Jumat, 19 Desember 2008

Harta Karun di Budi Daya Ikan (4)

Usaha budidaya ini tak lepas dari peran Sitorus sebagai perintisnya. Kisah sukses ini dimulai tahun 1997 lalu, saat Sitorus, pindah tugas ke Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, di Jalan Raya Peceroan.

Selama bertugas, insting usaha Sitorus mulai berjalan. Pada tahun 2000, berbekal ilmu yang dimilikinya, dia mulai membikin keramba di sekitar pantai Gundil, Kecamatan Kendit.

Usahanya ini ternyata berhasil, berkat bimbingan BBAP Situbondo Sitorus mengembangkan usahanya ke backyard dan gelondongan. Semuanya pembudidayaan kerapu, mulai jenis macan, tikus hingga bebek.

Dengan uang yang ada, dia memberanikan diri menyewa sebuah tempat di Blitog, tak jauh dari lokasi wisata Pasir Putih.

Lagi-lagi, usaha Sitorus ini sukses, hingga akhirnya dia memiliki puluhan backyard dan keramba yang tersebar sepanjang pantai Sitobondo hingga Bali. Hingga tahun 2002, Sitorus-pun kian dikenal sebagai pengusaha besar yang omsetnya mencapai Rp1 miliar perbulan!

Wajar saja, satu ekor bibit kerapu bebek sepanjang 1 cm miliknya dibandrol Rp1.500. Kalikan saja jika jumlahnya ribuan, dan panjangnya lebih dari 1 cm!

Kini, bibit kerapu bubidaya Sitorus sudah masyhur. Orderpun deras mengalir dari Batam bahkan Kalimantan. Dari ini, entah berapa pundi-pundi uang yang sudah dikantongi Sitorus. Yang jelas, mobil operasional pengangkut pakannya saja adalah Kijang Innova terbaru seharga Rp150 juta!

”Kuncinya hanya ketekunan saja Mas, dan tentu harus pandai baca situasi. Karena perkembangan ikan ini harus rajin diperiksa,” paparnya membagi kiat sukses.

Berkat keberhasilannya ini, Sitorus mampu mempekerjakan masyarakat sekitar. Bahkan membimbing bagi mereka yang ingin memulai bisnis ini.

Saat saya berkunjung ke backyard kerapunya di Klatakan, pekerjanya sibuk mengangkat benih yang dibantu beberapa siswa magang dari Dumai.

Di sini pulalah saya berbincang dengan salah seorang dari mereka, namanya Dedi Suhaeri. Dia mengaku, gaji yang diterima perbulan hanya Rp350 ribu, tapi makan ditanggung.

Yang menggiurkan, adalah bonus yang dia dapat. Dalam sebulan dia berhasil mengantongi Rp2,5 juta. ”Ini karena harga kerapu lagi turun Mas, kalau tinggi seperti sebelumnya, saya dapat Rp5 juta!” akunya.

Jejak sukses Sitorus ini mendorong warga sekitar mengambil langkah yang sama. Toh mereka hanya mengembangkan saja, sementara teknologi dan benih ditanggung BBAP Situbondo. Jadilah kini Situbondo sebagai sentra industri pembiakan ikan kerapu di Indonesia. Menurut Dedi Sutendi, staf BBAP Situbondo, saat ini ada sekitar 90 backyard yang dikembangkan warga.

”Inilah Mas yang bikin saya gregetan! Kenapa masyarakat di sini berhasil kok di Batam tidak? Padahal laut kita (Batam/Kepri, red) lebih jernih dan teknologi yang kita punya (BBL Batam, red) juga terbaik di Indonesia. Padahal mereka cuma mengambangkan saja, semua teknologi dan benih dari kita!” ujar Syamsul.

”Usaha ini sangat tepat dikembangkan saat ini di Batam, di tengah tingginya angka PKH akibat krisis global saat ini. Karena ternyata Batam memiliki potensi laut yang bagus. Jika digarap maksimal, selain akan menyerap tenaga kerja juga membantu meningkatkan ekonomi masyarakat,” timpal Irwansyah.

Pandangan ini cukup masuk akal. Sebab, selama ini psokan ikan di Batam mengandalkan impor, padahal potensi laut dan sarana pengembangannya, semacam BBL, sangat memadai dibanding daerah lain.

”Coba Anda bayangkan, lele aja, Batam masih impor 13 ton perhari dari Malaysia. Padahal, budidaya lele sangat gampang dilakukan,” tambah Syamsul.

Agar wawasan akan budidaya ini bertambah, selanjutnya kami menuju Tambak Pandu Karawang, Jawa Barat, tepatnya di Kecamatan Cilebar. Lama perjalanan Jakarta – Cilebar, sekitar 4 jam-an.

Bedanya, medannya lebih berat, karena harus membelah pelosok Karawang. Dari mulai kawasan padat dan jalan beraspal, hingga ke pedesaan, melintasi sawah luas, sungai, dan jalan kecil berbatu tajam. Kami sampai di sini sekitar pukul 17.00 WIB.

Di tempat ini juga dibudidayakan beragam jenis ikan, seperti kerapu udang dan semacamnya. Namun yang paling terkenal adalah budidaya sidat atau belut laut.

Sidat, utamanya jenis mammorata (beratnya sekitar 250 gram) ini merupakan makanan elit orang Jepang, harganya sangat mahal sekitar Rp300 ribu perkilo. Sedangkan yang jenis besar (lebih 250 gram), sangat digemari di Hongkong.

Di Tambak Pandu Karawang seluas 450 hektare itu, kami langsung disambut kepalanya, I Made Sutha. Selanjutnya dia membimbing kami menuju tempat pembudidayaan, khususnya sidat.

Bentuk bangunannya tak beda dengan backyard, namun sangat luas. Bedanya, di tengah bak dipasang kincir untuk menimbulkan arus air. Semua bangunan berada di bibir pantai.

Di sini Sutha memperlihatkan sidat yang dibudidayakannya. Bentuknya ini tak beda dengan belut sawah, cuma seluruh tubuhnya berwarna hitam dan dilengkapi sirip untuk berenang. Namun jangan coba ditangkap dengan tangan, karena menurut Sutha, badannya lebih licin dari belut.

“Sidat ini juga mengandung vitamin A, EPA, DHA tertinggi dibanding daging dan ikan lain,” jelas Sutha.

Dia menjelaskan, semula pembudidayaan sidat ini dilakukan di air laut, namun tak berhasil. Karena kesal dia buang ke tambak. Rupanya berhasil. “Lama waktu yang dibutuhkan dari grass eel (bibit) hingga ke berat 100 gram, sekitar 4 bulan,” jelasnya.

Usai melihat-lihat, Sutha membimbing kami untuk menikmati gulai sidat, bersama sajian nasi putih dan sop buntut kambing. Ternyata rasa sidat lebih maknyus dibanding belut. Dagingnya mirip agar-agar, dengan duri lunak.

Dari sini, Irwansyah, Syamsul dan Suhartini bertekad akan fokus dan membuat beberapa program terkait hasil kunjungan ini. Bahkan dijadwalkan, Senin ini akan bertemu Wali Kota Batam Ahmad Dahlan agar hal ini bisa segera diterapkan di masyarakat.

---------------

Laporan menarik selama perjalanan ke Situbondo dan Karawang akan saya tulis di blog ini selanjutnya. Simak terus ya...

Tidak ada komentar: