Ada prediksi bahwa tahun 2040 nanti media cetak tak akan lagi terbit. Saat itu orang akan berpaling ke internet.
Sebenarnya, prediksi akan ini sudah lama terjadi. Dulu sejak radio mulai ditemukan, orang berpikir bahwa era surat kabar akan habis, demikian juga saat televisi mulai diperkenalkan.
Asumsi manusia saat itu berdasar pada orientasi publik dalam memilih saluran informasinya. Mereka berpendapat, radio dan televisi akan lebih dipilih karena mampu menyampaikan informasi dengan cepat dan memiliki jangkauan luas dalam waktu sekejap pula.
Kenyataannya, semua prediksi itu hingga saat ini tak terbukti. Karena, setiap media massa memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Keistimewaan di media cetak, belum tentu ada di radio dan televisi. Demikian pula sebaliknya. Karena media massa ada bukan untuk saling membunuh, melainkan saling melengkapi.
Namun, prediksi bahwa tahun 2040 nanti media cetak tak akan lagi terbit- yang bergulir kali ini berbeda. Karena bertumpu bukan pada orientasi sumber informasi publik, melainkan pada bahan dasarnya, yaitu kertas.
Saat ini harga kertas kian mahal dan produksinya terbatas pula. Bahan dasarnya yang terbuat dari bubur kayu, sudah sulit lagi diproduksi massal. Hutan banyak gundul, global warming mengancam yang menyebabkan dunia harus membatasi penebangan hutan, kayupun kian mahal.
Alasan ini memang sudah bisa kita rasakan. Lihatlah, berapa banyak media cetak yang gulung tikar atau meski ada yang bertahan, mereka harus mengecilkan ukuran. Kiat lain, dengan cara mengurangi halaman.
Bersandar itulah, kini banyak media massa cetak yang mulai beralih ke internet, menjadi media on-line. Di Eropa dan Amerika banyak koran yang memutuskan tak terbit dan berubah menjadi media online.
Di Indonesia, media top seperti Kompas, sampai mengucurkan investasi miliran rupiah untuk meng-upgrade media cyber-nya, sebagai batu loncatan untuk menyelamatkan masa depannya itu.
Seiring dengan itu, orientasi publik untuk mendapatkan informasi dari internet kian tinggi, seiring kian memasyarakatnya media maya ini. Di internet, masyarakat juga bisa mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang apa saja, mulai berita komunitasnya hingga dunia, mulai peta rumah kita, resep memasak hingga buku pelajaran.
Di sini mereka juga bisa menikmati hiburan, mulai film dan musik sembari mengunduh, dan mengunggahnya. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai lahan mata pencaharian.
Melalui beberapa media komunitas on-line, di internet masyarakat bisa menjadi bagian dari citizen jurnalism. Mereka tak lagi jadi obyek, malainkan subyek. Mereka tak lagi hanya dipaksa menerima informasi, namun juga bisa berperan membuat (berbagi) dan menanggapi (berpendapat) akan informasi yang ada.
Tak heran, sejak mulai booming di awal 2000-an media komunitas on line ini langsung mendapat tempat di hati masyarakat, mulai kelas bawah hingga ketua MPR Hidayat Nurwahid.
Bahkan, banyak berita besar di koran dan televisi bermula (mengambil) dari sini, karena ternyata wartawan koran dan televisi itu sendiri sudah menjadi member dari media komunitas on-line ini.
Contoh. Sebelum televisi dan koran membicarakan tentang kasus bobok bareng Maria Eva, “telepon merah” dan lagu “Gaby”, media komunitas on-line ini sudah mengungkapnya dengan lengkap dn tanpa sensor. Banyak lagi contoh lain.
Di internet juga setiap orang, bisa memiliki media massa sendiri dengan apa yang disebut blog. Di Amerika, sekarang juga Indonesia, pemilik blog (blogger) ini sudah lebih dikenal dari pers cetak dan elektronik itu sendiri.
Sekarang siapa yang tak kenal Andreas Harsono? Tulisan di blognya selau dijadikan acuan bagi wartawan di Indonesia. Dia diakui, dia dikenal lebih dari orang mengenal media tempat dia bekerja.
