Senin, 17 November 2008

Orang Kota dan Orang Desa

Ada yang unik pada masyarakat di kampung ku, Pulau Bawean, Jawa Timur. Warga di sana yang bermukim sekitar radius 1 kilo meter dari alun-alun Kecamatan Sangkapura, menyebut orang yang tinggal lebih dari 1 kilometer dari alun-alun sebagai “orang desa”.

Padahal, mereka juga tinggal di desa seperti Desa Sawahluar dan Desa Sawahmulya, karena Bawean merupakan kecamatan di Kabupaten Gresik yang nota bene struktur pemerintahannya bukanlah kota dan kelurahan.

Indikator mengapa penduduk di sekitar alun-alun (selanjutnya disebut orang Sangkapura) merasa tinggal di kota, karena memang pusat kegiatan masyarakat di Pulau Bawean ada di dua desa tadi, seperti pasar, PLN, Telkom, kantor kecamatan, polsek, koramil, pelabuhan, bea cekai, puskesmas, pengurus partai, organisasi, pendidikan dan lain-lain.

Hal ini memang sejalan dengan difinisi, bahwa kawasan perkotaan atau disebut juga urban, adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Tak heran jika penduduk di dua desa ini lebih padat dari yang lain. Kondisi inilah pulalah yang mempengaruhi cara berpikir, bersosialisasi dan gaya hudup mereka. Maklumlah, banyaknya kantor yang berpusat di sana, membuat orang Sangkapura selalu tahu atau merasakan lebih dulu dari warga di desa-desa lain.

Misalnya soal mendapat fasilitas listrik, telekomunikasi, informasi dan sarana infrastruktur lainnya. Dari sinilah mungkin, sebutan “orang desa” atas warga yang bermukim jauh dari alun-alun itu muncul.

Namun parahnya, sebutan “orang desa” bagi orang yang tinggal jauh dari alun-alun itu terus melekat di lidah orang Sangkapura, hingga ke rantauan. Tak jarang, meski sudah sama-sama berada di rantauan, orang Sangkapura, tetap memanggil orang-orang jauh itu sebagai “orang desa”, bukan menyebut daerahnya seperti Daun, Bululoar dan lain-lain.

Padahal, di rantauan mereka sama-sama berada di kota yang tentunya mencicipi fasilitas yang sama, baik kemajuan peradaban hingga sosialisasi. Misalnya, orang Sangkapura kuliah mereka juga kuliah, orang Sangkapura main ke mall, mereka juga main ke mall.

Demikian pula dengan konsumsi informasi lain, semisal ponsel, koran, majalah dan gaya hidup, mereka juga merasakan. Bahkan saat orang Sangkapura ke diskotek, mereka juga mencicipi diskotek. Apa bedanya?

Malah ada kalanya di rantauan, “orang desa” itu lebih unggul dari orang Sangkapura sendiri. Dari pengalaman saya selama merantau, umumnya orang yang katanya “desa” itu ternyata lebih terlatih berorganisasi.

Hal ini tampak dari setiap organisasi kedaerahan di daerah rantau hingga Malaysia dan Singapura, penggagasnya adalah orang-orang ini, bukan orang Sangkapura. Mungkin hal ini dipengaruhi domisili asalnya, dimana interaksi antar penduduk terjalin baik, sehingga sikap guyub itu masih tertanam hingga ke rantauan.

Namun mengapa masih disebut ”orang desa”, padahal sudah sama tinggal di kota danm mencicipi hal yang sama dengan orang kota? Saya rasa, ini buah budaya lisan untuk membedakan strata sosial. Sebab ujungnya bukan sebagai untuk menandai identitas asal, melainkan berbumbu stereotipe dan konotasi negatif lain. Misal orang kota itu maju, sedangkan desa tertinggal.

Hal ini, berdasarkan difinisi yang sudah saya sebut di atas, juga sama halnya yang terjadi pada warga yang bermukim di kota-kota besar lainnya di Indonesia bahkan Dunia. Orang yang tinggal di Jakarta, menyebut orang luar Jakarta, seperti yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan “Orang Jawa”.

Padahal kalau dilihat, Jakarta juga berada di Pulau Jawa. Sedangkan bagi yang tinggal di luar Jawa, mereka menyebut “orang daerah”, padahal Jakarta juga “daerah,” Daerah Khusus Ibukota.

Di Batam juga sama, orang di sini selalu menyebut orang tinggal di pulau-pulau sekitarnya dengan sebutan “orang pulau”. Padahal Batam adalah pulau.

Di Malaysia lebih parah lagi, mereka menyebut warga negara yang diangap berada di halaman belakangnya, dengan sebutan kurang enak. Semisal Indonesia disebut “Indon”, Bangladesh = Bangla. Sebutan ini selalu muncul bersama konotasi negatif dan bahan ketawaan, sebagai negara yang berada di beranda belakang.

Beda dengan negara-negara yang berada di halaman depannya. Umumnya selalu disebut dengan aksen gagah dan bangga. Semisal Inggris = “British”, Amerika dengan “US” .

***
Di zaman Belanda, sebuah kota selalu ditandai dengan tiga bangunan, yaitu Keraton sebagai tempat pemerintahan, pasar sebagai tempat transaksi bisnis, dan alun-alun sebagai tempat berkumpul bagi masyarakat. Jika ketiganya sudah ada, maka sudah layak disebut kota. Karena itulah pada kota-kota di Indonesia tiga tempat ini selalu berdekatan.

Namun di zaman ini, ketika teknologi komunikasi semakin canggih, batas antara kota dan desa sudah bias. Yang ada adalah desa global, karena mereka sudah saling mengenal tak lagi terikat jarak dan waktu.

Setelah mereka mencicipi televisi, handphone dan juga internet, membuat konsumsi inforormasinya kian luas. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir gaya hidup dan nilai-nilai lain, tak beda dengan orang yang tinggal di kota, semacam Jakarta sekalipun.

Tidak ada komentar: