Jumat, 19 Desember 2008

Harta Karun di Budidaya Ikan (1)

Di tengah terpaan krisis keuangan global, PHK terjadi di mana-mana, jumlah pengangguran tak terkendali, saya melalui blog ini, terpikir menyumbangkan sebuah solusi kerja pada Pemko Batam. Salah satunya, tentang pemanfaatan sumberdaya laut yang belum tergarap maksimal. Dari penelusuran yang saya lakukan, ternyata potensi ini sangat mampu menyerap tenaga kerja yang besar pula, asal masyarakat mau dan tekun.


Untuk menguak potensi ini, Senin (15/12) sore lalu saya bertandang ke Balai Budidaya Laut (BBL), Deperteman Kelautan dan Perikanan di Batam. Letaknya di Jalan Raya Barelang, sekitar 100 meter dari Jembatan Tiga arah ke Bulang.



Rupanya tak banyak yang tahu, bahwa BBL Batam menjadi satu-satunya di Indonesia yang berhasil mengembang biakkan ikan bawal bintang dan kakap putih. Tak banyak yang tahu pula, bahwa BBL Batam sangat terkenal ke manca negara, sehingga menjadi tujuan penelitian ahli perikanan masyarakat Internasional.

BBL Batam dibangun di atas lahan berundak mirip konsep terasiring seluas 6,5 hektare. Paling atas atau level I, ditempati kantor asrama karyawan dan asrama peserta magang.

Turun sedikit ke bawah atau level II, merupakan tempat pembiakan bibit ikan “kelas atas”, semacam kerapu, kakap, napoleon, bawal dan lain-lain.

Di sini, ada beberapa bangunan besar tak berdinding hanya beratap spandek besar, sepintas mirip hanggar pesawat. Di dalamnnya banyak berjejer kilang-kilang raksasa untuk pengembangbiakan bibit ikan. Hal yang sama juga ada di level III.

Sedangkan paling bawah (level IV) berada di laut, merupakan tempat penangkaran ikan dewasa. Di sini banyak berdiri keramba-keramba ikan aneka jenis dan bentuknya. Untuk menuju BBL Batam, lama waktu yang dibutuhkan dari Batam Center sekitar 15 menit, dengan menempuh jarak sekitar 20 km.

Ketika hendak masuk pintu gerbang, sebuah tugu setinggi 2 meter dengan patung bawal bintang di atasnya, berdiri menyambut. Tugu sederhana ini di bangun tepat di tengah pertigaan, sehingga akan tampak dari arah manapun.

Setelah sampai di kantor tersebut, saya langsung diterima Kepala BBL Syamsul Akbar dan dua stafnya. Kebetulan juga saat itu Ketua Fraksi PPP DPRD Batam Irwansyah, dan Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Batam Suhartini datang berkunjung. Kami semua kemudian dibimbing ke kantor Syamsul di lantai 2.

“Pak Irwansyah-lah satu-satunya anggota DPRD Batam yang datang ke mari. Padahal, tempat ini sering dijadikan tempat studi banding anggota DPRD seluruh Indonesia lho Pak,” jelas Akbar.

Dari kantor ini, saya bisa melihat pemandangan di bawah yang sangat indah. Satu-persatu yang tersusun adalah, tempat pengembangbiakan bibit ikan, dengan kilang-kilang raksasanya, turun lagi ada sederet keramba, selanjutnya hamparan panorama laut yang bersih menawan memantulkan kilauan mutiara saat permukaannya dijilat matahari.

Lebih jauh lagi, kita dapat melihat panorama pulau-pulau kecil berpagar perkampungan nelayan dengan lalu lalang perahu kecil. Semua tampak jelas meski dari kejauhan. Bahkan ujung jembatan I Barelang juga tampak, namun kakinya tertutup gugusan pulau-pulau yang mengelilinginya.

Ditemani beragam buah dan teh hangat, kamipun melanjutkan perbincangan. Dari sini diketahui, bahwa ada potensi besar yang jika digarap serius, akan menghasilkan uang ratusan juta rupiah perbulan. Syaratnya pun tak berat, asal mau sedikit berusaha.

Apa itu?

Syamsul menjelaskan, sarjana Prancis baru-baru ini menyampaikan hasil penelitiannya bahwa dalam satu tahun, Batam membutuhkan sekitar 10 juta benih ikan “kelas atas” itu. Sedangkan Balai Budidaya Laut hanya bisa menghasilkan benih 3 juta-an saja.

“Jadi masih tersisa 7 juta benih lagi yang bisa digarap. Ini baru di Batam saja, belum lagi di Bintan, Karimun, Natuna dan permintaan dari masyarakat Internasional. Inilah yang saya sebut potensi besar,” jelas Syamsul.

Untuk memenuhinya, sebenarnya Syamsul sudah giat melakukan sosialisasi hingga melatih nelayan sekitar agar mau memanfaatkan potensi besar ini. Namun sayang, program ini tak berjalan. Entah mengapa mereka enggan.

Padahal, mereka hanya diminta menghasilkan benih saja, sedangkan telur, fasilitas pembitan, pelatihan, bahkan teknologi ditangani pihaknya. Semua diberi cuma-cuma.

Intinya mereka hanya membesarkan bibit hingga 2,5 cm saja. Jika berhasil, harganya sangat mahal. Satu ekor bibit kerapu ukuran tersebut bisa laku Rp5 ribu. Jika satu kilo, tinggal dikalikan saja uang yang didapat.

“Tapi mengapa mereka tak mau? Padahal caranya mudah, asal bisa jaga suhu saja,” jelasnya.

Soal berapa lama waktu yang dibutuhkan agar bibit bisa mencapai ukuran tersebut, Syamsul menjawab antara 3-5 bulan. “Jika nelayannya kreatif, waktu inipun bisa disiasati dengan melakukan pembibitan varietas ikan berdasarkan waktu. Sehingga, nelayan bisa panen tiap bulan,” jelasnya.

Soal pasar, masyarakat tak usah khawatir, karena datang sendiri. Tiap bulan kapal-kapal besar dari Singapura, Malaysia, Taiwan hingga Jepang tiuap bulan datang membeli hasil laut ini.

--------
Foto: Irwansyah (pegang ikan), Syamsul dan Suhartini.

Tidak ada komentar: