Selasa, 30 Desember 2008

Ikra’... Bacalah...

Ikra’ (bacalah). Itulah perintah pertama Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang buta baca tulis itu. Bukan salat, puasa, zakat, haji. Bacalah ya Muhammad, baca, baca, baca…

Yang Maha Agung, tentu maha tahu, apa efek membaca bagi manusia, sehingga dia perlu menekankan ini pada Muhammad sebelum memberi mandat kerasulan, hingga merelakan Islam jadi agama umat manusia.

Perintah inilah yang dilaksanakan umat Islam di masa-masa itu, sehingga mampu mengukir zaman keemasan. Banyak ilmuan besar dilahirkan, mulai matematika, astronom, kedokteran, hingga rancang bangun. Sebut saja Alkhwarizmi, Aljabbar, Ibnu Sina dan lain-lain.

Peradaban Islam sangat maju, kala itu dan memiliki koleksi buku di perpustakaan yang terpusat di Baghdad, Abbasiyah kini disebut Irak. Di masa-masa perang salib, orang-orang Eropa banyak dibuat bingung oleh kemajuan peradaban ini.

Saat itulah, mereka memboyong buku-buku karangan ilmuan Islam, untuk dipelajari dinegerinya. Bahkan buku resep masakan pun mereka bawa, hingga lahirlah masa renaissance.

Namun sayang, sebelum buku-buku ini habis dibaca dan dipelajari, bala tentara Timur Leng menginvasi Timur Tengah, menghancurkan lambang-lambang peradaban termasuk perpustakaan. Ada anggapan, sebenarnya peradaban manusia saat ini bisa lebih maju lagi, jika sekitar abad ke 14 itu, buku-buku karya ilmuan Islam tak dibakar.

***

Membaca dan ilmu begitu erat dan kuat. Sebut saja ilmuan yang anmda kenal, pasti mereka memiliki referensi membaca yang sangat banyak. Buku-bukunya seakan membentang dari masyrik dan maghrib.

Hal ini jualah yang menjadi resep kemajuan Jepang. Saat negara “gempa” ini hancur oleh bom atom, Kaisar Hirohito sampai perlu bertanya, ada berapa guru yang tersisa? Bukan tentara dan lainnya. Guru dalam hal ini adalah representasi dari ilmu pengetahuan.

Hingga saat ini, budaya membaca sangat lekat di bangsa ini. Di jalan-jalan kota, kantor-kantor, hingga mall masyarakat di sana sudah bisa membaca buku di sela-sela jeda aktivitas. Misalnya saat menungggu bus atau antre di dokter. Inilah yang disebut masyarakat informasi.

Nafsu membaca di negara-negara maju, juga sempat disinggung Amien Rais. Saat masih kulah di Chicago, dia dibuat geleng-geleng kepala oleh orang yang ada di sebelahnya.

“Saat saya masuk perpustakaan sekitar pukul 10.00, orang ini sudah membaca buku. Setelah saya salat Dzuhur lalu kembali, dia masih ada. Hingga Asar juga begitu. Sangat tekun,” ujarnya.

Amien lalu bercerita, di Amerika kegigihan dalam mereferensi buku, juga sangat menunjang prestasi. “Pernah saya jarang membaca, akibatnya nilai smester saya anjlok. ‘Amien Rais, ini nilai mu, C, C +, C-,’ begitu semua.”

Hingga sepulangnya ke Indonesia Amien Rais terus memupuk budaya membacanya daripada budaya menonton. Bahkan saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Danrem di Jawa Tengah, Amien Rais sering datang ke kantornya untuk numpang baca buku. “Buku-buku pak Susilo sangat komplet,” sebutnya.

Sayang, apa yang menjadi kebiasaan Amien Rais ini, hanya dilakukan segelintir masyarakat di Indonesia. Budaya membaca masyarakat sangat rendah. Budaya yang tertanam masih sebatas menonton. Televisi, yang oleh bangsa-bangsa maju di sebut kotak beracun, sangat berkuasa di sini. Tak ada waktu tanpa nonton.

Situasi seperti ini masih diperparah keengganan penguasa untuk memsyarakatkan budaya membaca ini. Perpustakaan jarang, buku-buku pun masih mahal. Ini yang membikin masyarakat makin malas dan malas membaca.

Apalagi di Batam, tambah jarang lagi. Membaca adalah sebuah keinginan berubah untuk lebih baik dan semua orang bisa melakukannya.

Toh banyak juga wartawan yang malas membaca, masak Safir Senduk saja tak tahu, he he he.

---------------------------

Terimakasih:
Amien Rais .

Tidak ada komentar: