Senin, 22 Desember 2008

Forget Citylink, Welcome Mandala (2)

Saat kebingungan itulah, mata saya tertangkap pada sebuah majalah yang terselip di saku belakang kursi di depan saya. Oh, rupanya ini adalah majalah internal Mandala. Saya baca, rubriknya bagus-bagus, lumayan untuk menambah wawasan saya.

Hingga pada akhir halaman, saya membaca berita tentang Mandala Airlines. Dugaan saya benar, (manajemen) Mandala berubah. Semua ini tak lepas dari peran Stephen Wilks, selaku Chief Operating Officer-nya.

Stephen Wilks adalah seorang akuntan berkualifikasi. Warga Selandia Baru ini memang berpengalaman luas dalam dunia penerbangan. Sebelumnya, enam tahun di Papua Nugini, menjabat CFO dan general manager eksekutif layanan korporat dan maskapai nasional, Air Nuigini.

Dia juga menghabiskan waktu 11 tahun bersama grup Air New Zealand, termasuk menjabat general manager Air Nelson. Di tahun 2006 Wilks mendapat gelar kehormatan Queens Honour of Honourary Member of The Order of Logohu, atas kontribusinya bagi penerbangan Papua Nugini.

Dengan pengalaman seabrek, apa yang membuat Wilks tertarik bergabung ke Mandala? Alasannya, karena dia tertarik pada penerbangan berbiaya rendah (LCC). Menurutnya, amat sulit mengubah perusahaan penerbangan kawakan ke penerbangan moderen berbiaya rendah, dari pada memulai usaha penerbangan yang benar-benar baru.

Namun, Wilks telah mempersiapkan beberapa jurus. Di antaranya mengandangkan semua pesawat-pesawat tuanya, ke pesawat yang cukup baru. Selain itu, dia mengganti era boeing ke airbus. Seperti yang saya naiki ini, adalah jenis airbus A320. Luar biasa.

Hingga akhirnya, jelang akan mendarat di Bandara Juanda Surabaya, kami dihadang badai. Awat hitam pekat menghadang. Tapi syukurlah bisa mendarat. Saya lihat bagaimana fuselage pesawat menyedot dan memecah gumpalan awan itu, sehinggamudah dilalui.

Setelah di Juanda, sekitar pukul 16.00, saya telepon rekan saya. Saya penasaran, lalu tanya pada supir taksi, menurutnya sudah tiga hari lalu jaringan Telkomsel (saya pakai kartu Halo) di Bandara Juanda terputus, akibat dihajar badai.

“Tapi kok Anda bisa nelepon?” tanya saya penasaran.

“Oh, say-ya tak pak-kai Tilkomsel Pak, sayya pakai sem-mat,” maksudnya kartu Smart, dari Sampoerna Telecom. Dari sini saya baru tahu, ternyata lawan bicara saya adalah orang Madura.

Gagfal nelepon, saya coba SMS rekan saya. “Bang, saya udah tiba, saat ini saya nunggu di ruang informasi, sebelah pintu kedatangan.”

Namun jawaban dari rekan saya sungguh mengagetkan, “Wah, gimana neh, pesawat saya belum bisa berangkat, ini masih nunggu sparepart dari Jakarta. Entah kapan akan tiba.”

“Saya tadi udah coba telepon kamu, tapi kok tak masuk-masuk ya? Tunggu kami ya?!” lanjut SMS-nya.

Waduh, mau nunggu di mana? Ah, untunglah saya punya kakak di Surabaya, kawasan Semolowaru, Bratang. Sehingga saya bisa nunggu mereka di sana. Kalau tidak, mungkin saya akan dicekam jenuh di Bandara. Meski untuk itu, saya harus merogoh kocek Rp100 ribu untuk bayar taksi.

Hingga pukul 21.00 saya baru dapat SMS dari rekan saya, bahwa pesawatnya sudah bisa berangkat. Sparepart dari Jakarta itu sudah tiba. Setelah bertemu di Surabaya, kamipun berbincang ihwal keterlambatan ini.

Rupanya, saat mengudara beberapa saat, pesawat mereka harus mendarat lagi di Hang Nadim. “Kami sudah deg-deg-an, takut terjadi apa-apa. Ngeri juga. Untunglah kamu naik Mandala,” katanya.

Ah, syukurlah.

-------------------
Terimakasih

Hasan Aspahani, Pemimpin Redaksi Batam Pos

Tidak ada komentar: