Sabtu, 22 November 2008

Jangan Dibaca, Menyeramkan

Saya mohon, jangan membaca tulisan ini. isinya sangat menyeramkan, apalagi kalau Anda memiliki sifat penakut. Please jangan dibaca.

Saat ini di Batam bertambah panas. Panas dalam segala hal. Semua ini merupakan imbas krisis keuangan dunia lalu diperparah dengan kenaikan tarif PLN hingga mencapai 16 persen, di awal Oktober lalu.

Sebelumnya saat panas menyerang, orang bisa ngadem di mall. Sambil lihat-lihat barang pujaan. Ya lihat-lihat saja, beli tidak. Namun ini sudah menjadi hiburan tersendiri.

Namun kini, tidak lagi. Di Mega Mall, salah satu mall terbesar banyak tenant yang sudah mengurangi hawa AC-nya. Matahari misalnya, sudah mulai agak panas (mungkin menyesuaikan dengan namanya ya? He he he).

Akibat AC kurang dingin, membuat ruangan di toserba terlaris di Indonesia ini bau baju. Tak hanya itu, salah satu eskalator-nya (yang turun) sudah dimatikan. Jadilah kita jalan kaki.

Ke hypermart, juga tak ada bedanya. Di tempat penjualan barang-barang elektronik juga tak lagi dingin. Demikian pula di deretan rak pajang. Yang masih terasa dingin hanya di lemari tempat menyimpan sayur dan es krim saja.

Sialnya lagi, suasana dingin ini malah beralih pada wajah para penjaga tokonya. Senyum ceria tak lagi ada. Dulu saat ada pengunjung mereka menyapa dan menyambut ramah, namun kini tak ada lagi.

Mungkin mereka sudah pada stress, bos marah-marah terus, penjualan menurun, cash flow nihil, sementara mister dolar naiknya minta ampun, nyonya rupiah tak lagi mempesona. Ancaman PHK di ambang mata.

Mematikan AC dan eskalator, sengaja diambil pihak mall untuk penghematan. Kenaikan tarif PLN hingga 14,8 persen membuat tagihan rekening yang dibayar perbulannya membengkak hingga 60 persen. Jika dulu hanya Rp100 juta, kini jadi Rp160 juta!

Kok bisa bayar lebih 60 persen? Kan kenaikannya hanya 14,8 persen? Ya iyalah, masak ya iya dong. Kan dalam tarif listrik konsumen tak hanya dikenakan biaya tak tetap (variable cost) saja, juga ada biaya tetap (fix cost). Artinya, dipakai tak dipakai ya sama aja, tetap bayar.

Biaya tetap inilah yang juga mengalami kenaikan, ikut menyumbang pembayaran pada kenaikan biaya tak tetap. Bingung kan? Baca aja udah bingung, gimana lagi yang bayar?

Ke kawasan Industri lebih parah lagi. Bukan di sana panasnya sangat panas. Sudah lebih 17 perusahaan pemodal asing menyatakan diri akan tutup, karena hilangnya order akibat dampak krisis keuangan global ini. Ribuan karyawan pun tak bisa diselamatkan lagi.

Kenapa tak ada order? Karena pemesan tak lagi memproduksi. Kenapa? Karena kesulitan liquiditas. Tak ada duit. Uangnya sudah habis akibat anjloknya harga saham dan harus membayar utang yang kian membengkak. Di kiris ini, uang triliunan pun bisa menguap bagai asap.

Karena itulah mereka memilih tutup, dari pada menanggung rugi yang kian menggunung. Meski ada yang masih bertahan, namun harus mati-matian dengan mengurangi jam masuk. Bahkan uang lembur yang diharap dari over time (OT), sudah tak ada lagi. Riwayat OT sudah tamat.

Efek domino yang terjadi akibat krisis keuangan di AS ini, tentu saja menimpa usaha yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan. Misalnya bank, asuransi dan kredit. Di Amerika Citigroup telah mem-PHK ribuan karyawannya, menyusul tutupnya 20 bank swasta.

Sedangkan di Indonesia, Bank Century sudah masuk ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Riau Pulp and Papper juga telah berhenti produksi karena tak adanya pasokan.

Selain itu, sektor kredit-mengkredit tak kalah babak belur, setali tiga uang dengan sektor properti yang mulai ngos-ngosan. Bunga KPR terlalu tinggi, banyak konsumen menahan diri.

Sektor kendaraan bermotor juga tak kalah seram. Susah jual akibat bunga tinggi, sedangkan krediturnya susah bayar. Mau bayar dari mana? Uang dari mana? Perusahaan tempat dia bekerja sudah mau tutup. Ancaman PHK di mana-mana, kriminalitas mulai mengintai dan mengancam.

Ampun.

Runtuhnya salah satu sektor usaha ini terus bergerak, saling tindih, meruntuhkan sektor yang lain. Ibarat susunan balok-balok di iklan TV Sony Bravia, satu yang runtuh menimpa yang lain, menimpa yang lain, menimpa yang lain, begitu terus.

Inilah mengapa ada bisnisman yang menganalisa krisis ini lebih buruk dari yang terjadi di tahun 1930-an. Seperti apa itu? Saya tak tahu pasti, karena saat itu saya masih di alam azali, entah di mana.

Namun orang tua saya pernah bercerita, dulu orang tuanya bercerita bahwa di kampung kami ada seorang haji bernama Zainuddin. Orang ini adalah konglomerat besar di kampung kami, namun hanya dalam sekejap jadi orang miskin.

Mengapa? Karena berkarung-karung uangnya (karena dulu orang tak menyimpan uangnya di bank konvensional seperti saat ini) harus digunting, akibat nilainya anjlok. Yang Rp100 hanya jadi Rp1!

Ampun.

Oh tenang, kan ada Bang Barrack Hussain Obama, pasti keadaan lebih baik. Anak Menteng gitu loh. Bagaimanapun negara ini pernah menjadi tanah masa kecilnya.

Apa memang demikian? Bukankah Obamalah yang telah bersumpah akan memerangi teroris, khususnya akan menutup madrasah-madrasah yang dinilai ekstrim di Indonesia?

Bukankah Obama sangat mendukung akan negara Israel, karena dia merasa menjadi presiden atas dukungan kuat kaum yahudi Amerika?

Tentunya hal ini kurang berdampak bagus bagi Indonesia.

Apalagi, belum lagi menjabat, senat sudah meminta agar kerjasama pertahanan dengan Indonesia tak lagi diperpanjang, karena dirasa belum serius menangani pelanggaran HAM di Timor Leste.

Para analis AS juga menyimpulkan bahwa Obama bukanlah seorang yang bervisi ekonomi.

Dari uraian ini, ada sebuah pertanyaan, siapakah orang yang paling diuntungkan atas krisis ini? Ya siapa lagi, kalau bukan para politikus itu. Dari penderitaan inilah mereka mulai mengais-ngais simpati masyarakat. Bahkan, dari krisis inilah, kabarnya mereka juga bermain di kalangan pengusaha.

Maklum udah mau pemilu.

Sementara kita, rakyat kecil, hanya bisa terhibur oleh turunnya harga BBM yang hanya Rp500 perak itu. Sebuah langkah tak ihlas yang rupanya hanya menjadi bumbu kampenye dalam iklan Partai Demokrat SBY.

Akhirnya kita hanya bisa berkata, “Ah tak di-PHK saja sudah syukur.”

Tidak ada komentar: