Jumat, 28 November 2008

Jual "Diri" di Televisi

Sebagian publik di Indonesia terbengong-bengong saat melihat Sutrisno Bachir, siang malam, megiklankan diri di televisi. Siapakah orang ini? Namun, lama-kelamaan akhirnya mereka mulai terbiasa hingga akhirnya mengakrabi sosok Sutrisno.


Bahkan tanpa melihat orangnya pun, publik tahu bahwa itu Sutrisno Bachir yang Ketua DPP PAN itu, hanya dengan mendengar kalimat “hidup adalah perbuatan”. Kalimat ini sangat lekat mengikat, seakan jadi pelengkap nama pengusaha mebel ini.

Enam bulan sudah Sutrisno Bachir menayangkan iklannya di televisi, semua momen dia masuki, mulai Hari Kebangkitan Nasional, Euro 2008, dan tentu saja Hari Raya. Setiap iklan yang tayang di momen tersebut, memiliki gaya dan narasi berbeda. Sutrisno tampil sangat patriotis di iklan Hari Kebangkitan Nasional, namun sangat lentur dan funky di iklan Euro 2008.

Dan berkat semua jerihpayahnya ini, kini hampir 75 persen penduduk Indonesia mengenal nama dan wajah Sutrisno Bachir, meski “perbuatannya” itu harus dia bayar dengan kucuran uang miliaran rupiah.

Hal ini mencakup bayaran untuk produksi iklan, dan penayangan di beberapa televisi swasta dan media cetak yang di saat jam-jam utama mencapai Rp80 juta permenit!

Setelah Sutrisno ini, muncul Prabowo yang mengusung isu kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, Prabowo muncul di pawah patung Partai Gerindra, dengan mengusung isu meningkatkan lapangan pekerjaan.

Disusul PKS dengan iklan kontroversi sekaligus fenomenalnya itu. Dengan memanfaatkan hari Pahlawan, partai ini mengusung soal “Guru Bangsa”, dengan memunculkan Soeharto dari beberapa tokoh lain, mulai Soekarno, Hatta, Bung Tomo, Kyai Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan. Terlepas dari semua kontroversi ini, iklan PKS sangat sukses menarik perhatian khalayak.

Disusul, tak lama lagi, publik akan “dihibur” oleh iklan PDIP yang akan mengangkat isu perbaikan ekonomi. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di tengah merosotnya ekonomi akibat pengaruh krisis keuangan yang ditularkan Amerika.

Di Amerika sendiri, Barrack Obama tampil memukau dengan tayangan iklan televisinya, berupa lagu berjudul “Yes We Can” yang bersyairkan pidato kampenyenya. Iklan bernilai jutaan dolar ini, sangat memikat hati masyarakat. Bahkan analis mengatakan, kemenangan Obama salah satunya tak lepas dari iklan ini.

Di Batam juga tak kalah gencar. Kian dekatnya pemilu legislatif, dimanfaatkan calon legislatif dan partai untuk membeberkan visi dan misi. Tak ayal, acara sejenis, semacam Halo Partai di Batam TV ramai diantre.

Mengapa mereka memanfaatkan televisi? Tentunya tak lepas dari keunggulan media ini yang mempu menghadirkan secara audio visual, sehingga 100 miliar sel otak akan dengan mudah dirangsang. Ini berarti efek psikologisnya lebih tepat sasaran.

Apalagi di zaman kian canggih semacam ini, efek-efek khusus pada gambar makin dapat ditingkatkan dan disempurnakan, membuat tokoh dan pesan yang diusungnya kian bertenaga, melebihi jika hanya tampil di media cetak yang bisu.

Dan mengapa televisi memanfaatkan mereka (iklan politik)? Karena mereka memiliki dana kampanye yang besar. Seperti yang sudah saya singgung tadi, tiap caleg dan partai telah menganggarkan dana puluhan bahkan ratusan miliar rupiah, untuk iklan.

Inilah yang kini harus pandai-pandai dimanfaatkan dan direbut oleh televisi (termasuk juga media jenis lain). Kiatnya mulai diskon iklan dan acara berbau kampanye menarik.

Namun, akibat terlalu semangat tanpa sadar kadang ada beberapa iklan politik itu terjebak pada menyanjung-nyanjung diri sendiri. Akulah yang hebat, orang lain tidak. Bahkan banyak menjual kemiskinan dan kemelaratan rakyat sebagai bumbu penarik.

Sebuah contoh, belum lama ini di televisi lokal, Batam, ada talkshow politik. Saat itu caleg dari partai A ditanya, apakah partainya akan mampu meraih suara yang besar, setelah tokoh besarnya tak lagi ada? Si caleg menjawab, bahwa justru partainya akan kian besar setelah si tokoh besar itu keluar. Caranya bagaimana? Tak disebut.

Hal inilah yang kadang membuat masyarakat malas menyaksikan hal semacam ini. Cuma ngomong, siapa yang tak bisa?

Bagaimanapun juga, iklan politik atau talkshow politik di televisi, harus mampu mendidik masyarakat. Bukan malah membikin bingung. Berilah solusi bukan janji. Beri jalan, jangan hanya kritik.

Sungguh mudah menjadi kritikus, hanya bisa melihat kesalahan saja. Bisanya ngejek. Namun percayalah, tak ada orang yang besar dan dihargai di dunia karena menjadi tukang kritik. Justru banyak yang menjadi besar, karena mampu membangun, menumbuhkan semangat dan inspirasi bagi sesamanya

Bukankah pribadi yang besar selalu mengutamakan kebaikan? Bukan malah menyusahkan orang supaya dia kelihatan baik? Karena pemimpin sejati akan selalu membuat orang lain lebih baik.

Akhirnya, waktulah yang akan membuktikan apakah mereka mampu memberikan bukti atau janji. Karena hidup bukan hanya narasi iklan, hidup (yang baik) adalah perbuatan (yang baik).

Tidak ada komentar: