Minggu, 23 November 2008

Mengawal Gus Dur di Batam (4)

Sekitar pukul 08.20, rombongan tiba di loby Novotel. Saat itu beberapa perwakilan dari pemerintah daerah sudah menyambut.

Ada Kadis Pariwisata Provinsi Robert Iwan Loriaux dan lainnya. Serta, tentu saja, beberapa Banser ada yang berpakain loreng namun ada pula yang memakai stelan baju warna krem. Namun semuanya tetap mengenakan sepatu lars dan baret ungu tua.

Setelah mengucapkan selamat datang, selanjutnya Gus Dur dibimbing masuk. Namun, saat akan dibawa ke private room The Square (nama restoran dekat lobi Novotel) untuk sarapan, Gus Dur menolak, karena mau ke toilet.

10 menit kemudian, Gus Dur keluar dari sana. Wajahnya sudah tampak lebih segar. Balsam cap macan yang terus menerus dia cium pun sudah tak menemaninya lagi.

Tapi untuk sementara Gus Dur tertahan, karena di ruang tersebut masih dipakai Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mulai sibuklah beberapa manejer hotel, termasuk GM Novotel Sigit Budiarso, lari ke sana ke mari untuk memberitahukan ihwal kedatangan Gus Dur ini pada Sri Sultan.

Ternyata Sri Sultan memang sengaja menunggu Gus Dur di private room itu.
Maka terjadilah pertemuan perdana ini. Seperti diketahui, keduanya akan menjadi pembicara di UIB. Gus Dur di sesi pertama (pukul 09-00-12.00) dan Sultan sesi kedua.

Saat itu Sultan tampil dengan busana “kebesarannya”, batik tulis coklat khas Yogya yang dibiarkan keluar menutupi bagian atas celana hitamnya. Sebuah kacamata frame kecil menghias di wajahnya. Sungguh bersahaja.

Selanjutnya, Sultan dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil) menyapa Gus Dur sambil menjabat tangannya. Gus Dur pun yang masih berada di kursi roda, membalas dengan kromo inggil pula. Inti pembicaraan itu, Sultan mengucapkan selamat datang lalu
bertanya tentang kondisi kesehatan masing-masing.

Tak lama Sultan menutup pembicaraan, “Salam kageng ibu (Ibu Sinta Nuriyah), Kyai…” Ternyata Sultan memanggil Gus Dur dengan sebutan “kyai”. Gus Dur pun membalas, “Ya ya ya…”

Setelah Sultan pergi, Gus Dur dibimbing menuju meja. Di temani Basith Has (di kanan) dan Soehendro Gautama (di kiri). Sedangkan saya dan Handoko, mengambil tempat duduk berhadapan dengan Gus Dur.

“Mau sarapan apa Gus?” Tanya Soehendro halus.
“Ah, ndak usah. Tadi sudah sarapan di pesawat. Ngopi aja lah,” jawab Gus Dur.
“Pisang goreng saja ya Pak,” tawar Sulaiman. Gus Dur pun menyetujui tawaran asistennya ini.

Tak lama, beberapa pelayan hotel masuk membawa donat dan croisistant untuk Gus Dur. Tak lupa satu poci kecil kopi panas, beserta beberapa bungkus aneka gula dan pemanis. Sebagai pelengkap, juga disajikan beberapa potong roti tawar bersama selai rasa nanas dan ceri. Ada yang sudah dikeluarkan, ada juga yang masih dalam kemasan.

Hidangan ini juga dibagikan pada beberapa orang yang duduk di meja tersebut. Namun minumnya bisa pilih, kopi atau teh.

Dari sini Gus Dur lebih memilih donat sebagai kue pembuka untuk menghangatkan seleranya. Sambil menikmati sajian, dia mulai berkisah. Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Gus Dur mulai mengeluarkan koleksi anekdotnya.

“Ada anak peternak yang mengambil kuliah doktor ke Jerman. Setelah pulang dia bercerita pada ayahnya, ‘Yah, di Jerman sudah maju. Di sana ada mesin besar yang kalau dimasukkan sapi, keluarnya jadi sosis,’” kisah Gus Dur.

“Mendengar kisah ini, ayaahnya menjawab. Loh, masih lebih canggih lagi di sini. Begitu dimasukkan sosis yang keluar kamu, hik hik hik…” papar Gus Dur terkekeh, diiringi tawa yang lain.

Dari sini selanjutnya masuk Profesor Hendrawan Suprtikno, Guru Besar Fakeltas Ekonomi UKSW Salatiga. “Saya adik kelasnya Matori (Abdul jalil) Gus,” sebutnya saat mengenalkan diri.

Obrolan selanjutnya masih hal-hal yang ringan. Hendrawan pun menyebut soal Syeh Puji, yang setelah sukses menikahi Lutviana Ulfa (12), masih akan menikahi anak berumur 9 bahkan 3 tahun. “Gimana itu Gus?”

Menjawab ini Gus Dur mengatakan, bahwa sebutan “Syeh” itu semula hanya untuk mengolok-olok lelaki nyentrik bernama asli Puji Citro Widiono itu. Puji menurutnya orang yang bodoh soal agama. Namun krena banyak uang dia membangun pesantren. “Karena itu dia di-nyek (ledek) dengan sebutan Syeh,” jelasnya.

Selanjutnya obrolan beralih ke Madura. Gus Dur berkisah, saat itu bertemu dengan pejabat tinggi daerah tersebut. Selanjutnya mereka berbincng akrab. “Saya baru berhasil membangun gedung ini Gus. Namun sewa eternitnya yang mahal.”

Gus Dur pun bingung, dalam hatinya berkata, “Gedungnya bisa dibeli, kok eternitnya masih sewa?” Rupanya yang dimaksud “eternit” oleh pejabat Madura tadi bukanlah sebutan untuk langit-langit, melainkan internet! Spontan tawa hadirin tak terbendung lagi.

Masih di Madura, Gus Dur mengisahkan saat menghadiri pertemuan di sana ada pejabat yang menyuruh stafnya menyampaikan amplop bertulis “HDSS”. Gus Dur pun heran, lalu bertanya apa itu maksud “HDSS”. Rupanya si staf tak mengerti, lalu buru-buru bertanya pada si bos.

Si Bos pun geram dan memarahi stafnya itu. “Bodoh kamu, gitu saja tak ngerti. Maksud ‘HDSS’ itu, ‘harap dibantu sedikit-sedikit’,” tiru Gus Dur, tawa kembali membahana.

“Ternyata Gus Dur banyak menyimpan koleksi humor ya? Inilah mungkin yang membuat Gus Dur easy going,” komentar Handoko.

Tidak ada komentar: