Senin, 22 Desember 2008

Semalam di Situbondo (1)

Hari Rabu (24/12) lalu saya sempat jalan-jalan ke Situbondo. Ada sebuah urusan yang saya lakukan di Kabupaten yang berada di akhir jalan proyek Deandles, Anyer-Panarukan, ini.

Jarak Surabaya-Situbondo sekitar 194 kilometer. Saya berangkat dari Surabaya dengan Kijang Innova, sekitar pukul 23.30, sampai di kota ini sekitar pukul 02.30, jadi sekitar 3 jam perjalanan. Ini karena jalan malam, kalau siang bisa membengkak sampai 4-5 jam! Akibat sering di sergap kemacetan.

Untuk bisa ke Situbondo, saya masih melalui beberapa kota menengah dan kecil, urutannya seperti ini, Surabaya – Sidoarjo - Pasuruan – Probolinggo – Situbondo. Kota-kota ini, hanya tersambung oleh satu “jalan darah”, jalan rumosa, proyek Belanda yang bermula dari Anyer hingga berakhir di Panarukan.

Kalau terus disambung, maka jalan ini akan berlanjut ke Banyuwangi, kota yang berbatasan langsung dengan Bali. Tak heran jika sepanjang perjalanan, saya banyak berpapasan dengan truk-truk besar dan beragam bus antar kota antar provinsi.

Latar belakang sejarah inilah satu-satunya hal yang menghibur hati pendatang baru seperti saya selama perjalanan, di samping kondisinya yang mulus dan pemandangan sekitar. Kalau tidak, pasti boring total.

Ya, bayangin aja, 3 jam dalam kabin mobil. Saat itu yang terpikir dalam benak saya adalah, kok tak sampai-sampai? Padahal ngobrol udah, tidur udah, makan camilan udah, minum? Nggak ah. Takut nanti kebelet buang air kecil, mau dilampiaskan ke mana? Selain segan mau menghentikan laju mobil, juga tak enak aja jika harus melakukannya di tempat terbuka seperti pinggir jalan atau rerimbunan semak. Tak biasa “diekspose” aja.

Di sela-sela perjalanan itu pula, kadang sering saya mengintip ke luar jendela, saat melihat toko-toko yang berderet tepi jalan. Fokus saya cuma satu, membaca alamat yang tertera di bawah nama tokonya. Sehingga bisa tahu di mana saya saat itu. “Ampun, baru sampai Bangil (Pasuruan). Dua jam lagi!”

Hingga akhirnya pukul 02.30, sampailah saya ke kota tujuan. Di sini saya bermalam di Rosali Hotel & Resto, satu kilo dari pusat kota. Kamar-kamar di hotel ini berbentuk rumah-rumah, ada yang deret ada juga yang berupa bangunan dua lantai.

Semua bangunan ini tak tampak dari luar, karena terhalang (berpagar) rumah panjang yang berfungsi sebagai resepsionis dan retestoran. Makanya saya semula tak menyangka kalau ini adalah hotel.

Yang luar biasa, di dalam lingkungan hotel ditanami beragam tanaman hias yang ditata secara apik dan asri. Ada barisan pinus setinggi 10 meter yang memagar kanan kiri jalan masuk, ada juga aneka bonsai yang tertancap di tiap rumah. Belum lagi aneka bunga kecil, tak terhitung lagi.

Uniknya, di sela-selanya dipasang bangku-bangku dan pendopo kayu (semacam gazebo) kecil, untuk melepas rehat khas pedesaan. Bangunannya khas rumah tradisional Situbondo, dengan motif batik menghias di masing-masing pilarnya.

Suasana kamarnya juga cukup baik, meski perabotnya agak tua, misalkan AC-nya masih tipe lama. Televisinya juga masih layar cembung, merk LG 21 inc. Kamar mandinya? Ya… lumayan lah, bersih dilengkapi toilet duduk dan sebuah shower. Ranjangnya, cukup empuk. Bruk…. Saya rebah di sana, langsung mimpi entah ke mana.

Suara kicauan aneka burung pukul 05.00 pagi, membangunkan saya. Setelah solat dan merapikan wajah yang berantakan, saya langsung membuka pintu kamar. Oh, rupanya sudah terang. Maklumlah, Situbondo berada di ujung timur Jawa, jadi lebih dulu mencicipi matahari Indonesia bagian barat.

Dengan telanjang kaki, saya berjalan menikmati panorama hijau di lingkungan hotel. Kicauan burung terus membahana, berpadu dengan gemerisik angin yang membelai pucuk-pucuk pinus. Ah… capek akibat perjalanan semalam langsung hilang. Di sini pula,
Akhirnya, saya kembali bisa melihat lingkungan hijau dengan tanah hitamnya.

Selanjutnya saya keluar hotel. Berbekal kamera di tangan, saya menelusuri trotoar yang menghias jalan utama, ke arah kota. Di sepanjang jalan saya melintas Koramil 0823/01, SMA 1, SMP 1, dan Universitas Abdurrahman Saleh. Di kanan kiri jalan, banyak ditumbuhi pohon besar yang menambah kesan sejuk dan rindang.

Di antara batang pohon-pohon itu, tertempel logo perusaaan. Rupanya beginilah cara pemerintah setempat menggalakkan penghijauan, dengan mengharuskan perusahaan menanam pohon. Imbalannya, logo perusahaan itu bisa ditempel di sana. Hal ini saya rasa menarik dicontoh, daripada mereka memasang spanduk poromosi yang hanya merusak pemandangan.

Tidak ada komentar: