Senin, 17 November 2008

Renungan Haji

Idul Adha menjelang. Saat ini, setahun sekali, jutaan umat Islam di seluruh penjuru bumi menuju Tanah Suci, Makkah pergi beramal menunaikan bakti pada Allah, Tuhan segala zat.

Inilah saatnya insan segala ras dan bangsa, menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Sedu sedan tangis, ucap puja puji serta syukur, membelah langit seakan hendak menembus sidratul muntaha. Kebesaran Allah pun terlihat nyata. Tak heran dikatakan bahwa haji adalah miniatur Padang Mahsyar, padang berkumpul saat manusia dibangkitkan dari kematian.

Di sinilah kita melakukan napak tilas dan meresapi bagaimana haru hati Adam bertemu Hawa. Di sini pula kita merasakan kemarahan Ibrahim saat melempar syetan dengan batu, karena terus menggodanya agar tak mengorbankan Ismail.

Di sini kita, hingga saat ini, masih manyaksikan dan merasakan mukjizat Nabi Ismail, berupa air zam-zam, yang menyembur dari tanah tandus saat kakinya menghentak karena kehausan.

Di sini pula kita meresapi, betapa kokohnya Rasullah yang tiap hari harus berjalan kaki sehari semalam sejauh 40 kilo meter, pulang pergi ke rumahnya seusai menunaikan rukun haji. Di sini pula kita merasakan bagaimana Islam mula pertama diperjuangkan dan dikembangkan.

Sungguh merupakan ibadah yang hebat, ibadah dahsyat. Tak heran haji dijadikn penyempurna rukun Islam di samping ibadah lainnya.

Maka itulah, wajar pula sekiranya jika kita berseru Labbaik Allahumma Labbaik... Kami menjawab panggilanmu ya Allah… Labbaik Allahumma Labbaik... Aku memenuhi panggilanmu Ya Allah…

Namun pertanyaannya, apa memang kita sudah dipanggil oleh Nya? Apa buktinya? Apakah hanya karena tahun ini kekayaan Anda sudah berlimpah, sehingga harus ditandai dengan berhaji yang kadang tak cukup sekali?

Kalau itu ukurannya, Nabi Muhammad tak termasuk dalam panggilan itu. Toh Rasul mulia ini adalah orang yang miskin. Selama hayatnya pun dia hanya berhaji satu kali saja.

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita masih menggantungkan nasib melalui nomor rumah, lukisan dinding, arah rumah dan besar kecilnya lubang pintu?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita masih mengharap berkahnya melalui SMS “Ketik reg spasi Tuhan lalu kirmkan ke nomor 6666?”

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara salat kita masih lebih cepat dari iklan sabun mandi?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat wawancara dengan wartawan kita selalu bilang, “Jangan lupa cantumkan ‘Haji” di depan nama saya ya?’,”

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat mencium hajarul aswad kita harus menyewa orang untuk menyikut saudara kita sesama muslim?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat pulang haji, kita kembali mengumbar aurat jasmani dan rohani kita, lalu berkata bahwa agama urusan masing-masing? Atau badan boleh telanjang yang penting hati yang berjilbab?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat memanggil-Nya kita harus memakai pengeras suara, padahal kita tahu bahwa Dia teramat dekat?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara baru saja bisa menyumbang ke masjid atau menyanyikan lagu Religi, kita sudah merasa dijamin masuk Surga?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita menganggap ibadah haji hanyalah sebuah tur wisata yang setiap saat tiketnya bisa dipesan di agen tour dan travel terdekat?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, hanya karena saat di dapan kakbah kita tersungkur dan menangis tersedu?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat berhaji kita masih sibuk meributkan seberapa jauh maktab kita dari Masjidil Haram?

Tentunya hanya kitalah yang bisa menjawab pertanyaan ini.

Kunci beragama itu adalah keihlasan, letaknya di hati, bukan di akal fikir. Karena itulah Allah menolak kurban Kabil yang kuantitasnya lebih banyak dari Habil, karena di hatinya ada setitik unsur akal-akalan dan tak ihlas.

Termasuk di dalamnya berhaji, yang bermula dari keihlasan dan keberanian Ibrahim saat Allah memintanya berkorban menyembelih Ismail, putra tercinta, cerdas dan taqwa yang sudah lama dia harapkan kehadirannya untuk melanjutkan tonggak kenabian.

Ibadah haji menjadi pelengkap rukun Islam, karena teramat berat, berat sekali. Karena yang dinilai adalah kesanggupan insan mengubah keihlasannya dalam hablumminannas dan hamlumminallah, usai menunaikannya. Haji juga menjadi barometer masyarakat akan kesalehan seorang Muslim.

Renungkanlah.

----------------
Ya allah jika saya beribadah hanya karena surgamu, jauhkanlah surga itu dari ku.
Ya allah jika saya beribadah hanya karena takut neraka, bakarlah saya dalam apinya.
Tapi jika saya beribadah hanya karena mengharap rido mu, maka jangan palingkan wajahmu padaku.

Tidak ada komentar: