Jumat, 19 Desember 2008

Harta Karun di Budidaya Ikan (2)

“Tiap bulan (pengusaha) Malaysia selalu datang ambil bibit kerapu ke mari, sebanyak 1 juta ekor,” terang Syamsul.

Hal inilah yang ditangkap masyarakat nelayan Situbondo, Jawa Timur. Semula mereka giat berlatih di Balai Budidaya Laut setempat, setelah mahir mereka mengambangkan benih sendiri dalam sebuah alat yang sangat sederhana, biasa disebut backyard.

Backyard adalah pembibitan ikan skala rumah tangga. Bentuknya sama dengan yang ada di BBL, cuma lebih kecil dan sederhana, hanya berupa bak-bak kecil yang tersambung, ukurannya mirip pemandian umum. Di sinilah telur ditetaskan ke benih hingga ukuran 3 inchi.

Backyard inilah yang kini banyak dikembangkan nelayan Situbondo. Dengan tekad bulat dan keuletan, jerih payah mereka bisa membuahkan hasil sehingga dapat meningkatkan taraf ekonominya. Bibit-bibit ikan kelas atas dari Situbondo inilah banyak dibeli pengsaha, termasuk dari Batam untuk dikembangkan.

“Padahal kita bisa membantu, mengapa masyarakat tak mau menggarapnya,” Syamsul tak habis pikir.

“Ya sudah Pak, kenapa tak digarap sendiri saja?” saya bertanya, tak sabar rasanya.

“Tak bisa begitu, karena tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kami bukan pembenihan, melainkan penghasil teknologi,” jelas alumnus Institute of Aquaculture University of Stirling Scotland ini.

Agar program pembibitan ini tak lagi gagal, selanjutnya Syamsul akan mencari masyarakat yang mau saja. Mereka yang terpilih dan berminat akan digembleng agar hingga menguasai teknik pembenihan ini. Semuanya gratis.

“Sekarang kan aneh, masak banyak sarjana luar belajar ke mari, sementara orang dalam sendiri tak mau memanfaatkannya,” ujar Syamsul.

Dia menjelaskan baru-baru ini, Kepala Balai Budidaya Laut Malaysia sendiri yang belajar langsung ke tempatnya, “Karena di sini mereka kenal kawah candra dimuka-nya budidaya laut,” terangnya.

“Apa tak takut bahaya Pak? Nanti kalau semua ilmu ini mereka curi ginama? Nanti mereka lebih maju dari kita?” tanya Suhartini, penasaran.

“Tentu itu kami perhitungkan. Makanya, yang kami kasih (ilmu) dasar-dasarnya saja. Yang khusus tetap kami kantongi,” ujarnya.

“Ah, dari pada di sini, mending kita lihat-lihat ke bawah Pak?” tawar Syamsul. Kamipun mengangguk.

Selanjutnya, Syamsul beranjak dari kursinya membimbing Irwansyah, Suhartini dan saya keluar menelusuri jalan menurun terjal, menuju tempat pembibitan yang berada di level II. Di antara kilang-kilang besar ini, Syamsul menunjukkan plankton yang menjadi makanan bibit ikan.

Plankton ini ditampung dalam akuarium seukuran 1 x 1 meter. Warna airnya kehijauan, “Ini hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Bentuknya bulat-bulan gitu Pak,” ujarnya pada Irwansyah.

Dari sini, perjalanan berlanjut ke bagian level III. Selama perjalanan Suhartini selalu tertinggal di belakang. Dia kesulitan dengan sepatu hak tinggi yang dipakai, sedangkan medan jalannya sangat tak ramah, penuh dengan tanjakan dan turunan terjal. Terpeleset sedikit bisa fatal.

Setelah di level III, Syamsul memperlihatkan pembiakan ikan kerapu, bawal dan kakap putih. Semuanya ditmpung di kilang, yang airnya dipompa langsung dari laut.

“Yang ini sudah dalam masa kawin,” tunjuknya ke sepasang ikan bawal dalam kilang.

Tak lama lagi mereka akan bertelur, dalam sebulan jumlahnya mencapai 80 juta butir. Jumlah ini diketahui, dengan cara telur yang ada dipadatkan lalu ditimbang. Dari sana diketahui berapa banyaknya.

Agar telur tak kembali dimakan oleh induknya, maka dalam kilang tersebut ada semacam pompa kecil yang menyedot telur-telur itu ke sebuah nampan khusus.

Dari telur sebanyak itu, yang diambil hanya 6-10 juta butir saja, sisanya diberikan pada nelayan yang datang dari Aceh, Takalar, dan kawasan lain di Indonesia. Selanjutnya di sana mereka membiakkannya.

“Nelayan jauh saja datang, kenapa kita yang dekat tak mau? Kita ini masalah tahu, (sumber daya) manusianya saja yang tak ada,” lagi-lagi Syamsul keheranan.

Saat melihat-lihat beberapa kilang itu, saya berpapasan dengan anak-anak SMK dari Natuna yang tengah melakukan praktik kerja lapangan (PKL).

“Sudah berapa lama di sini?” tanya saya.
“Rencananya dua bulan Pak,” jawab mereka.

“Coba lihat Pak, betapa banyak pelajar luar yang belajar ke kita. Kemarin mahasiswa yang datang, tujuh bulan mereka PKL di sini,” jelas seorang staf Syamsul yang juga ikut menemani kami.

Di sini pula, kami diperlihatkan ribuan anak (bibit) ikan kakap putih yang sudah berukuran 2,5 centi. Artinya sudah siap panen. Tak terbayangkan berapa nilainya jika diuangkan.

Tidak ada komentar: