Senin, 22 Desember 2008

Semalam di Situbondo (2)

Rumah-rumah pun berderet rapi. Yang menarik, di setiap rumah penduduk selalu ditanami pohon mangga, mulai golek, harumanis dan mana lagi. Saat itu sudah musim buah. Ya, mangga memang menjadi tanaman andalan warga di sini, tak heran Situbondo juga disebut kota mangga.

Di jalan raya saat itu saya jarang melihat lalu lalang sedan mewah, paling banter hanya sepeda motor, angkutan kota dan becak. Becak ini cukup banyak dijumpai di sini, jika di Batam becak ibarat ojek. Di mana-mana ada pangkalannya.

Pemandangan menarik yang tak saya jumpai di Batam, adalah masih ada anak-anak mengayuh sepeda ke sekolah. Umumnya mereka berkelompok dan kompak. Ada juga yang naik bus sekolah tua. Kalau dilihat dari modelnya, bus antik ini adalah peninggalan zaman Belanda yang biasa dioperasikan untuk mengangkut karyawan pabrik gula. Maklum, di Situbondo ini merupakan kota penghasil gula.




Sepanjang trotoar saya juga melihat ibu-ibu berkerumun di depan sebuah rumah. Pakaian yang mereka kenakan, umumnya kebaya warna hitam, sarung (biasa disebut jarik) bermotif batik dan penutup kepala. Saya penasaran, lalu mendekat. Ternyata mereka tengah membeli ikan.

Saya mendengar, mereka berkomunikasi dengan bahasa Madura. Ya, bahasa ini adalah bahasa resmi Situbondo, selain Jawa itu sendiri. Karena, awal mulanya Situbondo, dan daerah Tapal Kuda lainnya (sebutan daerah di pesisir utara Jawa Timur), banyak dibuka perantau asal Madura.

Kesan yang paling akhir, kota ini adalah kebersihannya. Sepanjang jadi pedestrian, saya tak menjumpai selembar sampah pun. Tiap jam, petughas dengan sapu di tangan, rajin membersihkannya. Halte-halnya pun bersih dari coretan.

Puas melihat-lihat, saya kembali ke hotel. Setelah pukul 12.00, saya pergi melihat-lihat kota. Pemandangan pusat kota Situbondo tak beda jauh dengan kota-kota di Jawa, atau Indonesia pada umumnya.

Selalu ada alun-alun besar, di sekelilingnya berderet kantor Bupati, perkantoran dan masjid jami. Konsep ini adalah tata kota peninggalan Belanda. Saat itu Belanda membagi kota berdasar tiga aktivitas, kraton sebagai tempat pemerintahan, pasar sebagai tempat transaksi jual beli dan alun-alun sebagai tempat aktivitas warga. Semua ini saling bertaut, untuk itulah disatukan dalam sebuah konsep tata kota terpadu.

Saya sejenak memperhatikan pemandangan sekitar alun-alun. Semua masih hijau, berpagar pepohonan besar yang usianya sudah ratusan tahun. Di gerbang pintu masuk ada monumen yang diatasnya berdiri patung garuda. Kebersihan di sini juga terjaga dengan baik.

Di jalan setapak sekeliling alun-alun, juga terpasang lampu-lampu jalan warna hijau. Di “lehernya dan pinggangnya” terukir gambar batik, khas daerah yang banyak memadukan warna kontras, sepreti merah muda, hijau dan kuning.

Layaknya kota-kota lain yang bersiap melaksanakan pemilu legislatif, di Situbondo banyak saya jumpai spanduk para caleg. Bedanya dengan di Batam, mereka masih muda-muda. Yang lelaki ganteng dan yang perempuan cantik-cantik.

Ke Situbondo tak lengkap jika tak mencicipi mangganya. Apalagi saat ini sudah musim buah. Sayapun menuju ke sebuah toko, tempat wisatawan biasa berbelanja. Rupanya pemiliknya adalah seorang Tionghoa. Sayapun kaget, ternyata mereka sangat fasih berbahasa Madura.

---------
Terimakasih:
Hasan Aspahani, Pemimpin Redaksi Batam Pos

2 komentar:

ata mengatakan...

andai sampean tau alun-alun masih punya pohon beringin yang ada semenjak jaman kolonial, pasti lebih kagum lagi :D

Suara Situbondo mengatakan...

terima kasih.. sdh mengapresiasi kota kami...kapan dtng berkunjung lg ..mumpung ada peringatan ultah situbondo ke 37..bakal banyak seni tradisi yg bakal d gelar..Salam dan sukses Selalu