Minggu, 28 Desember 2008

Imam Bodoh, Makmum Dungu

Mendengar ceramah langsung KH Zainuddin MZ di Batam TV tadi malam, terasa lebih menyentuh, setelah lama acara semacam ini tak lagi rutin menghias layar kaca setelah KH Abduullah Gymnastiar, dicekal gara-gara poligami.

Ceramah Zainuddin di depan ribuan hadirin tadi malam, mengupas soal hijrah. Maklumlah, dia didapuk di sana untuk mengisi peringatan Tahun Baru Hijriyah, yang diselenggarakan Pemko Batam di Dataran Engku Putri, Batam Center.

Dari semua materi yang disampaikan sang dai, hampir semua sudah saya dengar. Namun ada satu yang bikin saya cukup terenyuh, ketika mantan politikus PPP itu menyinggung soal esensi pemimpin.

Menurutnya, saat ini orang yang jadi pejabat banyak, namun yang bisa jadi pemimpin kurang. “Apalagi yang negarawan,” jelasnya.

Masuk akal juga. Mencari pemimpin memang tak mudah, karena harus mampu memandang manusia, sebagai manusia. Bukan komoditas. Di sini harus rendah hati, arif, bijaksana, dan punya empati yang tinggi.

Kalau hanya jadi pejabat, tentu tak harus memikirkan hal ini, yang penting tujuan tercapai sudah. Menghalalkan segala carapun bukan hal tabu.

Meski tak harus memiliki jiwa pemimpin, namun tak ada salahnya jika hal ini dimiliki para pemangku jabatan. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan sang Dai.

Namun demikian, bawahan juga harus memiliki tatakrama yang baik juga pada atasannya. Paham akan aturan, jangan kerjanya hanya menuntut, merengek-rengek dan menjilat.

Zainuddin pun mencontohkan hal ini pada hubungan imam dan makmumnya. Imam harus diikuti, namun jika ada kesalahan harus diingatkan dengan cara yang santun dan sesuai aturan. “Subhanallah, gitu kan caranya menegur imam. Dan imam pun tak boleh marah (saat diingatkan),” jelasnya.

Kalau imam dan makmum tak tahu aturan, maka salatpun akan berantakan. “Kalau imamnya bodoh, makmumnya dungu, apa jadinya tuh,” ujarnya.

Sebuah kisah dia sampaikan, dulu tiga orang sedang salat berjamaah di musala yang banyak tikusnya. Saat tahayyat akhir, rupanya ada tikus jatuh. Si imampun sontak berkata, “Ada tikus jatuh!” Otomatis, salatnya batal.

Mendengar hal ini, makmum yang pertama mencoba mengingatkan si imam. Namun tak tahu bagaimana caranya. Lalu dia berseru sambil menepuk pundak si imam, “Hoi, kalau salat jangan ngomong dong!” Batal lagi.

Mendengar ini si makmum yang satunya, tak menanggapi apa-apa, Cuma tak sadar dia berujar, “Ah, untung saya tak ngomong!” Jadilah semuanya batal. “Salatnya jadi ngobrol. Inilah kalau imamnya bodoh, makmumnya dungu!” kata Zainuddin, disambut tawa lainnya.

Contoh lain disodorkan Zainuddin, kali ini terjadi di Sumatera Utara. Saat itu ada seorang ibu menyuruh anaknya salat. Rupanya si anak ini tak tahu bagaimana caranya, “Ah, kau ikut saja apa yang ayah engkau lakukan.” Pesannya.

Si anak pun menurut, lalu dia jadi makmum sang ayah. Mereka pun salat di atas dipan. Hingga rakaat terakhir, hidung sang ayah tertusuk semacam paku, saat sujud. Kontan saja si ayah berseru, “Aduh!”

Mendengar ini, si anak, teringat akan kata-kata ibunya agar mengikuti apa saja yang ayahnya lakukan. “Spontan dia ikut mengaduh. Pakai lagu lagi, ‘Aduuuuuuh….”

“Mendengar ini si ayah langsung menegur, ‘Hei Nak, kalau salat jangan ngomong,’ si anakpun membalas. Batal lagi deh. Salatnya ngobrol,” ujar Zainuddin.

Mendengar isi ceramah Zainuddin ini saya jadi teringat perkataan pengasuh Hidayatullah. Menurutnya, saat ini susah mencari pemimpim informal bagi masyarkat.

Tentu saja, karena saat ini semua diorientasikan pada uang. Tak ada lagi, saat ini ada orang yang ihlas berbuat hingga jadi panutan kaumnya. Semuanya serba uang.

Semua ini buah dari kurang disiplin, kurang rapi, kurang teliti akibat kurang iman. Atau menurut singkatan Zainuddin, “Kurap, kudis dan kutil akibat kuman!”

-----------------
Sunggah naifnya kita, jika hanya karena gengsi, lalu memaksakan kebodohan yang kita miliki kepada orang lain...

Tidak ada komentar: