Sabtu, 08 November 2008

Cermin Bernama Laskar Pelangi

Allah itu memang humoris. Jumat lalu, Dia menghadiahkan saya sebuah cermin dengan memberikan sebuah pengalaman menyaksikan film Laskar Pelangi bersama anak-anak harapan yang terdiri dari anak panti asuhan dan anak jalanan.

Sebutan ”anak-anak harapan” memang saya berikan untuk mereka. Rasanya sebutan ini lebih santun dan nyaman. Bukankah amat menyenangkan membuat orang lain nyaman? Apalagi saya memang tak bisa terhibur atas ketidak nyamanan orang lain.

Di film ini, saya seolah menyaksikan kembali masa lalu saya, baik saat melihat lakon di dalam layar, maupun di luar layar itu sendiri.

Saat melihat di dalam layar, saya jadi teringat masa sekolah dulu. Masa kecil saya juga bersekolah di Muhammadiyah. Saat SMP teman-teman saya hanya berjumlah 10 orang, 4 pria dan 6 wanita. Di SMA, juga Muhammadiyah, jumlah nya menyusut tinggal 9 orang saja. Yang pria 6, wanitanya 3.

Sekolah kami juga miskin dan saat ujian akhir, harus hijrah gabung ke sekolah yang terakreditasi seperti SMA Negeri 1 Bawean.

Jika di Laskar Pelangi ada Pak Arfan, kami juga memiliki Pak Mahmud, seorang guru yang sangat jujur dan lurus. Guru yang sangat saya kagumi hingga saat ini. Pak Mahmud selalu menekankan apa itu fastabiqul khairat, berlomba menanam kebajikan.

Di sisi lain, saat Mahar melantunkan lagu Bunga Seroja, seolah membangkitkan lagi kekaguman saya akan lagu ini. Berbeda dengan Mahar yang mendengar langsung di radio, saya mendengarnya dari senandung ayah saat hendak mengantar saya tidur. Ayah sangat mengagumi lagu ini, sebuah masterpiece single Said Effendi, penyanyi top tahun 1950-an.

Antara ayah dan Bunga Seroja, memiliki ikatan emosional yang cukup tinggi. Tak heran jika grup musiknya dia namakan seperti judul lagu itu. Di sana ayah memegang akordion.

Hingga kini, Bunga Seroja masih melekat di sanubari saya. Saking cintanya, saat di Malang setahun lalu, saya berburu kaset Said Effendi ini. Hasilnya, saya mendapat album kumpulan lagu-lagu hits sang maestro.

Hingga kini, ritual menyanyikan lagu Bunga Seroja terus saya lanjutkan kala meninabobokkan putri saya ke alam mimpi.

Mimpi?

***
Di luar layar, saat saya melihat ”anak-anak harapan” itu, saya kembali mengenang masa remaja saya yang dicekam kemiskinan yang mengharuskan saya bekerja, sama seperti mereka.

Saya sudah yatim saat masih duduk di kelas 3 SMP. Tiga tahun kemudian, ibunda saya berpulang. Lengkaplah status saya menjadi yatim dan piatu.

Kemiskinan mulai saya rasakan sepeninggal ayah. Saya masih ingat, saat kawan-kawan bangga berkisah memakai baju Hassenda dan Hammer, saya hanya bisa mendengarkan saja.

Maklumlah, jangankan membeli Hassenda dan Hammer (kala itu sangat mahal, Rp25 ribu)
untuk bisa berpakaian pantas saja, saya harus membongkar kembali lemari tua berisi pakaian lama kakak-kakak saya. Dari sana, yang masih layak saya ambil. Kalau ada yang robek, saya menjahitnya dengan tangan, sebelum saya kenakan.

Saya baru bisa punya baju baru ketika Muhammadiyah menggelar muktamar. Sebab, paman saya yang pengurus Muhammadiyah Bawean biasanya akan membawakan saya kaos Muktamar itu. Saya masih ingat, saat itu saya dapat yang berwarna putih bersablon, Muktamar Muhammadiyah ke 40, di Yogyakarta.

Bagga rasanya. Baju ini saya simpan dengan baik, mencucinya pun hati-hati takut sablonnya rusak. Kaos ini hanya saya kenakan pada saat-saat khusus pula, semacam kondangan dan menghadiri ulang tahun kawan.

Kemiskinan benar-benar telah mencengkram saya. Untuk lauk, kadang kami hanya sanggup membeli tiga potong sapit ikan (ikan panggang). Ikan ini saya nikmati bersama ibu, berhari-hari. Karena memang, sapit bisa tahan hingga satu minggu.

Kemiskinan juga benar-benar telah mencengkram saya. Saat kawan-kawan lain, sesama ABG, bergaya dengan sepeda motor yang dibelikan orang tuanya, saya hanya bisa menyaksikannya saja.

Apalagi saat mereka naik Honda Tiger, rasanya seperti raja saja. Dulu, orang di kampung kami akan sangat dipandang, namanya harum dan menjadi bahan pembicaraan jika sudah punya sepeda motor Honda Tiger.

Sedangkan saya, jangankan punya, mengagumi saja susah. Saya jadi teringat, saat nonton televisi di rumah tetangga, saat itu saya mengagumi sepeda motor di film Street Hawk. Tak terasa saya berucap, ”Enak sekali ya punya motor itu...”

Mendengar ini, tetangga saya marah, ”Ha ha ha, kamu jangankan beli motor, untuk makan saja keluargamu sudah kepayahan. Ha ha ha...” Saya sedih, lalu pulang.

Selain dari tetangga, saya juga sempat ditinggal bahkan dihina kawan sepermainan saya sendiri, anak seorang haji.

Itu terjadi ketika saya disuruh menambal ban motor milik tetangga yang bocor di bengkel milik Ullek. Sesampainya di sana, anak haji itu malah berkata, ”Makanya, kalau bukan milik sendiri tak usah, pinjam motor. Kalau rusak, dari mana kamu punya uang menggantinya?”

Begitulah. Namun dari semua ini, saya belajar bagaimana bertahan hidup. Saya jadi mengerti bagaimana rasanya sakit hati, namun saya mencoba agar tak terjebak pada inferioritas komplek. Dari sini saya mulai punya impian, suatu saat bisa punya motor Tiger, agar bisa dipandang juga.

Mimpi?

Oh ya, saya jadi ingat. Moral dari film Laskar Pelangi ini tentang mimpi yang dapat membuat kita maju. Mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Maka, berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa. Jangan berhenti mewarnai jutaan mimpi di bumi.

Begitulah kira-kira.

Saya setuju, hidup memang harus memiliki impian, tapi bukan untuk jadi pemimpi. Di sini harus ada pola, jalan dan cara meraihnya. Orang Melayu menyebutnya ”matlamat”.

Saya geli juga saat diajak bermimpi menuju menara gading, semantara polanya tak jelas. Mirip apa yang disindir dalam Alquran, sebagai perempuan tua yang merajut benang di pagi hari, namun saat malam dirumbak lagi.

Tentu, bukan mimpi seperti ini yang dimaksud Andrea Hirata, sang pengarang.

----------------
Life will find the way...

Tidak ada komentar: