Senin, 03 November 2008

Kisah 1001 Caleg dan Lampu Aladin

Banyaknya partai bersama caleg yang akan bertarung di pemilu 2009 nanti, rupanya bikin pusing. Bukan masyarakat yang kebingungan, melainkan partai dan caleg itu sendiri.

Hal ini tak lepas dari sebuah survei yang mengatakan, makin banyaknya partai, maka pilihan masyarakat akan tertumpu pada partai lama yang lebih dulu dikenal.

Masuk akal juga. Sebab, tak mungkin nantinya saat di bilik suara, pemilih akan berlama-lama memelototi gambar susunan partai atau caleg di kertas suaranya. Tentu mereka akan mengambul jalan mudah saja, mana yang sudah lebih familiar selama ini.

Karena itulah, mereka, terutama partai dan caleg yang belum begitu dikenal, harus lebih keras lagi berjuang menjaring pemilih. Harus lebih kreatif lagi mengenalkan nama atau nomor partai, mulai dari stiker hingga bahasa jari. Apalagi jadwal pemilu kian dekat.

Tak heran kita lihat saat ini, ada partai yang hanya mensosialisasikan nomornya saja seperti yang dilakukan PIB yang memang memiliki nomor bagus dan mudah diingat, sebab identik nomor pesepak bola top, yakni 10.

Bahkan ada juga kampanye melalui media bergerak, semacam angkutan umum. Seperti yang tampak dilakukan caleg PMB, atau PAN.

Ada pula yang kampenye terselubung melalui SMS. Kali ini dilakukan para caleg. Ada saja kiatnya, “pura-pura” ngucapkan selamat hari raya-lah, terima kasih-lah atau mohon doa restu.

Ujung-ujungnya, mengenalkan nama dan nomor urut dirinya “Fulan, celeg partai anu, gambar nomor sekian.” Bahkan ada yang tak canggung menulis,”Mohon dukungan pada 9 April 2009.”

Padahal sebelumnya, jangankan kirim SMS, ketemu langsung saja jarang bertegur sapa. Ya wajar saja, karena si pengirim dan si penerima SMS itu tak saling mengenal. Mereka cuma menerapkan trik dengan apa yang disebut “SKSD Palapa”, sok kenal, sok dekat padahal tak tahu apa-apa.

Cara lain, melakukan model kampenye bak multi level marketing. Si celeg merekrut satu orang di tiap wilayah, selanjutnya mereka bertugas merekrut 10 orang lagi, begitu seterusnya.

Ada lagi langkah yang lebih murah, dengan cara membubuhkan nama karakter yang selama ini lebih dikenal masyarakat dari namanya sendiri. Misal, siapa sih yang kenal caleg Rahmatsyah Rahmadani? Namun saat ujung nama ini diberi embel-embel “Ismeth” semua orang langsung tahu, kalau itu adalah Ismeth Abdullah, orang nomor satu di Kepri.

Banyaknya partai ini menyebabkan partai-partai baru kesulitan mencari kader unggulan yang akan dipasang sebagai calegnya. Maklumlah, banyak tokoh yang memiliki pengaruh besar sebagai peraih suara sudah ditarik atau tertarik ke partai besar yang sudah lama berakar di masyarakat.

Lakon menarik lain dari banyaknya partai ini, sempat kita saksikan saat penentuan daftar calon sementara. Bak kutu loncat, banyak caleg (khususnya dari partai yang dipilih bukan berdasar suara terbanyak) pindah dari partai satu ke partai lain, hanya karena tak memiliki nomor urut paling atas.

Alasan yang mereka usung, tentu bukan karena nomor ini. Yang paling banyak adalah, mereka merasa dizalimi. Sudah lama berjuang, sudah lama berkorban malah tak dihargai. Apa benar demikian? Hanya Tuhan yang tahu. Kita hanya tahu, ada di antaranya yang dulu menyanjung puji partainya, kini malah mencaci maki.

Kocekpun harus lebih dalam lagi dirogoh dengan apa yang disebut political cost. Karena tak ada yang gratis di politik.

Bukan rahasia umum lagi bahwa kadang nomor urut caleg itu ditentukan besarnya dana yang dimiliki si caleg. Dan bukan rahasia lagi, bahwa banyak caleg unggulan yang telah merogoh ratusan juta hingga miliaran rupiah bahkan menggadaikan harta benda, demi memuluskan langkahnya ke kursi parlemen ini.

Uang sebesar itu biasanya digunakan untuk belanja iklan di media, baliho raksasa, spanduk dan biaya kampenye lain. Ada lagi untuk nraktir minum kopi saat “jumpa fans” berbungkus makan bersama dan semacamnya.

Akibat besarnya rupiah yang harus dirogoh ini, banyak para caleg yang memilih mundur. Bagaimana lagi, dana pas-pasan. Dari pada ngutang toh belum tentu juga terpilih.

Sementara yang memilih terus, harus memiliki perhitungan benar-benar matang. Tak heran, saat ini mereka banyak mengerem pengeluaran. Pemilu masih jauh, jangan sampai saat jelang hari H dana sudah habis. Hal ini tentu kurang baik, sebab namanya akan kurang melekat di otak masyarakat.

Dari semua ini, kini yang tersisa hanyalah tanya. Berapa sih sebenarnya gaji anggota dewan itu, sehingga banyak yang mengeluarkan dana habis-habisan? Ternyata sangat kecil. Jumlahnya Rp4.545.250 (empat juta lima ratus empat puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah).

Jumlah tersebut merupakan total kesuluruhan beberapa komponen gaji, semisal tunjangan uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan kelurga dan beras, tunjangan panitia anggaran atau musyawarah, tunjangan komisi.

Angka ini masih dipotong potong untuk pajak PPh 21 Rp301.000, iuran partai yang rata-rata 30 persen dari total gaji, arisan ibu-ibu, potongan biaya fraksi Rp500 ribu dan lainnya. Jadi tak ada lagi yang tersisa dari gaji ini.

Satu-satunya yang masih bisa dibawa pulang adalah tunjangan perumahan yang berkisar Rp7-8 juta. Inipun sesampainya di rumah juga tak akan cukup, mengingat biaya dapur saat ini cukup tinggi.

Lalu, kalau gaji dari dewan sangat kecil, mengapa banyak yang berebut masuk? Mengapa pula gaya hidup anggota dewan kian wah, bagai menggosok lampu aladin, semua keinginan bisa diraih? Soal ini, tak perlu saya bahas lagi. Anda sudah cerdas, bahkan lebih pandai dari saya. Tentunya Anda akan lebih mudah menebaknya.

Tidak ada komentar: