Jumat, 19 Desember 2008

Harta Karun di Budi Daya Ikan (3)

Selanjutnya tibalah kami ke tahap akhir, di level 4 tempat kermba ikan. Keramba ini mirip sawah, ukurannya 3 x 3 meter, dan dikelilingi pematang. Cuma bedanya di tengah keramba menjadi tempat pembesarn ikan. Agar tak lari, maka dilapis jaring.


Untuk menuju keramba ini, kami harus melalui dermaga kecil. Di pangkal dermaga, banyak ditanam pohon bakau dan tambak. “Ini saya yang hijaukan,” jelas Syamsul.

Di kiri dermaga teronggok keramba kayu yang sudah lapuk. “Inilah pak kalau (keramba) terbuat dari kayu, baru 3 tahun saja sudah rusak. Makanya saya ubah bahannya dari plastik, seperti itu” jelasnya, menunjuk keramba di ujung dermaga. Menurut Syamsul, keramba plastik ini tahan hingga 18 tahun.

Untuk menuju keramba tersebut, kami masih menuruni tangga kecil di ujung dermaga. Selanjutnya kami masih naik papan terapung, karena antara dermaga dan dermaga dibuat tak menyatu, terpisah laut selebar 2 meter.

Di sini saya melihat langsung keramba plastik tersebut. Bahannya mirip plastik ember antipecah, jenis polytelin. Tak heran bila harganya mahal, permeternya mencapai Rp1,7 juta.

Jumlah keramba di sini sangat banyak, sekitar 50 unit atau 200 kantong. Tiap keramba ada yang diberi atap, ada yang tidak, tergantung jenis ikan.

“Di sinilah penangkaran bawal bintang yang satu-satunya di Indonesia,” jelas Syamsul. Diapun lalu meminta beberapa stafnya menangkap ikan prestis yang harganya mencapai Jutaan rupiah itu.

“Orang Jepang sangat suka ikan ini. Umumnya menjado menu shushi,” terangnya. Di saat bersamaan, Suhartini datang, hak tingginya sudah diganti sandal jepit warna merah.

Selanjutnya, beberapa orang dengan serok berjaring, datang. Perlahan dia mulai mengangkat jaring keramba, hingga ikan tersebut tampak. Lalu, hup, ikan tersebut coba diserok, namun gagal. Larinya sangat cepat. Hingga kali ketiga, baru bisa ditangkap.

Selanjutnya, bawal bintang itu diberikan ke Irwansyah untuk dipegang. Tapi apa yang terjadi? “Aduh, tenaganya sangat kuat,” keluh Irwansyah, tak mengira. Tak lama ikan tersebut dilepas lagi ke keramba.

Dari sini, kami menuju ke keramba beratap. Di sana tempat penangkaran ikan napoleon. Ikan ini teramat mahal, perkilonya dibandrol Rp1 juta.

“Kalau di restoran di Hongkong, yang mesan ikan ini akan diumumkan lewat pengeras suara, sambil memukul gong. ‘Kepada pengunjung meja sekian, silakan menikmati hidangan kami…’ begitu. Karena ikan ini sangat prestisius,” jelas Suhartini panjang lebar.

Di sisi lain, di keramba ini, lagi-lagi saya berjumpa dengan siswa PKL asal Natuna, mereka tengah memotong ikan benggol seukuran dadu, untuk makan ikan kerapu.

Selain itu, di dermaga saya melihat warga setempat menikmati panorama. “Di sini kadang juga menjadi objek wisata Pak. Tiap sore, banyak yang kemari,” terang staf Syamsul.

Setelah melihat-lihat potensi yang ada, Syamsul pun mengajak kami kembali. Karena jalannya menanjak, maka dia memutuskan ke atas naik mobil saja.

Di sepanjang jalan, Syamsul kembali mengherankan soal keengganan masyarakat sekitar menggarap “big money” ini.

“Saya punya impian Pak, suatu saat tiap warga punya backyard itulah amal jariyah kita,” sebutnya.

Biar warga di sini seperti di Situbondo, yang sudah banyak mapan dari mengelola pembiakan ikan ini.

Lalu seperti apakah warga Situbondo menggarap potensi kelautannya? Rabu (17/12) kami menuju ke kabupaten yang berada 200 kilo dari Surabaya itu. Setelah menempuh 4 jam perjalanan, sampailah kami di Desa Kembang Sambi, 5 kilo dari pusat kota Situbondo. Selain Irwansyah, Syamsul dan Suhartini, rombongan kali ini diikuti seorang pengusaha Batam, Budi Bambang Purnama.

Di sini kami melihat banyak masyarakat yang membudidayakan kerapu, baik berbentuk bacakyard (menetaskan telur ke benih hingga ukuran 3 inchi) maupun gelondongan (tempat pembesaran bibit ikan mulai 3 inchi hingga 300 kilo).

Umumnya tempat pembudidayaan ini mereka bangun di tubir pantai, sehingga memudahkan memompa air laut kedalam bak-bak pebiakan.

Bentuknya sangat sederhana, hanya berupa bak-bak kecil, sepintas mirip pemandian umum yang diatasnya tergantung beberapa selang-selang kecil untuk penyalur oksigen.

Semua ini dibangun dalam sebuah rumah yang kadang hanya berdinding gedhek (anyaman bambu). Untuk mejaga suhu, di atasnya ditutup terpal. Maklum, ikan khususnya kerapu, tak tahan dingin.

Kembang Sambi merupakan salah satu desa contoh yang sukses melakukan pembiakan ini. Tak heran ekonomi warganya cukup baik, bahkan banyak juga yang sudah berhaji ke Tanah Suci.

Selain mampu membuka lapangan kerja, desa ini menjadi tujuan praktik kerja lapangan para siswa kelautan, dari seluruh Indonesia, termasuk Kepri. Padahal, kalau diamati, laut di sini masih lebih bersih di Batam.

Tidak ada komentar: