Kamis, 20 November 2008

Pencak Silat Bawean

Saya tak henti berdecak kagum, saat dua pendekar beradu pedang saat acara halal bi halal sekaligus pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Bawean Batam (IKBB) periode 2008 - 2011 di Hotel Golden View, Bengkonglaut- Kota Batam, Minggu (16/11) lalu.


Setelah adu pedang usai, disusul duel tangan kosong. Keduanya sampai begulingan di atas panggung. Inilah pencak silat Bawean. Atraksi ini biasa ditampilkan pada momen-momen tertentu.

Dulu, pencak silat memang sangat terkenal di Bawean. Hal ini meruipakan bekal wajib bagi seorang yang akan ditasbihkan menjadi lelaki. Pencak silat juga menjadi sarat utama, sebelum kaum lelaki Bawean merantau.

Orang yang mahir memainkan pencak silat ini disebut pendekar (dibaca: pan-dhi-kar). Keberadaan seorang pendekar juga keluarganya, sangat dihormati dan ditokohkan oleh warga setempat, karena selain mereka dapat memberikan rasa aman, juga menjadi tumpuan penduduk untuk berobat.

Pasalnya, banyak pendekar menguasai ilmu tabib. Bahkan mereka dapat menyembuhkan orang patah tlang dengan hanya menyiramkan air. Namun, pendekar ini tidak mau disebut dukun, karena mereka tidak memelihara jin, sebagaimana umumnya dimiliki dukun-dukun di Bawean.

Karena ilmunya pula, seorang pendekar juga disegani kawan maupun lawan. Selain itu juga ditakuti. Konon dulu, jika penduduk akan membangunkan pendekar yang tengah tidur, mereka tak boleh menyentuh badannya, sebab bisa menjadi korban jurus reflek sang pendekar.

Caranya, harus berdiri dari jarak sekitar 1 meter, lalu sentuhlah ujung jemari kakinya, sembari memanggil namanya dengan halus. Dengan demikian, si pendekar akan bangun tanpa melukai.

Setiap pendekar memiliki karakteristik ilmu silat berbeda, jurus-jurus ilmu ini mereka adopsi atau menggabungkan ilmu silat dari China, semenanjung Malaysia atau dari Jawa itu sendiri.

Tak heran jika ditemukan pendekar ahli kuntau, juga ada yang ahli memakai senjata tajam, semisal tombak dan trisula (orang Bawean biasa menyebut tik-pie). Adapun daerah yang banyak memiliki pendekar terkenal adalah desa Daun dan Gunung Teguh.

Biasanya, para pendekar ini memiliki perguruan silat sendiri. Semakin besar nama si pendekar, semakin banyak pula muridnya hingga merambah daerah lain.

Sungguh menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak muda Bawean saat itu, jika menjadi murid seorang pendekar besar atau biasa dipanggil pan-dhi-kar raje, itu. Selain stratanya dalam pergaulan ikut naik, juga dia sama diseganinya oleh kawan maupun lawan.

Karena mengusiknya, berarti tengah membangunkan tidur sang guru. Jika lebih beruntung, si murid akan mendapat warisan berupa ilmu kanuragan khusus, atau pusaka sang guru jika mangkat nanti. Namun ini sangat sulit terjadi, sebab biasanya si guru akan melihat abak-anaknya terlebih dulu.

Umumnya jenis pusaka ini berupa keris, pedang dan tombak. Namun pusaka yang paling populer adalah besi kuning (dibaca: bes-se koneng). Karena bisa membikin pemiliknya kebal senjata. Entah benar atau tidak, karena hingga saat ini saya belum pernah menyaksikan seperti apa dan bagaimana kehebatan besi kuning itu sendiri.

Pada saat-saat tertentu, pendekar-pendekar ini turun sdari perguruannya. Saat itu mereka tanding kehebatan masing-masing. Inilah cikal bakal pertunjukan seni pencak silat di Bawean.

Hingga era 80-an seni pencak silat ini masih ramai dipentaskan bersama kesenian Bawean lain seperti mandiling, samman bahkan bangsawan (saya kupas di bawah), utamanya saat ada pengantin, atau hajatan orang kaya lainnya.

Pementasan pencak silat ini biasanya selalu diiringi tabuhan, dua orang menabuh gendang dan satu orang pemukul gong. Atraksi pertama akan dilakukan oleh seorang lelaki yang selanjutnya bertindak sebagai wasit, yang melakukan jurus persembahan dengan dua pedang.

Selanjutnya, pedang tersebut diserahkan pada dua pendekar yang akan bertarung yang biasanya berbusana khas melayu (sebagai payung budaya di Pulau Bawean), dengan sarung songket digulung.

Dan, mulailah dua pendekar ini bertarung. Sebelum beradu, semula mereka memamerkan keindahan jurus-jurus masing-masing. Hingga ada aba-aba, “Sosor….” Dari sang wasit, maka mereka mulai kontak fisik.

Jika dirasa kontak fisik itu mulai membahayakan, maka sang wasit tadi akan melerai. Begitulah. Yang menang, tentu yang paling bisa bertahan dari gempuran jurus lawan.

Namun, setelah era 1980-an pementasan pencak silat ini sudah jarang digelar. Gaung pendekar dan perguruannya pun tak seperti dulu. Meski masih ada, sudah jarang. Meski begitu, tradisi berguru silat masih ada di kalangan remaja Bawean.

Jika si murid dinilai sudah tamat, maka si guru akan melakukan ritual khusus. Saat itu si murid diminta membawa ayam muda putih mulus, beberapa meter kain mori putih, dan rendaman air bunga. Semua ini bisa dibeli di Pasar Sangkapura. Tanpa menyebut pun, biasanya si pedagang akan tahu bahwa itu akan dipakai sebagai pentasbihan sebagai tanda tamatnya belajar ilmu silat.

Soal bagaimana ritual pentasbihan itu, saya sendiri tidak tahu bagaimana ritualnya, karena saya tak pernah berguru silat. Namun yang saya dengar, ritual itu dilakukan pada malam buta.


Seni Tradisi Pulau Bawean

Selain pencak silat, Pulau Bawean yang sejak dulu dijadikan pulau transit beberapa kaum di Nusantara, memiliki beragam kesenian. Hingga kini ada yang masih bertahan, namun ada yang sudah musnah. Di antaranya adalah:

Bangsawan (dibaca Bengsawen)

Kesenian ini diadopsi dari Melayu. Bentuknya mirip ketoprak Jawa atau drama. Namun bangsawan, sesuai namanya, selalu berkisah tentang kaum bangsawan (raja-raja). Di negeri asalnya, bangsawan biasa dipentaskan pada acara-acara khusus.

Di Bawean sendiri, Bangsawan terakhir dipentaskan di era sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1930-an, Mahmud Said, lurah di Kotakusuma kerap mementaskannya. Jumlah pemainnya sangat banyak, mencapai 30-an. Semua ini bukan penduduk asli, namun didatangkan dari Jawa.

Jibul

Jibul diadopsi dari aceh. Dalam pementasan ini, seorang lelaki tunanetra akan melantunkan kisah-kisah rakyat atau dongeng. Hal ini mirip pementasan yang dilakukan pendongang asal Aceh, PM Toh.

Jibul marak dipentaskan pada tahun 1950-an ke bawah. Namun kini sudah hilang. Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung jibul ini. Namun saya sering mendengar kisah orang-orang tua dulu. Katanya, mereka paling ogah menyaksikan jibul dari dusun Kalompek, sebab pemainnya sering bolak-balik buang air kecil ke toilet.

Saman (dibaca samman).
Kesenian ini juga diadopsi dari Aceh. Diskripsinya sudah bisa kita saksikan saat ini. Namun di Bawean, seni tari samman sudah jarang dipentaskan.

Mandiling
Mandiling adalah seni pantun. Hingga kini, di Bawean masih tetap eksis dan sering juga dipentaskan. Biasanya, mereka berkelompok. Ada beberapa orang yang menabuh gendang lonjong dan gong.

Selanjutnya, orang lelaki berkebaya mirip perempuan, akan tampil menari sambil berpantun jenaka. Kadang pula pementasan ini melibatkan penonton, sehingga membuat mandiling meriah. Hingga saat ini grup mandiling yang masih eksis dan terkenal di Bawean berasal dari Desa Daun.

Korcak
Seni ini hingga saat ini masih eksis dan dipentaskan. Biasanya dimainkan secara berkelompok. Semua pemainnya adalah laki-laki. Mirip saman, mereka akan berbaris rapi lalu menyanyikan lagu padang pasior, sambil menabuh rebana.

Samrah
Seni masih eksis dan dipentaskan. Semua pemainya adalah perempuan, biasanya mereka menyanyikan lagu qasidah sambil menabuh rebana.

Kercengan
Seni ini merupakan perpaduan antara saman dan samra. Biasanya sekelompok wanita akan duduk berbaris. Semuanya berseragam dan memakai sarung tangan warna putih.
Selanjutnya mereka akan menggerakkan tangan ke sana-kemari, diiringi alunan irama padang pasir. Berbeda dengan samra yang hanya memakai rebana, di seni ini, pemakaian alat musik full diperkenankan.

Hingga saat ini, selain kerap dipentaskan, kercengan juga kerap dilombakan. Tahun 2007 lalu, kercengan asal dusun Sungai Tirta berhasil menjadi kercengan terbaik.

-------------
Masalah kyai, dukun dan tukang sihir di Bawean akan saya kupas di tulisan selanjutnya.

Jika ada warga Bawean yang mengetahui apa saja jenis kesenian yang belum saya sebut. Tulis saja di komentar.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

nais inpo...ku tunggu inpo selanjutnya.
(dheka)

Anonim mengatakan...

Dhungka
Ada lagi kesenian yang pernah di gelar di bawean, juga pernah di perlombakan yaitu dhungka. Dhungka pada awalnya hanyalah berawal dari orang-orang desa yang sedang menumbuk padi, biasanya orang desa menumbuk padi bersama-sama.
Dari suara lesung (ronjhangan: bahasa bawean) yang digunakan untuk menumbuk padi dengan menggunakan (ghentong: bahasa bawean)maka terdengarlah irama tersendiri yang mampu membuat orang terpikat igin mendekat walau suara itu berasal dari kejauhan. sewaktu saya kecil ronjhangan masih banyak digunakan karena belum ada mesih penggiling padi.
biasanya dhungka sering dimainkan waktu ada penganten (oreng andik ghebe)sedang masak-masak bikin kue rokok-rokok (nagasari) atau pada waktu panganten mamasang.
dusun kami kalompek menara pernah di undang a dhungka waktu penyambutan kedantangn bupati gresik berkunjung kebawean, kalau tidak salah yaa sekitar tahun 1997.
namun sekarang dhungka sudah jarang karena ronjhangan agak sulit ditemukan, kebanyakan ronjhangan di belah untuk dijadikan kayu bakar, mereka fikir sudah tidak ada gunanya karena sekarang zaman sudah modern dana ada mesin pengiling padi.

Anonim mengatakan...

@ silat bawean (pokolan).

upacara pentasbihan bahwa murid telah tamat belajar pokolan dilakukan pada waktu malam antara jam 10 hingga jam 1 dini hari, biasanya murid membawa kain mori (kain untuk jenazah), bunga 7 rupa ada juga yang 9 macam tergantung gurunya, ayam yang masih perjaka tingting, pisau kecil, jarum, jeruk nipis, telur, bedak dan uang logam.

kain mori di gunakan sebagai pembungkus badan murid pada saat mandi kembang tujuh rupa, jeruk nipis untuk di teteskan ke mata, jarum untuk di tusukkan ke badan (pada saat itu badan saya berdarah), bedak untuk di oleskan ke seluruh badan, telur untuk di lemparkan sejauh mungkin, uang logam di campur dengan air 7 rupa dan pisau di ambil oleh sang guru (bertujuan untuk menghindari murid berani sama guru).

prosesi selamatan silat di atas saya rangkum dari 3 guru yang pernah saya pelajari.

(raden samudera)

Agus Win mengatakan...

Mohon informasi contact person pencak Bawean yang ada di Batam.