Ada di antara blogger itu yang memang menjalankan fungsinya seperti wartawan dengan mencari, mengolah dan menyebarkan informasi dengan kontinyu, ada pula yang hanya mengisi blognya dengan kumpulan karya tulis, mulai curhat, pemikiran, puisi hingga cerpen.
Jadi, kalau dulu ada yang mengatakan orang dikenal dan dinilai dari bahasa dan pakaiannya, kini sudah berubah. Pribadi seseorang itu dapat kita lihat dari blog, friendster atau facebook-nya.
Bahkan, dari sedemikian perkasanya internet dalam memuaskan informasi ini, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Tuhan orang abad 22 adalah Google, sebuah mesin pencari situs internet. Sebab, hanya dengan menuliskan apa yang kita cari, Google langsung bisa memenuhinya.
Berdasar keperkasaannya inilah, saat ini pers on-line banyak yang menyediakan ruang komunitas, mulai chatting hingga blog.
Namun hati-hati, karena terkadang media komunitas on-line dan blog ini berisi propaganda negatif untuk menyebar kebencian SARA dan berita hoax lain. Untuk itu, perlu banyak perbandingan juga dengan media massa (pers) resmi yang bisa dipertanggung jawabkan kridibilitasnya.
***
Zaman berubah, demikian juga dengan media massa selalu muncul dengan membawa decak kagum. Dulu manusia prasejarah terkagum-kagum melihat gua yang jadi medianya untuk menyatakan eksistensinya kala itu.
Hingga akhirnya manusia mengenal tulisan (masa sejarah), prasasti telah ditemukan. Sampai-sampai Raja Jawa melukis sepasang telapak kakinya di sana.
Setelah Tsai Lun dari China, menemukan kertas pada 500 tahun sebelum masehi, manusia telah mengenal media komunikasi dengan lebih baik lagi, sampai akhirnya Guttenberg dari Jerman menemukan mesin cetak.
Dari sinilah lahir pers, yang dasar katanya dari press atau ditekan, karena mesin Guttenberg mencetak huruf dengan cara menekan bak mesin ketik.
Tak lama, radio muncul yang memanfaatkan media komunikasi melalui gelombang udara, amplitudo mudulasi hingga short wafe. Decak kagum bermunculan, dunia tak lagi mendapat informasi basi, namun bisa langsung saat itu juga.
Pada tahun 1950-an, radio juga sempat membuat AS guncang mirip dengan serangan teroris yang meruntuhkan gedung kembar di New York11 September 2002 lalu. Apa pasal? Saat itu tengah booming sandiwara radio Invansion of Mars.
Mereka mengira ini sungguhan, mahluk Mars akan menginvasi Amerika dan melumatkan penduduknya, sehingga warga harus segera mengungsi.
Tak lama lagi, televisi muncul. satelit-satelit diluncurkan. Kinerjanya lebih baik dari radio, karena menampilkan gambar. Sehingga masyarakat tak lagi bisa ditipu oleh suara lagi. Semula, televisi digadang-gadang akan dapat menggantikan media cetak, namun hingga sekarang tetap belum terbukti.
Hingga akhirnya internet merambah. Media komunikasi kian lebih perkasa lagi. Masyarakat kini tak lagi menjadi obyek, namun subyek. Mereka tak lagi pasif, namun aktif.
Dari pemaparan inilah mengapa saya berpendapat, bahwa tahun 2040 terlalu lama bila dikatakan media internet (dari segi orientasi mendapatkan informasi) akan menggeser keberadaan media cetak.
Saya meramal akan lebih dekat lagi. Hal ini berdasar hitungan, rentang waktu antara zaman prasejarah hingga sejarah selama 10 ribu tahun. 1.000 tahun kemudian teknologi mesin cetak ditemukan, 100 tahun kemudian televisi ditemukan, 50 tahun kemudian komputer ditemukan. Hingga akini internet mewabah, maka bisa jadi 10 tahun mendatang akan melibas semuanya.
-------------
Ada dua tipe manusia di dunia ini. Ada yang bekerja ada yang menikmatinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar