Senin, 08 Desember 2008

Dunia Kekerasan

Agak miris juga menyaksikan betapa manusia Indonesia saat ini dibesarkan dengan cara-cara kekerasan. Kekerasan di mana-mana. Kekerasan sudah masuk ke segala lini.

Di pagi hari, di koran-koran sudah menyuguhkan berita kekerasan. Ledakan bom di mana-mana, penembakan di mana-mana, pembunuhan dengan beragam cara dan model. Mulai memotong-motong, hingga “memaket” lewat sungai dalam travel bag. Tak ada agi kehormatan yang tersisa.

Dengan alasan mengungkap fakta, semua tersaji tuntas dan dimuat secara vulgar. Darah, darah dan darah. Merah, merah dan merah. Masih belum cukup, kadang masih dibeberkan contoh bagaimana teknik membunuh orang dengan baik dan benar, lengkap dengan grafis dan gambar penunjang, berbalut alasan kronologis! Hebat!

Masih belum cukup juga, kata-kata amarah, carut marut, pun tersaji dengan besar dan jelas. Sehingga mudah dibaca dari jarak 10 meter sekalipun. “Ya bagaimana lagi, memang itu fakta yang diomongkan kok!” begitu alasannya.

Ah ya sudah. Nonton tivi sajalah, di sana banyak relaity show yang menyegarkan. Namun apa yang terjadi? Acara relaity show pun berlomba menyajikan ajang tinju amatiran.

Ada saja namanya, Termehek-mehek, Playboy Kabel Bersaudara, Kacau dan lain-lain. Semuanya memperlihatkan orang-orang marah, mereka memaki, mereka menghiujat lalu meninju. Arggghhhh…

Pindah channel ke infotainment, juga sama. Yang disajikan soal artis yang nilep uang, artis yang saling menjelek-jelekkan pasangannya karena mau cerai. Ada juga artis mabok, artis stress hingga bertingkah dan ngomong sembarangan, hingga artis yang kompakan menculik, menyekap, memukul dan melakukan pelecehan seksual terhadap rekan bisnisnya yang dituding menipu.

Ampun… Apa tak ada sih acara infotainmen macam channel E!. Di sana juga mengupas berita artis, namun yang dikupas soal prestasi dan peran sosialnya. Toh tetap juga menarik.

Ya sudah, nonton film kartun saja, Tom & Jerry atau, aha, Spongebob Squarepants, ini kan kartun lucu. Duh duh duh... lucu apanya, di sana tampak Jerry membawa palu besar lalu dipukulkan ke kepala Tom, traaakkkk.... Kepala Tom pecah. Spongebob juga sama. Dengan gunting raksasa yang dia pinjam dari Mermaid Man, dia memotong tubuh Squid Ward jadi dua, hingga otak dan isi perutnya keluar.

Pindah ke jalan raya, orang-orang saling umpat dengan klakson memekak telinga, ketika melihat kendaraan di depannya lambat berjalan, sedangkan lampu sudah hijau. Di sebrang jalan, sesama pengendara turun dari kendaraannya dengan tangan terkepal, karena kendaraannya bersenggolan saat akan menyalip.

Ya sudah lah. Mending ngajak anak nonton bola. Olahraga itu kan bisa membangun sportivitas dan menyehatkan. Tapi apa yang terjadi? Malah kian brutal. Di bangku samping seorang lelaki memaki dan terus memaki dengan kata-kata kotor karena jago yang didukungnya bertingkah tak sesuai yang dia harapkan.

Sementara di dalam lapangan, sesama pemain terlibat adu tendangan. Sasarannya bukan bola, melainkan badan masing-masing. Wasit datang, hendak melerai. Namun, malah dia yang dikejar lalu dilumpuhkan.

Melihat ini, giliran masing-masing suporter ikut turun lapangan, juga ikut menyerang. Tak hanya di dalam, kebrutalan mereka masih dilanjutkan ke jalan. Setiap pengemudi sedan dikompas, pedagang kecil diperas. Terminal dijarah, stasiun kereta juga dirambah. Brutal, brutal, brutal!

Lalu, ke manakah anak bisa lolos dari kekerasan? Ya udah di rumah saja. Tak usah baca koran, tak usah lihat tivi. Main game saja.

Ampun…. Lagi-lagi kekerasan. Lagi-lagi belajar cara membunuh. Di sana mereka menjelma sebagai Ragnarok, Naruto, Assasin Creed dan pasukan pembom Amerika.

Dengan joystik-nya, mereka menghajar, memenggal dan menembak lawan-lawannya dengan sadis. Di otaknya hanya ada perintah, bunuh, bunuh, bunuh atau kamu akan dibunuh!

Lalu mau kemana lagi? Sekolah? Ya sama saja. Di sana bertumbuhan gang-geng, yang mengatas namakan orientasi dan senioritas, siap mengompas dan memeras. Yang membangkang akan dihajar hingga tak tersisa lagi.

Ketika lawan di dalam sudah takluk, maka mereka akan ekspansi menaklukkan jago-jago sekolah lain. Tawuran…. Helm yang semestinya jadi pelindung saat berkendara, kini berubah jadi pelindung saat hujan batu menyerang.

Ikat pinggang yang semestinya melengkapi kerapian, kini berubah menjadi senjata pamungkas mematikan. Bentuknyapun tak lagi dari kulis, melainkan berbahan rantai baja dengan kepala besar berduri tajam, bak gladiator saja.

Aksi kekerasan ini terus mereka bawa ke kampus. Maka kampus yang semestinya menjadi tempat cendekia menggali ilmu dan menebar bakti ke masyarakat, menjelma menjadi benteng pertahanan dari serbuan berbalut alasan otonomi kampus.

Di kantor tak ada bedanya. Penghinaan, penistaan atas nama ketegasan atas nama motivasi (yang salah) terus berulang. Di rumah juga demikian, kekerasan atas nama peiuk nasi kian bertalu. Tak habis-habis.

Lagi-lagi kekerasan. Anytime, anywhere...

Semua sajian kekerasan ini tersaji berulang. Masyarakat mengerti, masyarakat tahu, masyarakat meresapi. Lama-lama terjadilah kognisi (struktur pemikiran) yang menjadi cetak biru saat mereka menghadapi situasi yang sama.

Kognisi ibarat kereta api di atas rel. Tak usah distir-stir, dia akan jalan sendiri, karena sudah tahu arahnya ke mana.

Jika kognisi kekerasan terjadi dalam diri manusia, mereka akan mencontoh apa yang telah dilihat dan rasakan di masyarakat. Misal, jika jalan macet ya harus mengumpat,
Jika di sekolah harus bentuk geng dn pakai sabuk besi, jika nagih pimpinan harus pandai sumpah serapah, belajar sombong dan bentak-bentak, jika mau nagih utang culik orangnya, sekap, siksa dan intimidasi, jika ingin membuhnuh orang, hajar dulu kepalanya lalu potong-potong mayatnya. Begitu?

Jika dulu Kabil anak Adam belajar “membereskan” Habil, saudaranya sendiri, dari seekor burung, manusia saat ini belajar menghabisi saudaranya dari manusia lain. Entah itu medianya lingkungan, televisi, koran dan lain-lain.

Jadi tak usah heran jika ada artis secantik Marcella Zalianty bertingkah brbar. Atau ada orang sekemayu Ryan, sanggup menjagal belasan lelaki di rumahnya, karena mereka telah belajar dari alam. Istilah orang Eropa, “tanah menaklukkan para penakluk.”

Sebab Lain

Beragam contoh di atas ini, merupakan segelintir sebab yang menjadi contoh generasi kita melakukan kekerasan. Selain pengaruh dari contoh di atas, budaya kekerasan ini tak lepas juga dari tradisi yang sudah lama dibangun, bahwa pahlawan itu adalah orang yang mahir bertempur. Bahwa kegagahan itu selalu identik dengan senjata tajam dan lain-lain.

Parahnya, seakan merestui, setiap daerah berlomba memajang senjata tajam sebagai lambang resmi pemerintahannya. Ada badik, rencong, kujang dan lain-lain. Mirip lambang legiun tentara saja. Apa tak ada yang lain, yang lebih indah dan menyejukkan?

Selain beberapa contoh dari pengaruh di atas, kekerasan juga terjadi akibat ketidak adilan. Mereka tak puas, mereka mau melawan, mereka mau bersuara, namun tak berdaya. Tiap ada yang nekat langsung dibungkam. Insting kritis sudah tak tersalur lagi.

Jika ada beda pendapat langsung dihadapi dengan kekerasan, maka lama-kelamaan akan menyuburkan budaya destruktif. Budaya yang akan saling menghilangkan dan menghancurkan. Ujungnya akan menjadikan sebuah tatanan zero sumbeam, negatif sumbeam.

Mestinya kita harus belajar mengatasi masalah dan perbedaan dengan pendekatan berbasis kasih sayang, bukan kebencian dan penistaan. Karena jika seperti itu, secara tak sadar kita telah mengisi peluru amunisi dalam pistol yang akan ditembakkan ke diri kita sendiri. Dipicu sedikit saja langsung meledak. Ibarat gunung berapi, karena terlalu banyak menahan panas lama-kelamaan meledak juga.

---------------------
Semua terikat hukum kausal. Siapa yang menebar angin, dia akan menuai badai.

Tidak ada komentar: