Minggu, 23 November 2008

Mengawal Gus Dur di Batam (3)

Senin 24 November. Pukul 06.30 saya sudah stand by di halte dekat Pom Bensin, 100 meter dari Simpangjam, menunggu jemputan. Tak lama, sebuah kijang kapsul tiba. Di dalamnya ada Basith Has bersama Edy Prasetyo. Tak menunggu lama, saya pun masuk lalu menuju bandara.

Sepanjang jalan, saya lihat polisi berseragam lengkap sudah berjaga-jaga setiap titik persimpangan. Seiring dengan keberadaan beberapa spanduk ucapan selamat datang untuk Gus Dur.

Hingga pukul 07.13 WIB, kamipun tiba di ruang VVIP Bandara, bersiap menunggu kedatangan pesawat garuda GA 150, yang membawa Gus Dur dari Jakarta. Di sana sudah menunggu beberapa pejabat dari Provinsi Kepri.

15 menit kemudian, pesawat yang ditunggu tiba. Dengan menumpang sebuah bus khusus, saya dan Edy menuju sebuah garbarata yang akan dilaalui Gus Dur.

Garbarata tempat kami berdiri bergetar hebat, saat moncong Garuda merapatkan badannya. Selanjutnya, pintu depan burung besi itu terbuka. Dari sana Gus Dur keluar dipapah Sulaiman, asistennya yang setia.

Sudah dua tahun saya tak bertemu dengan tokoh bangsa ini –pertemuan saya terakhir saat menghadiri acara PKB di Sumatera Ekspo 2006 lalu- ada perubahan yang saya pandang cukup menarik; Gus Dur agak gemukan. Demikian pula Sulaiman.

Saat itu Gus Dur mengenakan batik lengan penendek, motif kembang warna biru keunguan. Di sakunya terselip dua pena montblanc. Di tangan kirinya terlilit gelang benang yang dipilin, warna merah dan abu-abu. Semacam gelang persahabatan dari Bali.

Sedangkan di tangan kanannya, terlilit gelang berbahan perak yang di tiap bagiannya terukir relif berbentuk wajik, mungkin ini semacam gelang kesehatan. Saat Gus Dur bergerak, gelang ini sering tertutup kepala arlojinya, bertali kulit coklat yang sangat sederhana.

Gus Dur saat itu juga mengenakan sepatu kulit warna krem. Namun tak berkaus kaki. Kadang ujung sepatu itu dia injak dengan tumitnya. Yang menarik perhatian, sepanjang perjalanan tangan kiri Gus Dur selalu menggenggam sebuah balsam cap macan (Tiger Balm). Benda tersebut terus menerus dia cium.

Lalu, dimanakan istrinya, Sinta Nuriyah? Bukankah dia mengatakan akan ikut serta ke Batam? Ternyata rencana tersebut batal pada saat-saat terakhir.

Tak lama Gus Dur dipapah Edy dan Sulaiman menuju roda yang disiapkan pihak Garuda. Sebab, kursi roda Gus Dur masih ada di bagasi pesawat. Dari sini, dengan masih didorong Edy, kami membawa Gus Dur menuju lift khusus, menuju lantai bawah. Selanjutnya dengan bus khusus yang sama, kami menuju kembali ke ruang VVIP.

Sembari menunggu kursi rodanya tiba, Basith Has yang datang menyambut, mengajak Gus Dur menunggu di ruang khusus VVIP. Ruang tunggu VVIP ini cukup luas, sekitar 50 meter persegi.

Ada dua lukisan besar di dua sisi dindingnya. Semua bermotif perempuan berbusana tradisional menjual bunga dan satu lagi perempuan menjual buah, sejenis jeruk dan tomat. Lukisan ini kian elegan dengan bingkai berukir warna keemasan.

Setelah duduk di kursi, satu-persatu tokoh-tokoh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Batam tiba. Mereka adalah Soehendro Gautama dan Rektor Universitas Internasional Batam Handoko Karjantoro.

Selanjutnya, oleh Basith mereka diajak menyalami Gus Dur. “Gus ini Soehendro Gautama ,” bisik Basith saat Soehendro menjabat tangan Gus Dur, sembari setengah membungkuk dan mengucapkan selamat datang.

Disusul giliran Handoko. “Mereka ini adalah tokoh Tionghoa Gus,” terang Basith. Perkenalan ini penting, maklumlah, Gus Dur memiliki gangguan penghilatan.

Setelah mengambil tempat duduk masing-masing, perbincangan hangat pun mengalir. Selama itu pulalah, tangan kiri Gus Dur pun terus menciumi balsam dan agak bersikap dingin.

Mungkin tahu tingkah lakunya diperhatikan, Gus Dur pun menerangkan, “Saya lagi masuk angin. Makanya dari tadi mencium balsam terus,” jelasnya. Yang lain pun mafhum.

Pembicaraan perdana ini, berlanjut pada pembicaraan berikutnya. “Kami berterimakasih, karena Gus Durlah Barongsai bisa kami saksikan lagi,” ujar Handoko yang ternyata berasal dari Jawa Tengah ini. Tak heran, meski Tionghoa tulen, logat Jawanya sangat kental (medok).

"Karena Gus Dur-lah, inpres 1467 (tentang diskriminasi etnis Tionghoa) itu dicabut,” susul Soehendro agak detail. Maklum, lelaki perlente ini merupakan seorang notaris, jadi sangat mengerti undang-undang.

“Kan, UUD mengatakan, negara harus memberikan hak pada semua warga negaranya. Bukan hanya karena pada mayoritas saja,” jawab Gus Dur.

“Tapi ngomong-ngomong soal Barongsai, saya bukannya tak menghargai keberagaman, tapi kuping saya yang tak kuat. Bunyinya terlalu keras,” jelasnya, disusul tawa halus yang lain.

Selanjutnya satu-persatu tokoh PSMTI tiba. Mereka adalah Rudy Tan dan Eddy Hussy. keduanya memakai seragam baju lengan pendek biru kombinasi, bertulis PSMTI Batam. Rupanya ini pakaian edisi ulang tahun.

Merekapun langsung menghampiri Gus Dur, menjabat tangannya, sembari mengenalkan diri masing-masing.

Setelah mereka mengambil tempat duduk masing-masing, perbincangan kembali menghangat. Kali ini soal para founding-father, hingga masalah pilpres 2009. Menurut Gus Dur, siapaun yang terpilih nanti harus segera mengambil tindakan, juga trobosan menyelamatkan negeri ini, karena ekonomi kian memburuk.

"Saat ini saja dolar AS sudah melampaui Rp10 ribu," kata seseorang yang hadir di situ.

“Bahkan menurut analisa Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur BI yang kini ditahan), salah-salah bisa tembus Rp20 ribu (perdolar AS),” timpal Gus Dur.

“Yang kasihan ya Kepri ini. Daerahnya cukup makmur, tapi paling miskin. Apalagi terus menerus kena imbas Singapura,” jelasnya.

Selanjutnya Gus Dur bercerita soal pemasangan radar di salah satu pulau di Kepri ini. Setelah semua matang, tiba-tiba hal ini dibatalkan, karena intervensi langsung dari Singapura.

Menginjak pukul 08.00 WIB, Sulaiman tergopoh-gopoh masuk. Rupanya kursi roda milik Gus Dur sudah tiba. Disain kursi roda milik Gus Dur ini memang masih sama dengan yang dia bawa pada saat kunjungan ke Batam tahun 2006 lalu, namun catnya berbeda. Kalau dulu berwarna hijau dan bertulis "PKB", yang ini berwarna merah, tak ada tulisan apapun.

Akhirnya, Gus Dur bertemu kembali dengan kursi rodanya yang setia. Selanjutnya, kami pun berganjak keluar ruang tunggu. Di luar, sudah menunggu lima mobil yang akan mengiring Gus Dur dipimpin satu unit mobil Patwal Poltabes Barelang.

Gus Dur dibimbing ke mobil Mercedes S 350 BM 9 XY, warna biru langit. Di sana dia duduk di jok depan, ditemani Basith Has di jok belakang kiri dan Soehendro Gautama di sebelah kanan.

Setelah semua selesai, sirene forrijder mengaung. Iring-iringan ini pun berangkat menuju Hotel Novotel Batam yang berada di Jodoh, sekitar 60 km dari Bandara Hang Nadim. Tepat di belakang mobil yang membawa Gus Dur adalah Toyota Land Cruiser Cygnus putih BP 21 EX.

Saya sendiri berada di mobil ke tiga, di sebuah Toyota Harrier bersama Handoko dan Edy Prasetyo atau biasa disebut Edy KNPI. Menyusul di belakang Sedan Camry terbaru warna silver, kemudian Altis warna yang sama.

Tidak ada komentar: