Senin, 17 November 2008

Pemberantasan Preman

Ada ''wow effect'' yang diusung Kepala Polri baru Bambang Hendarso Danuri. Gebrakannya kali ini menggelar sebuah operasi pemberantasan preman.

Operasi ini bermula dari Jakarta, dan akhirnya Kapolri memperluas dan memerintahkan Polda-polda di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi serupa. Namanya juga instansi chain of command, perintah (aksi) ini diteruskan ke jajaran di bawah, seperti Polwil, Poltabes, Polresta, Polres hingga Polsek.

Dalam sekejap, semua bergerak memberantas titik-titik rawan preman yang sebenarnya sudah mereka ketahui selama ini. Ratusan preman jalanan mulai tukang palak terminal hingga berkedok pengamen, langsung disikat.

Apapun namanya, langkah ini patut dipuji, dua jempol pun rasanya masih kurang mengekspresikan dukungan khalayak. Karena memang selama ini aksi premanisme sudah sangat meresahkan sekali. Masyarakat pun berharap agar operasi ini berkesinambungan.

Untuk merespon harapan masyarakat ini, Kadiv Humas Polri Abubakar Nataprawira menegaskan akan melakukan operasi tersebut dengan berkesinambungan. Tak hanya itu, operasi ini juga dilakukan ke dalam, guna membersihakan polisi yang menjadi bekingnya.

Operasi membersihkan preman ini saya nilai tepat dilakukan saat ini, saya rasa ini merupakan lanjutan operasi pemberantasan judi dari Kapolri sebelumnya, Sutanto. Karena setelah judi terselubung diberantas, simpul-simpul premanisme ini sudah lemah.

Tentunya kita sudah tahu, premanisme ini tumbuh subur saat judi terselubung masih berjalan dan judi terselubung disuburkan oleh preman ini. Semua terjadi bak simboisis mutualisme.

Judi terselubung secara tak langsung mendanai kelompok-kelompok preman ini, karena preman-preman ini tumbuh untuk menjaga judi terselubung sebagai lahan mata pencahariannya.

Saat judi terselubung masih berjalan, kelompok-kelompok kepemudaan bermunculan. Bukan rahasia lagi bahwa tujuan mereka untuk mengamankan rumah-rumah perjudian ini. Aksesnya kadang dibawa keluar, sehingga menimbulkan gesekan di masyarakat.

Di saat itu pula, aksi mereka sulit diberantas, mengingat ada kalanya saat terjadi gesekan preman ini berlindung di bawah bendera kelompok-kelompok tertentu baik etnis dan ideologi. Sehingga setiap masalah pribadi, selalu dibawa ke masalah pertentangan kelompok baik itu etnis atau ideologi lainnya.

Hal ini tentunya sudah sempat kita rasakan sebelum judi diberantas. Di Batam sendiri, misalnya, saat itu jumlah pertikaian atar kelompok meningkat tajam, bahkan ada kalanya pertikaian ini terjadi melibatkan oknum aparat itu sendiri, yang sebenarnya berawal dari pertikaian individu yang rebutan lahan pengamanan.

Inilah yang saya sebut simpul-simpul tadi. Kini, setelah simpul tersebut lemah bahkan hilang, beberapa kelompok-kelompok yang menjadi tempat aksi premanisme ini bernaung, dengan sendirinya lemah dan hilang juga, sehingga operasi pemberantasan preman ini akan lancar.

Meski masih ada, itupun hanyalah preman kelas teri dengan kantong tipis dan bergerak atas nama pribadi, sehingga sekali sentil saja sudah tumbang.

Tapi ingat, operasi ini jangan hanya sebuah scotoma saja, pikiran melihat apa yang ingin dilihat, yang tak tampak juga harus diperhatikan. Sebab kini timbul pertanyaan, setelah para preman ini tertangkap lalu akan diapakan mereka itu?

Apa hanya akan diberi pembinaankah? Efek jerakah? Lalu selanjutnya apa? Karena yang banyak tertangkap itu sebenarnya adalah wajah-wajah lama, yang sudah banyak mengisi lembar-lembar kriminal di polsek-polsek dan polres. Bagi mereka penjara polisi merupakan rumah kedua.

Untuk itu, agar operasi ini tepat guna, mestinya polisi harus juga memberantas akar masalahnya, yaitu kemiskinan, pengangguran dan kebobrokan birokrasi. Instrumen ini ibarat gas cair, sehingga sekali tersulut akan meledak. Instrumen ini jualah yang menyuburkan aksi terorisme.

Belum lagi ditemukan fakta bahwa yang namanya preman itu sekarang juga memiliki kelas. Preman kelas bawah (pemalak terminal dan kawan-kawannya), preman kelas menengah (para debt collector) preman kelas atas (biasanya orang-orang atau kelompok yang membeking kegiatan ilegal), preman elit (para konseptor kerusuhan) dan preman institusi adalah para oknum aparatur baik di instansi sipil maupun militer.

Bukanlah rahasia lagi, bahwa ada di antara preman kelas teri itu menyetor hasil palakannya ke beberapa oknum aparat baik sipil maupun militer. Juga bukan rahasia lagi banyak oknum aparat memalak orang-orang yang ingin mengurus perizinan dan sebagainya. Nah yang ini siapa yang akan memberantasnya?

Karena itulah, perlunya kepolisian menggandeng Pemda untuk sama-sama bergerak memberantas dan menanggulangi premanisme ini. Dengan demikian, khusus preman jalanan, akan dapat diarahkan ke jalan yang benar dan terampil. Mereka tak hanya akan diberi pengarahan, namun juga keterampilan. Sedangkan preman birokrat akan mudah dideteksi dan dikurangi.


------------------
Terimakasih untuk Mas “DPR” Syarifuddin atas diskusi dan apresiasinya soal tulisan-tulisan di blog ini. Saya menulis untuk memerdekakan pemikiran dan pendapat saja mas. Pikiran saya liar, tak terkurung ruang, strata atau peran sosial lainnya. Hal ini sebagai cara merawat jati diri.

Soal staf ahli di DPR itu, wah manarik juga ya, he he he…

Tidak ada komentar: