Selasa, 11 November 2008

Firman Jaya Daely

Satu lagi calon anggota DPR RI daerah pemilihan Kepri yang saya temui. Kali ini adalah Firman Jaya Daely, celeg PDIP.

Pertemuan dengan Firman dihelat ruang tamu istana Soerya Respationo, Ketua DPD PDI Perjuangan Kepri yang kini menjabat Ketua DPRD Batam.

Saat bertemu, Firman tak seperti yang tampak di foto. Badannya kecil, tingginya hanya 150 cm. Kulitnya bersih. Rambut keritingnya mengingatkan saya akan wajah Andi F Noya, presenter kondang Kick Andy.

Firman saat ini menjabat ketua DPP PDIP. Dulu pernah duduk di DPR dapil Sumatera Utara, periode 1999-2004. “Ketua umum (Magawati Soekarnoputri) memberi mandat pada saya untuk mewakili Kepri di DPR,” tegasnya.

Selanjutnya kami pun terlibat perbincangan hangat. Adapun perkenalannya terhadap Kepri dimulai, saat dia gigih merumuskan pemekaran Kepri menjadi provinsi, lepas dari Provinsi Riau.

Saat itu dia rasakan memang cukup berat, mengingat banyak penentangan dari beberapa pucuk pimpinan baik eksekutif dan legislatif di Riau.

Karena itulah, nilai historis Kepri terus melekat di benaknya. Dia ingin agar suatu saat Kepri lebih maju lagi. “Posisinya sangat strategis, menjadi gerbang internasional. Selain itu memiliki sumber daya yang besar. Maka itu, daerah ini harus terus dibuka,” ujarnya.

Sebagai politisi kakap, Firman menag cukup santun. Suaranya pun mengalir lembut. Yang menarik, selama diskusi tak sekalipun Firman memotong apalagi merendahkan lawan bicaranya.

Semua hal yang saya sampaikan padanya, selalu dia simak dengan baik, lalu dijawab dengan baik pula. Kalau ada yang menurutnya janggal, langsung diluruskan. Katanya supaya tak terjadi salah penafsiran.

Hal ini tampak saat saya bertanya apa program dia saat kelak terpilih menjadi wakil kepri di DPR. Mendengar kata “program”, Firman langsung meluruskannya.

“Saya rasa bukan ‘program’ karena tugas anggota DPR bukan membuat program. DPR hanya sebagai legislasi saja, jika nanti ada aspirasi dari bawah tugas merekalah yang menyampaikan ke eksekutif. Untuk itulah DPR harus banyak turun, menyerap aspirasi masyarakat yang diwakilinya,” jelasnya.

Firman memang orang lapangan. Turun lapangan sudah menjadi lalapannya sejak dulu. Tak heran, saat baru sampai di Batam saja, Firman sudah tak sabar mengunjungi masyarakat pulau, di samping program lainnya dengan mengunjungi beberapa kantor media cetak dan elektronik.

Mula perkenalannya di dunia politik pun bukanlah dimulai dari balik meja. Sejak SMA dia sudah aktif pontang-panting di Osis. Di PDIP sendiri, Firman memulai karirnya di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), sebuah lembaga pemikir dan peneliti di bawah komando Kwik Kian Gie.

Hingga akhirnya, Firman terpilih menjadi anggota DPR termuda dari PDIP. Pada saat itu usia baru 31 tahun. Sedangkan rekan-rekannya di Balitbang banyak yang diangkat menjadi mentri, baik di era Megawati hingga saat ini di era SBY.

Berganjak dari latar belakang itulah, kinerja Firman selalu terencana dengan baik, bukan latah, siang dibuat, malam dirombak. Firman tak hanya paham teori, namun juga realitas lapangan dengan apa yang dia sebut data empiris.

Untuk mendukung kinerjanya itu, Firman banyak melalap buku bacaan. “Sejak kecil saya memang suka baca,” ujarnya. Makanya, hingga saat ini koleksi buku bacaan Firman memenuhi ruang kerja bahkan hingga ke kamar tidurnya.

“Di ranjang saya, juga ada buku-buku bacaan,” jelasnya.
“Wah, Pak Firman ini mirip Mao Ze Dong ya?” celetuk saya. Firman hanya tersenyum.

Seperti diketahui, pemimpin China Mao Ze Dong juga gemar membaca. Sampai-sampai separuh ranjangnya yang besar berisi buku bacaan. Umumnya buku bacaan Mao adalah satra. Dulu di sekolah dasar, Mao juga belajar membuat puisi, sebagai ajaran wajib penganut Konghucu.

Lalu, buku bacaan apa yang menjadi kesukaan Firman? “Tentu, saya suka buku (yang mengupas soal ilmu) hukum, sesuai bidang yang saya geluti saat ini,” jelasnya.

“Apa Mas Firman tak suka membaca buku biografi?”
“Tentu, suka. Namun buku itu saya pakai bukan untuk mencontoh sosoknya, melainkan sebagai landasan berpikir saja,” ujarnya.

Selanjutnya, sepereti biasa, saya tak lupa mengingatkan Firman akan bahaya laten membaca buku. “Hati-hati Mas, juka tak ada komparasi dengan kenyataan lapangan, membaca buku itu biasanya bikin orang introvert dan antisosial!”

“Oh, tentu saya tahu itu. Kan penelitian soal itu juga saya baca. Saya ini adalah seorang peneliti, jadi setiap data yang saya peroleh tentu saya lihat data empiris di lapangan,” ujarnya.

“Syukurlah Mas.”

Yang menarik dari perbincangan ini, ternyata Firman alergi foto. Hal ini saya buktikan ketika di tengah diskusi beberapa kali saya jepret, Firman langsung hilang konsentrasi. Kadang dia langsung terdiam, lalu mengulang lagi pebicaraan dari awal. Hingga akhirnya saya sadar dan memutuskan tak lagi memotret Firman saat dia berbicara.

Sisi lainnya, Firman ternyata penyuka warna hitam, mirip Permadi, politisi senior dari PDIP juga. Saat pertemuan dengan saya, Firman memakai kemeja hitam dan celana kain warna senada. Tak hanya itu, Firman juga memiliki koleksi jaket hitam juga.

“Koleksi pakaian hitam saya memang banyak,” akunya.
“Kenapa suka hitam?”
“Ya, simple saja,” jawabnya.

Tidak ada komentar: