Minggu, 23 November 2008

Mengawal Gus Dur di Batam (5)

Gus Dur pun makin keranjingan. Beberapa humor pun dikeluarkan, ada yang sudah pernah dia saampaikan, baik langsung atau lewat website-nya, namun juga ada yang belum. Di sela-sela banyolannya, sesekali Gus Dur batuk-batuk kecil. Mungkin tenggorokannya tergaruk kulit gorengan "elit" itu.

Seperti ini, dalam sebuah makan malam usai kunjungan resmi di Washington, seorang nyonya pejabat ditawari mau pesan makanan apa.

“Do you like salad?’ Maksudnya itu selada. Rupanya si ibu ini tak ngerti, lalu menjawab, ‘Oh ya, five time a day.’ Rupanya ibu ini mengira yang dimaksud salad itu salat lima waktu, ha ha ha…” tawa Gus Dur di susul yang lain.

Masih belum puas juga, Gus Dur kembali mengisahkan saat talkshow di TVRI, dia ditanya soal lumpur Lapindo. “Saya ndak ngerti kok ditanya ginian. Ya saya jawab, itu terjadi karena Nyi Roro Kidul dipaksa berjilbab (oleh Habib Rizik Shihab), ha ha ha…” katanya.

“Lha iya. Saya pernah bilang, di dunia ini ada negara yang imam dan dainya tak bisa menangkap habib.”

Di mana itu Gus?” penasaraan yang lain.
“Ya di sini. Lha wong imamnya Imam Samudera, dainya Dai Bachtiar (mantaan Kapolri), lha habibnya Habib Rizik (ketua FPI), ha ha ha.”

Selanjutnya hening sesaat. Makanan terus mengalir, Gus Dur pun terus menikmati hidangaan itu, hingga piring kecilnya kosong. Lalu diisi lagi, begitu terus. Agar kue tersebut mudah dicerna, sebelum disajikan, Basith Has memotongnya kecil-kecil.

Saya mencoba abadikan momen ini dengan kamera. Ketika itulah Rektor UIB Handoko setengah berseru, “Ini Pak Riza, Gus. Dia wartawan Batam Pos, Koran terbesar di sini (Kepri).”

“Batam Pos itu grup Jawa Pos, Gus, pimpinan Pak Dahlan Iskan,” Hendrawan membantu menjelaskan.
“Oh ya?” Tanya Gus Dur sembari menegakkan pandangan. Dari arahnya tampaknya dia berusaha menangkap “gambar” saya.
“Dia dari Jawa Timur, dulu di Surabaya, kuliahnya di Malang,” kembali Handoko mengenalkan saya."
“Asli saya dari Pulau Bawean, Gus,” saya buru-buru menimpali, tak enak diperkenalkan terus.

“Daerahnya luas?” tanya Soehendro penasaran.
“Ah tidak Pak. Belum selesai saya menjelaskan, Gus Dur sudah memotong. “Lha wong hanya dua kecamatan kok,” katanya. Rupanya Gus Dur sangat mengenal Bawean. Mungkin karena dulu dia memergoki maneuver F 16 Amerika di atas pulau ini.

Dari sini, Gus Dur ternyata punya banyolan soal orang Bawean. Dia berkisah, pernah ditanya tentang dari mana asal Syeh Abdul Qadir Jaelani. Dasar Gus Dur dia menjawab, “Ya endak tahu. Orang Bawean kali, ha ha ha…”

Selanjutnya Hendrawan menanyakan berapa penduduk Bawean, “Banyak ya Mas?”
Saya terangkan, bahwa hanya sedikit. Semuanya banyak merantau. Pada abad 16 pulau ini ditaklukkan Cakraningrat dari Sumenep, akhirnya terjadi akulturasi. Hingga kini penduduknya masih menggunakan bahasa Sumenep.

Gus Dur menyimak paparan saya, sembari menyantap sebuah pisang goreng yang telah dipotong kecil-kecil oleh Basit tadi. Sesekali bibirnya meniup-niup, maklum, pisang goreng itu masih panas, sebelum kemudian menyantapnya.

Setelah itu dia mulai berkisah keinginannya memperjuangkan Bawean menjadi Kabupaten yang berdiri sendiri, lepas dari Gresik.
Saya penasaran, bagaimana caranya. “Kami masih minus Gus?” Tanya saya.

“Kan bisa digali sumberdaya kelautannya?” timpal Hendrawan, seolah memberi saran.
Mendengar ini Gus Dur menerangkan, “Tiap hari harus ada penerbangan!” katanya.
“Apa lapangan terbangnya sudah ada Mas?” penasaran Hendrawan.
“Baru akan dibangun. Sementara terkendala pembebasaan lahan. Biasalah lah,” jawab saya.

“Ya, nantinya ada pesawat terbang dari Bawean menuju Sembilangan, yang berada di pantai baraat Madura,” jawab Gus Dur.
“Ya, nanti jadi tak terisolir,” sebut Soehendro.

Saya menjelaskan, sebenarnya di zaman kolonial Pulau Bawean sudah dijadikan tempat transit bagi armada-armada dagang, baik dari Palembang, Jawa, Bugis bahkan Arab. Sebab, letaknya sangat strategis, berada 80 mil utara Surabaya, bertetangga dengan Kalimantan dan Sumatera.

“Di Singapura dan Malaysia, kalau memanggil orang Bawean disebut ‘Orang Boyan’,'' lanjut Gus Dur.

“Oh ya,” hadirin pun tertarik, saat itulah saya menjelaskan bahwa memang warga Bawean sudah merantau ke negeri di Semenanjung sejak abad 16.

“Wah Gus Dur ini sangat memahami Indonesia ya. Bawean saja tahu. Opo simng ora weruh?!” timpal Handoko, sayapun mengatakan bahwa merasa terhormat, daerah saya yang terpencil dibahas di meja orang-orang besar itu.

"Saya berterima kasih Gus..."

"Apa?"

"Ya saya merasa sangat terhormat, Gus Dur masih bisa mengingat daerah saya yang terpencil," ujar saya.

Selanjutnya obrolan beralih pada anekdot lagi. Kali ini Gus Dur mengisahkan, saat Mbak Tutu (Siti Hardiyanti Indra Rukmana) menjabat Mentri Sosial, dia sempat bertanya tentang pabrik restu-nya. Mendengar ini Tutut menjawab, “Wah, sekarang malah menjadi industry Gus, lengkap dengan pemasarannya!” sebutnya.

Di sela-sela keriuhan itu, Sulaiman masuk. “Jalan sekarang Pak?” tanyanya ke Gus Dur. Gus Dur mengangguk. “Saya ini ya terserah yang ngundang saja,” jawabnya.
Namun, saat yang bersamaan panitia mengatakan bahwa masih nunggu mobil yang akan membawa ke UIB. “Sri Sultan juga masih di lobi Gus,” jelas seorang panitia lain.

“Oh, kalau begitu saya mau ngobrol dengan Sri Sultan lagi,” kata Gus Dur. Mendengar ini, beberapa penitia langsung menemui Sri Sultan. Tak lama meja-meja kembali di siapkan. Sri Sultan mau masuk kembali ke ruang privat itu.

Kembali lagi, Gus Dur dan Sri Sultan bertemu. Kromo inggil lagi. Kali ini mereka duduk berdekatan di meja. “Saya dengar di tivi-tivi mau nyalon lagi,” begitulah kira-kira terjemahan pertanyan Gus Dur pada Sri Sultan.

“Dukung kulo, mboten Kyai? (dukung sya atau tidak?)” canda Sultan. Gus Dur pun hanya tersenyum. Sultan pun lalu bertanya apa Gus Dur mau nyalon. Menurut Gus Dur, dirinya sama dengan Sultan, terus menerus diminta nyalon. Ya udah, mengalir saja.

“Nanti (di acara UIB) kita tampil ya Kyai?” Tanya Sultan. “Ya, tapi (kulo) saya duluan,” jawabnya.

Selanjutnya ikut masuk menyusul Sultan, Muslim Abdurrahman dan seorang wartawan senior Kompas. Mereka pun salam-salaman pada Gus Dur, lalu berfoto bersama. “Ini wartawan Kompas Gus,” kenal yang lain.

Mendengar ada wartawan Kompas, Gus Dur berucap, “Saya ini baru kirim opini ke Kompas. Tapi belum dimuat.”

“Sebentar lagi dimuat Gus,” timpal yang lain.
“ya gimana mau dimuat, lha wong masih dibaca sama Jacob Utama (bos Kompas). Kalau (media) yang lain, hanya redaktur saja yang meriksa. Ini Jacob Utama langsung,” katanya disambut tawa yang lain. Sementara si wartawan yang disinggung hanya ikut tertawa.

Pertemuan berbahasa Jawa ini tak berlangsung lama. Panitia acara di UIB sudah menunggu untuk Gus Dur. Selanjutnya orang-orang besar ini menuju deretan mobil dan forrijder yang telah menunggu di mulut lobi.

Gus Dur kembali masuk ke Mercedes yang sama, ditemani Basith Has dan Soehendro Gautama. Sedanghkan Sri Sultan, memilih naik bus mini bersama rombongan lain. “Di sini sama saja kok,” ujar raja Yogya itu.

Tidak ada komentar: