ilmunya tersebut, khususnya dalam memecahkan sebuah persoalan. Jangan ragu untuk memindahkan anak dari sekolah yang bermutu bagus sekalipun, jika ternyata di sana mereka hanya diajarkan bermental manja, kritik negatif dan perengek.

Di beberapa negara maju, semacam Singapura, orang tua di sana aktif berdiskusi untuk mengatahui apa minat dan bakat putra-putrinya. Kalau memang dirasa ilmu yang didapat di sekolah masih kurang, mereka tak segan mencarikan ilmu tambahan, semacam bimbingan belajar dan les privat lain.

Dengan demikian, diharap si anak memiliki bekal cukup saat menghadapi tantangan nanti. Inilah hal yang terpenting. Karena kian ke depan, hidup kian keras. Tak heran, “kehidupan belajar” anak-anak di Singpura sangat keras. Masih SD saja bukunya tebal-tebal. Tak ada waktu luang, belajar dan terus belajar. Setelah dari sekolah disambung ke tempat kursus.

Mereka berprinsip, kalau sedari kecil anak diajarkan keras pada hidup, maka hidup akan lunak pada mereka. Sebaliknya, jika sejak kecil anak selalu diajarkan lunak pada hidup, maka kehidupan itu akan keras pada mereka.

Di Batam sendiri bagaimana? Sudah mulai mengarah ke sana. Indikasinya tampak dari menjamurnya tempat kursus, bimbingan belajar dan semacamnya. Animo masyarakat pun sangat baik. Lihat saja, setiap kelas yang tersedia selalu penuh. Cuma sayangnya, kadang pemandangan tersebut hanya tampak saat akan ujian saja. Istilahnya management by crisis; saat kepepet baru sibuk.

Ya, mungkin ini juga dipicu mahalnya biaya masuk bimbel.

Tak ada yang sempurna. Yang penting niat dan kerangka berfikir ke arah mendidik anak dengan baik, sudah ada. Itu sudah cukup. Sehingga nantinya Adhyaksa Adhyaksa lain bermunculan.

----------
Allah cinta pada orang berfikir.

Tidak ada komentar: