Jumat, 14 November 2008

Merawat Jatidiri

Saat ini, banyak orang pandai yang terperosok pada hal-hal yang sebenarnya sudah dia ketahui bahwa itu salah. Mereka hanya tahu, tapi tak mengerti.

''Saat ini banyak orang pandai, tapi sedikit yang mengerti.''

Kata-kata seorang pemilik pesantren di kampung saya ini, terus mengusik sanubari. Tak lama saya lihat di televisi, Komisi Pemberantasan Korupsi menggiring seorang koruptor.

Berita lain, saya lihat di koran, seorang terhormat mengumbar sumpah-serapah di sebuah majelis agung. Maaf tak dapat saya tuliskan di sini bunyi sumpah serapahnya, karena memang sangat kotor dan menurut saya, bukan konsumsi orang-orang terhormat.

Ada apa semua ini? Saya korelasikan lagi dengan kalimat sang psantren tadi, “saat ini banyak orang pandai, tapi sedikit yang mengerti,” ternyata ada benarnya.

Lihat saja, dari deretan koruptor yang sudah digayang KPK, semua bukan orang sembarangan yang tak lulus SD. Mereka adalah orang-orang pandai di bidangnya. Ribuan buku dan penelitian sudah mereka lalap, ribuan rumus dan teori tentang jalan yang benar sudah hafal di luar kepala.

Tak heran, di antara mereka ada yang mendapat gelar sebagai pakar ilmu kriminal. Ada pula yang menyandang gelar profesor, master dan simbol-simbol cendekia lainnya.

Sementara itu, beralih pada orang terhormat yang melontarkan sumpah serapah di majelis terhormat tadi, dia juga bukan orang sembarangan. Pergaulannya luas, jadi sangat mustahil jika dia tak mengerti kepatutan, kebajikan lokal atau pantas dan tak pantasnya sebuah kata-kata.

Apalagi sampai nanti didengar luas, khususnya anak kecil, tentu ini akan memberikan kontribusi yang sangat buruk dan jahat bagi masyarakat itu sendiri.

Dengan ilmunya, mereka mencari kelemahan sebuah sistem tatanan sosial dan ilmu. Dari sana mereka mencari celah untuk melakukan kejahatan. Dengan kekayaan dan kekuasaannya, mereka melemahkan norma-norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Pertanyaanya mengapa mereka tega melakukan semua ini? Tentu, karena mereka tak mengerti. Mereka hanya tahu, mereka hanya hafal, tapi sekali lagi tak mengerti bagaimana melaksanakannya.

Kenapa demikian? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Semua tak terlepas juga dari ketidak mengertian akan jati dirinya sendiri.

Pernah dengar ungkapan ini, “Kesombongan dan sadar diri, selalu tak datang bersamaan.” Kesombongan inilah yang kadang membutakan mata dan akal. Mengapa manusia sombong? Banyak faktor pemicunya, ada karena kekuasaan yang dia peroleh baik dari kekayaan maupun jabatan.

Pernah dengar Firaun yang mengklaim diri jadi Tuhan? Karena saat itu Firaun memiliki kekuasaan yang tiada tara. Si Golden Ways, Mario Teguh pun pernah menguangkap, bagaimana jabatan membikin manusia sombong dan takabur. Dengan kekayaan dan jabatannya, dia memandang remeh orang lain, dengan jabatan dan kekuasaannya dia merasa telah menjadi kebenaran itu sendiri.

Hal inilah yang pada ujungnya akan menjadi lubang kubur baginya. Ujung-ujungnya, dia akan ditelanjangi kesombongannya itu sendiri? Dengan transparan, publik dapat menilai bahwa dia bodoh dan rendah, seperti beberapa contoh yang sudah saya paparkan di atas tadi. Maka itu, semua ini akan dapat dihindari jika si manusia tersebut mampu merawat jatidirinya.

Jatidiri kita adalah apa yang melekat pada kita saat ini, baik berupa embel-embel jabatan, kepangkatan atau strata dalam peran sosialisasi. Apakah hal ini bermanfaat bagi Anda? Semuanya akan dapat terlihat saat kita sudah tak lagi memegang embel-embel lain tadi dalam hidupnya.

Ibarat peribahasa, harimau tak akan meninggalkan belangnya. Karena itu, dengan merawatnya akan membawa si individu tetap terarah dan mengerti akan segala hal.

Merawat jati diri ini tak terlepas dari usaha si individu untuk selalu belajar merendahkan hati, kerena saat itulah dia belajar untuk mengerti. Ibarat menuang air dari teko ke cangkir, semakin rendah hati, maka ilmu akan semakin deras mengalir masuk.

Berapa banyak kita saksikan orang yang sudah tak lagi berkuasa, tak lagi memiliki jabatan dicampakkan oleh masyarakat yang dulu mengenalnya? Kejelekan dan kekejamannya terus dikenang hingga dijadikan contoh buruk saat mengantar anak-anaknya tidur.

Namun tak sedikit pula orang yang setelah tak lagi berkuasa atau memegang jabatan tertentu, malah makin disegani, bahkan kian mendapat kepercayaan dan tawaran pekerjaan yang lebih besar? Kebijaksanaannya saat memimpin pun, dijadikan tauladan bagi orang tua saat mendidik anaknya.

Sekadar tulisan penutup, saat di madrasah dulu, ada wali murid yang marah-marah pada ustad kami karena anaknya mendapat nilai 9 dalam mata pelajaran Aqidah Akhlak.

Kenapa begitu? Menurut si wali murid, saat di rumah akhlak anaknya sangat buruk karena itulah dia tak pentas mendapat nilai tinggi dalam pelajaran Aqidah Ahklak, karena dia hanya pandai menjawab soal namun tak mengerti melaksanakannya.

Sungguh luar biasa.
------------------------
Moral:

Meskipun pinternya selangit tapi kalau kepribadiannya jelek, bisa jadi racun. (Presiden SBY di depan seluruh kepala daerah, saat memberikan kuliah Lemhanas).

Dalam hidup, lebih mudah melihat dan menilai dari pada merasakan atau mengerjakan sesuatu.

Zaman selalu memunculkan seorang tiran, suatu saat mereka berjaya, namun banyak yang jatuh dan hina.

Tidak ada komentar: