Selasa, 25 November 2008

Menjelajah Pulau Terung (1)

Selasa 25 November, saya menjelajah ke Pulau Terung, ikut rombongan Ketua OB merangkap Ketua Dewan Pengusahaan Kawasan Mustofa Widjaja. Kedatangan kami atas undangan ketua Forum Silaturahmi Kebangsaan Abdul Basith Has.

Speedboad fiberglass putih, bertulis bida – I, dengan setia menunggu di sisi kanan dermaga Pelabuhan Internasional Sekupang. Sesekali badannya yang sebagian berlumut kehijauan itu, bergoyang digoda ombak.

Boat ini baru tiba sekitar pukul 13.00 dari pool-nya di Marina, setelah menerima perintah untuk mengantar petinggi OB ke Pulau Terung. Tiga mesin masing-masing 200 PK merek Yamaha, berderet rapi di belakang, membuat boat ini memiliki kecepatan cukup andal.

Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 14.50 Mustofa Widjaya, dengan amsih mengenakan seragam kebesarannya, stelan abu-abu lengan panjang, tiba bersama beberapa kepala stafnya. Bersamanya ikut Basith Has yang juga membawa beberapa orang kepercayaannya.

Selanjutnya, kamipun masuk dari pintu depan melewati ruang kemudi seluas 1x2 meter. Idrus sang nakhoda, sudah siap dengan panel-panel untuk membawa para petinggi ini mengarungi laut. Tangannya tak henti meraba kemudi kecil, dekat sebuah kompas bulat.

Dari ruang kemudi ini ada pintu ke kabin penumpang. Jaraknya hanya dipisahkan skat tipis, sehingga meski pintu ditutup, nakhoda masih akan mendengar suara percakapan di kabil pun sebaliknya.

Di kabin penumpang ini, kondisnya sangat sederhana. Lebarnya hanya 4 meter, panjang sekitar 10 meter. Interiornya minim, tak ada wallpaper dan karpet mahal. Yang ada hanya dinding fiberglass putih.

Beberapa lembar tirai biru menutup jendela, setia lindungi penumpang dari terjangan sinar matahari. Kaca di jendela pun sudah buram, membuat pandangan terbatas saat akan melihat penorama laut.

Di bagian depan kabin, ada dua sofa kecil warna abu-abu, terpasang setengah lingkaran di kanan kiri, cukup untuk duduk masing-masing tiga orang ukuran sedang. Sebagian kulitnya yang berbahan vinyl itu sedah mengelupas.

Di tengah sofa ada sebuah meja kayu kecil, ukuran setengah meter yang kaki-kakinya dipancang dengan baut. Di belakang sofa inilah, berderet 12 kursi penumpang menghadap ke depan. Warnanya juga abu-abu. Yang mengenaskan melihat lantainya, hanya berlapis semacam terpal warna merah kusam.

Agar tak jenuh, di sisi kiri atas kabin terpasang televisi Sony 14 inc. Saat itu siaran yang kami saksikan adalah sinetron Indosiar. Sepanjang perjalanan, hanya gambar yang bisa dilihat, sebab suara sudah hilang ditelan deru mesin boat. Itupun kadang terang, kadang juga tidak.

Selain suara masuk ke kabin, bau bensin pun kadang menyeruak tajam ke kepala. Sesekali bau ini diusir oleh parfum di atas pintu depan, yang menyemprotkan aroma bunga lili setiap 15 menit.

Sepanjang perjalanan Mustofa duduk sofa beberapa kepala stafnya. Dia mengambil posisi di pojok kanan, sedangkan Basith di kiri. Selama itulah, mereka terlibat perbincangan santai. Saat itu Basith banyak memaparkan tentang kondisi Pulau Terung.

Pulau terung masuk Kecamatan Belakangpadang, letaknya tepat di tengah antara Batam dan Karimun. Dulu tahun 1912, sebelum Belakangpadang bahkan Batam sendiri ada, di pulau ini sudah dibangun Sekolah Rakyat (SR), ngajar orang Belanda.

Keutamaan ini berdasar, karena Pulau Terung adalah tempat pemandian raja-raja. “Letaknya di bawah Masjid Raya, di sana ada kolam besar,” papar Basith.

Pulau Terung juga menjadi saksi sejarah saat Indonesia konfrontasi dengan Malaysia. Di sinilah Soekarno membangun basis KKO. “Banyak juga dari personelnya yang dapat (menikahi) orang sini (Pulau Terung),” lanjut Basith.

Mustofa menyimak. Selanjutnya, gantian dia bertutur, kadang melempar kisah lucu, kadang juga masalah serius, seperti kondisi krisis keuangan duania hingga peralihan lembaga yang dipimpinnya.

Druk… Druk… Druk… Suara keras berkali-kali memukul bawah boat, membuat penumpang kaget. Rasanya ibarat mobil terperosok jalan berlubang. Padahal, Idrus sudah mengurangi laju boat, dari semula yang hanya 45 km perjam. Sebab, ada peraturan tak tertulis untuk mengurangi kelajuan, mengingat di perairan yang dilewatinya banyak terdapat lahan nelayan.

Basith yang asli Pulau Titupun melongok ke jendela. “Kita sudah sampai. Sebentar lagi merapat,” katanya. Ternyata benar. Sekitar pukul 15.30 atau sekitar 40 menit, kami mendarat di pelantar Pulau Terung.

Untuk menuju daratan, kami masih menaiki tangga pelantar. Sebuah gapura bercat kusam, menyambut kami. Sesaat saya mengamati, sekitar 75 persen penduduk di sini menggantungkan nafkahnya pada hasil ke laut.

Rumah-rumahnya banyak dibangun di bibir pantai, antara satu dan lainnya dihubungkan pelantar kayu yang kaki-kakinya tertancap kokoh ke dasar laut. Di antara kaki-kaki tersebut, terparkir jongkong dan perahu penduduk setempat, sebagai senjata mengais nafkah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

berarti pulau terung termasuk pulau bersejarah ya... selain hasil laut, apa lg yg dihasilkan dr pulau ini? hasil lautnya langsung dijual dimana?