Sabtu, 27 Desember 2008

Diskusi, Mencuri

Sudah enam bulan ini saya membentuk sebuah jejaring diskusi. Anggotanya bisa siapa saja, mulai spesialis, pendidik, psikolog, jurnalis, teknokrat, anggota DPRD, dan lain-lain dan lain-lain.

Forum ini tak formal. Kadang diskusi ini saya lakukan dengan memanfaatkan semua teknologi komunikasi yang ada, mulai via telepon, e-mail atau datang langsung ke rumah atau kantornya. Kadang siang, kadang malam. Pokoknya asal ada unsolved misteries, langsung digelar.

Maklumlah, pikiran manusia (sebut saja daya kritis berpikir) jika terus diasah umumnya liar, tak dibatasi tembok tebal, jarak dan waktu. Saat molekul-molekulnya membuncah, harus segera dituangkan, biar tak pecah. Caranya, tentu saja melalui diskusi tadi.

Dan yang paling penting, ada sesuatu yang bisa diambil atau dicuri dari diskusi ini. Iya dong, ngapain diskusi capek-capek, kalau tak ada yang bisa kita ambil dari lawan bicara tersebut. Apa itu? Tentu saja ilmunya. Bisa juga berupa gagasan hingga tukar-tukaran buku, pokoknya ada masukanlah.

Apa bedanya dengan gosip? Tentu lain. Di diskusi yang dibahas adalah kenyataan berdasar bukti empiris, di sana ada telaah, dardasar beberapa fakta penunjang dan referensi baik dari literatur atau dari pengalaman. Jadi sangat ilmiah.

Kalau gosip, kan tak perlu harus ada fakta penunjang kan? Umumnya hanya kejelekan orang saja. Ah…

***

Jangan remehkan kekuatan diskusi ini, karena kemerdekaan bangsa ini dibuat dari diskusi-diskusi kecil semacam ini. Ceritanya dulu setiap Kamis malam, Soekarno sang Proklamator itu, selalu menggelar diskusi kecil dengan beberapa rekannya di rumah KH Hasyim Asyari.

Di sini dibincangkan soal masalah bangsa, selanjutnya ada perumusan dan langkah-langkah aksi ke depan. Karena digelar setiap Kamis malam, maka forum ini disebut juga sebagai Forum Kamisan.

Forum-forum diskusi kecil semacam ini juga digelar di markas Persatuan Mahasiswa Indonesia di Rotterdam, Belanda, pimpinan Bung Hatta. Dari sinilah cikal bakal nama "Indonesia" sebagai nama bangsa bermula, menggantikan nama "Hindia Belanda" (lebih lengkap klik ini: http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/06/opiniku-2.html).

Kesaktian diskusi ini jualah, yang membikin Belanda gusar lalu saat itu melarang anak-anak bangsa berkumpul. Mungkin karena berkaca dari masalah ini, sampai-sampai UUD 45 sendiri, menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul.

Meski kelihatannya sederhana, namun diskusi bukannya sebuah hal yang gampang di lakukan, khususnya bila dikaitkan dengan kondisi ego, kekuasaan dan lingkar pergaulan. Karena bukanlah hal yang mudah untuk menerima gagasan atau kritik, dan bukanlah hal yang mudah pula menyatukan buah-buah pikiran yang terbagi oleh kedekatan oleh darah, grup, wilayah ideologi dan semacamnya.

Maka itu, perlulah hati bijak untuk menyimak dan menelaah. Rendah hati saja tak cukup. Masing-masing anggota diskusi haruslah memposisikan diri sebagai telapak kaki. Inilah yang susah, karena umumnya mereka ingin menjadi kepala, ngomooooong terus.

Padahal, menjadi telapak kaki tak jua hina. Karena, meski tak bisa menentukan arah, telapak kaki bisa menjaga agar tubuh beraktivitas dengan baik. Telapak kaki juga dapat menjaga agar tubuh tak sakit bila terjatuh. Jadi, jangan remehkan telapak kaki. Toh Surga juga berada di sana kan?

Oke deh, selamat berdiskusi. Selamat mencuri.

------------------------

Prescript:

Bebaskan dirimu, jangan mau terus dibodoh-bodohin Kompeni


Hidup itu tak selalu indah
Tapi yang indah itu selalu dalam kenangan

Tidak ada komentar: