Kamis, 25 Desember 2008

Sastra, Tepuk Tangan, What Next?

“Susah sekali ternyata mencari buku tentang pantun Melayu, di kota yang katanya pusat kesusasteraan Nusantara ini.”

Itulah keluhan rekan saya, seorang yang tertarik pada kesusasteraan Kepri. Tadi malam, memang sengaja saya menemuinya. Sudah lama saya tak berdiskusi dengan rekan saya ini. Sambil ditemani secangkir teh hangat, tentu saja.

“Setelah mutar-mutar toko buku tak jua saya temukan buku itu, maka saya mengklik ‘Datuk Googgle’. Aha, akhirnya dapat juga. Namun, semua pranalanya dari Malaysia. Padahal saya ingin mencari sastra khas Kepulauan Riau,” gerutunya.

“Kok bisa begitu?” kejar saya penasaran.

“Ah mestinya, orang sini mulai memikirkan, bikin buku atau semacamnya, yang berisi dasar-dasar atau pengantar kesusasteraan Kepulauan Riau ini,” jelasnya.

“Lho, kan sudah ada. Tuh Gurindam 12. Banyak lagi yang lain,” sergah saya.

“Ya! Tapi itu karya sasta, bukan dasar. Itu hanyalah karya besar. Yang diperlukan saat ini dasar-dasar atau teknik-tekniknya. Bagaimana memasyarakatkan sastra itu sendiri, kalau perlu bisa dirumuskan hingga masuk dalam kurikulum sekolah, sehingga bisa menciptakan dan membina bibit-bibit sastrawan muda,” jelasnya.

“Kepulauan Riau ini adalah pusat kesusasteraan Za. Kan katanya di sini gudang penyair dan penulis puisi handal. Jadi, sangat disayangkan jika itu hanya menjadi sekadar seremonial saja.”

“Di sini juga banyak tersimpan naskah kuno, peninggalan pujangga agung, tapi hanya dibiarkan jadi koleksi yang lapuk dimakan zaman. Mestinya harus ada yang mau mengkaji ulang, minimal menulis ulang. Kalau tak ada orang yang mau, pemerintah setempatlah yang harus mendorong, memfasilitasi."

"Caranya?"

"Ya bila perlu bikinlah sebuah badan di bawah Dinas Kebudayaan yang kerjanya merevitalisasi karya sastra di sini. Di sana juga dibikin pusat studi dan kajian, lalu diterbitkan dalam sebuah buku. Badan ini jua nantinya harus memayungi sastrawan-sastrwan di sini, sehingga lebih terarah. Katanya mau melestarikan budaya. Jangan tanggung dong. Kalau hanya membaca puisi saja belum cukup.”

Pendapat rekan saya ini benar adanya. Inilah yang dinamakan membina tamaddun. Ada alih “teknologi” di situ dari yang senior ke junior. Ada telaah, ada tunjuk ajar, ada penemuan-penemuan. Dasarnya yang dibina bukan barang jadinya.

Ini juga yang dilakukan bangsa Eropa pasca perang Salib. Dalam membangun peradabannya yang banyak tertinggal dari Islam kala itu, mereka banyak memboyong buku-buku karya ilmuan Islam ternama, seperti Aljabbar, Al Khwarizmi, bahkan buku resep masakan, hingga akhirnya mereka mengenal rempah-rempah.

Buku-buku ini mereka pelajari, mereka telaah dan kaji hingga melahirkan ilmu pengatahuan yang baru. Inilah juga yang disebut transformasi pemikiran. Inilah juga yang dilakukan Malaysia sekarang. Saking inginnya menjadi pusat kebudayaan Melayu, mereka sampai-sampai memburu naskah-naskah kuno ke Kepri.

Jadi, jangan marah kalau Hang Tuah dan sumurnya mereka klaim ada di daerahnya, karena mereka punya bukti kajian. Sedangkan di Kepri? Proses ini masih minim dilakukan, umumnya baru terfokus pada aksi seremonial saja.

"Kalau begini terus, lama-lama kita akan belajar sastra Kepri ke Malaysia atau Afrika Selatan, ya Mas," saya menambahkan.

“Ya mungkin saja Za.Makanya, semua ini harus ada tujuannya. Matlamat kata orang sini.”

Saya diam sejenak, menyeruput teh hangat. Pikiranpun teringat pidato WS Rendra dan Taufik Ismail saat Simposium Sastra Nasional di Universitas Muhammadiyah Malang 1999. Di depan sastrawan se Indonesia dia bertanya, setelah baca puisi (sambil berteriak-teriak, menangis-nangis)lalu apa?

“Apakah hanya tepuk tangan? Bisa menyentuh tidak (ke masyarakat)?” kata Rendra.

Ini tahun 1999. Saat ini, tahun 2008, setelah 9 tahun berlalu bagaimana? Malah lebih parah, pelajaran sastra justru semakin menghilang

Yang lebih lucu lagi saat Djatmiko Djatman, sastrawan yang juga psikolog itu tampil. Masih dalam iven tersebut, baru saja dia membaca judul puisinya, langsung disambut tepuk tangan. Djatmiko pun berhenti membaca lalu bertanya.

“Kok sudah tepuk tangan? Apakah ini yang diharap?” jelasnya.

“Lha iya Za. Itu-itu yang saya maksud. Setelah itu apa? Hendaknya pemerintah dan sastrawan di sini memikirkan bagaimana membikin “mesin” penyair-penyair muda. Kalau hanya bisa sendiri saja tak ada regenerasi buat apa?” jalasnya.

“Ini adalah masalah serius yang harus menjadi pemikiran bersama, kalau kita ingin menjadikan Kepri sebagai pusat kesusasteraan. Untuk itu, sudah saatnya para sastrawan daerah merumuskan atau kalau perlu membikin buku tentang dasar-dasar kesusastraan,” lanjutnya bersemangat.

“Coba bayangkan Za, masak anak sekolah di sini lebih tertarik pada pantun gaul dari pada karya luhur semacam Gurindam 12!” jelasnya. Sayapun sejenak terdiam ikut mikir. Lalu bertanya, "Kok bisa?"

“Lha iya. Jadi siapa yang mau disalahkan? Para guru di sekolah itu? Lha mereka sendiri kesulitan mencari referensi berupa buku-buku sastra, khususnya dasar-dasar atau pengantarnya!”

Sayapun kaget. Hampir tersenggol cangkir teh. “Lho, masak?!”

“Inilah yang menurut saya perlu dipikir para penyair itu Za. Bukan hanya membikin karya-karya semata. Mereka harus tampil menjembatani agar satra di sini lebih hidup lagi dan berakar. Katanya ingin melestarikan sastra?”

“Iya dong!” balas saya.

“Nah, makanya harus ada tujuan. Bagaimana cara dan ke mana arahnya?”

“Terus gimana dong?” Saya kian bego.

“Ya, seperti yang saya sebut di atas. Selain itu juga harus membikin kelompok-kelompok pecinta sastra!”

“Wah, agak sulit tuh.”

“Ya iyalah, dasar-dasarnya saja tak dibina. Inilah tugas para ahli-ahli sastra di sini untuk segera merumuskannya. Kalau hanya nunggu sastrawan lahir dari alam, mana tahan?”

“Jadi harus bikin sekolah sastra gitu?”

“Wah, kalau itu lebih baik lagi. Tapi tak usah muluk-muluk gitu lah, yang penting ada pembinaan. Di sana diarahkan bagaimana sih rujukan kaidah-kaidah atau pakem sastra Kepri itu? Seperti apa bentuknya? Selama ini susah kita menentukan. Pantun saja itu banyak jenisnya kok."

"Lho kalau pakemnya memang tak ada gimana?"

"Ya harus dijelaskan. Berilah pemahaman, agar generasi muda mengerti. Tapi apa iya tak ada pakemnya? Paling tidak ciri khasnya gitu!"

“Iya juga. Benar juga!”

"Sekarang kamu lihat saja, kalau hanya bikin puisi banyak yang bisa. Namun apakah itu bagus? Itu yang susah kita nilai, karena standar penilaiannya kita tak tahu."

"Ini contoh aja, banyak karya sastra di sini dikenal karena yang bikin orang yang punya jabatan saja kan? Misalnya sajak-sajak Bu Aida (Aida smeth Abdullah, Anggota DPD Kepri). Sajaknya didengerin orang karena dia pejabat saja kan? Coba kalau tidak. Apa iya orang mau denger?"

"Semua bukan lahir dari komunitas sastrawan."

“Itulah Za, perlunya para sastrawan di sini merumuskan dan menyusun sebuah buku risalah, sejarah dan sebagainya. Buku inilah yang nanti jadi acuan, bahkan jika perlu dimasukkan dalam sebuah kurikulum. Ini baru namanya sumbangsih pemikiran Za. Pemikiran yang membangun! Sehingga kesusasteraan di sini lebih berkembang lagi.”

Selain itu, pertanyaan Rendra sembilan tahun lalu bisa terjawab ya... "Setelah ini apa?"

----------
Ada sebuah mitologi Yunani tentang seorang Dewa yang mencuri api dari Dewa lain. Api itu kemudian mereka berikan pada umat manusia. Dari api tersebutlah, manusia menemukan teknologi moderen.

Tidak ada komentar: