Selasa, 02 Desember 2008

Saudagar Etnis, Etnis Saudagar

“Saudagar”. Sebutan lain dari pengusaha ini kian populer sejak Jusuf Kalla duduk sebagai Wakil Presiden. Sebenarnya saudagar sendiri merupakan sebutan untuk pedagang antarpulau hingga benua yang berdagang ke daerah lain dengan kapal.

Dari definisi di atas sudah dapat disimpulkan bahwa seorang saudagar pastilah memiliki wawasan luas serta pengalaman luas, yang dia dapat selama dalam perjalanan, menjelajah (baca berdagang) dari pulau satu ke pulau lain, dari negara satu ke negara lain yang tentunya memiliki beragam wawasan, adat istiadat hingga bahasa yang berbeda pula.

Di zaman dahulu, peran saudagar saat itu sangat penting bagi denyut nadi perdagangan dan politik sebuah negara. Bahkan penyebaran agama sendiri juga dilakukan kaum saudagar.

Sering para saudagar ini diundang raja-raja tempat dia singgah untuk mengisahkan pengalaman dan catatannya selama dalam perjalanan. Dari para saudagar inilah, mereka mendengar dan mengenal kerajaan-kerajaan besar, mencakup bahasa, adat istiadat, budaya, ilmu pengetahuan, produk unggulan, hingga kekuatan perangnya.

Dari saudagar pulalah, tatanan dunia baru terbentuk. Banyak jejak-jejak sejarah bangsa-bangsa dunia ini disumbangkan oleh tulisan parta saudagar.

Selain itu, kebiasaan raja-raja mengundang para saudagar untuk mendapat informasi, selain bertukar cindramata, membuat hubungan mereka kian kuat. Tak jarang ditemukan dalam sejarah, seorang raja yang menikahkan putranya dengan anak saudagar atau sebaliknya. Bahkan ada kalanya, keputusan raja maupun ratu ini dipengaruhi oleh kaum saudagar.

Bangsa-bangsa Eropa, banyak membongceng para saudagar sebelum dia menjajah bangsa-bangsa di belahan dunia ini. Tentunya kita masih ingat bagaimana saat “Englishman” James Cook, memanfaatkan kaum saudagar, sebelum menaklukkan Hawaii di bawah pemerintahan Raja Kameha-meha.

Ah, di Indonesia sendiri penjajah Belanda juga membonceng kaum saudagar rempah-rempah sebelum dia menaklukkan satu demi satu kerajaan di Nusantara dan menjajahnya. Itulah mengapa orang dulu menyebut Belanda dengan kompeni, yang sebenarnya berasal dari kepanjangan huruf “V” pada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. Ini semacam holdings pemerintah Belanda di Asia.

Di Indonesia, peran kaum saudagar ini juga tak kalah penting. Bahkan, Islam sendiri pertamakali disebarkan oleh kaum saudagar dari Gujarat, India hingga berlanjut ke daerah timur Nusantara.

Jauh sebelum Majapahit berdiri, Kerajaan Tumapel, Singhasari (1222) terkenal di daratan Tiongkok, setelah kaum saudagarnya melakukan hubungan dagang. Bahkan, Tumapel muncul dalam kronik China dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

Hingga akhirnya kebesaran Tumapel menarik perhatian Raja Mongol Kubilai Khan, sehingga Kertanegara sang raja saat itu, harus mengantisipasi penyerbuan tersebut dengan membuat operasi bersandi “Ekspedisi Pamelayu”.

Selain itu, Sriwijaya juga besar dan menjadi pusat ilmu pengetahuan di Asia, tak lepas peran kaum saudagar pula. Dari para saudagar pulalah, kita hingga saat ini masih bisa menyaksikan peninggalan keramik dari dinasti Ming yang termasyhur itu.

Mungkin karena berkaca dari sejarah saudagar di masa lalu, saat ini istilah “saudagar” coba dihidupkan kembali di Indonesia daripada “pengusaha” itu sendiri. Cuma yang saya pertanyakan, kok skupnya makin dipersempit ke tataran premordial dengan mengelompokkan diri berdasar etnis. Maka muncullah Saudagar Bugis, Saudagar Minang, Saudagar Melayu dan lain-lain.

Mungkin ide ini muncul karena mereka melihat pedagang etnis Tionghoa dan Yahudi yang berhasil karena membina ikatan bisnis berdasar suku. Prinsipnya saling bantu. Contoh, di Glodog hingga kini pedagang Tionghoa mengutip iuran keanggotaan yang suatu saat digunakan untuk membantu para anggotanya untuk lebih berkembang.

Jika memang berdasar seperti ini, memang tak ada salahnya. Supaya mereka saling mengenal, lalu membina kerjasama. Begitu kan? Asal jangan sampai ada anggota yang jadi penumpang gratis. Maunya tiduran sambil menikmati hasil kerja rekannya.

Lebih parahnya, kelompok saudagar berdasar etnis ini malah disalah gunakan sebagai mesin lobi. Misalnya, di Sumatera Barat pemerintah di sana hanya menganak-emaskan Saudagar Minang atau di Makasar, hanya saudagar Bugis saja.

Padahal, di Makasar tak semua saudagarnya orang Bugis, demikian juga di Padang, tak semua saudagarnya orang Minang.

Bingung kan?

Maka itu, perlu kearifan penguasa dan pengusaha untuk menyikapi hal ini. Jangan sampai saudagar berdasar etnis ini kian membentuk kristalisasi tajam dalam masyarakat. Sehingga rawan gesekan. Karena seperti diketahui, di Indonesia masalah etnis, termasuk suku, agama, ras dan antar golongan, selalu rawan untuk diperbincangkan. Kalau tak bijak, bisa menimbulkan pertentangan.

Sebuah pidato kampanye Barrack Obama, mungkin bisa jadi renungan kiuta semua. “Saat ini tak ada lagi negara bagian merah (red states), atau negara bagian biru (blue states), yang ada adalah negara bagian yang berserikat/bersatu (united states)!”

Beginilah cara Obama mengungah kesatuan Amerika yang selama ini diabaikan warganya. Jadi, sungguh tak masuk akal bila di Indonesia yang katanya menjunjung negara kesatuan ini, masih menyuburkan kelompok-kelompok premordial. Untuk itu, apa tak lebih mending mengusung semangat daerah, daripada mengusung etnis?

Tidak ada komentar: