Kamis, 30 Oktober 2008

Antara Aku, Kau dan Caleg Bokek

“Aduh… Caleg PKB sekarang bangkrut semua. He he he… Tapi Abang janji tetap bantu carikan siapa yang mau.” Begitu jawab Pak R, pejabat teras PKB Batam, saat saya menawarkan sebuah publisitas mingguan.

Di sini mereka hanya diminta membeli produk kami, gantungan kunci cantik, sebanyak 1.000 buah. Satu item Rp2000, jadi total Rp2 juta. Ini adalah harga pabrik, sebab harga jualnya sebenarnya Rp2.500.

Deretan caleg PPP juga tak kalah bangkrutnya. Adalah Pak M. Saat saya hubungi pertelepon dia menyambut antusias. Namun setelah saya sebut bahwa dia harus mengeluarkan uang Rp2 juta untuk membeli gantungan kunci cantik kami, tiba-tiba dia berkata.

“Oh gitu ya? Uang segitu sudah termasuk uang kopi untuk kamu kan?”
“Maksud abang apa?”
“Endak, kan saya harus tahu juga.”
“Sebenarnya saya hanya mau bantu Abang saja, mengingat hubungan dekat saya selama ini dengan ketua DPW dan DPC. Kalau harga aslinya Rp2.500.000 dengan hitungan Rp2.500 perbuah. Soal uang untuk saya, tak usahlah abang pikirkan. Saya udah dapat tiap bulan gaji dari kantor,” jelas saya.

Saya agak keki juga. Karena tiap kali menawarkan soal ini, selalu saja dipandang uang itu untuk saya. Ada juga yang nawar saya mirip pelacur di club malam. “Wah banyak kali. Lima ratus (Rp500 ribu) saja boleh? Kan cukup untuk kamu?”

Aku bingung juga. Kok saya selalu mereka identikkan dengan minta uang ya? Saya rasa ini pasti ada yang tak beres. Sistemnya-kah atau oknumnya? Sebab tak mungkin ada pomeo atau stereotype jika tak ada realitas yang meneguhkan persepsi.

Bahkan, ada Ak humas di salah satu Pemda, saat saya telepon untuk minta komentarnya saja, dia bilang, “Wah sori, untuk saat ini kami tak punya anggaran untuk Anda!”

Saya pun berang, lalu saya bentak saja.

“Hei! Saya nelepon Anda bukannya minta uang. Saya murni hanya minta pendapat Anda saja. Tak lebih dari itu!”
Lalu si humas yang mantan wartawan ini buru-buru meralat, “Oh ya, boleh komentar soal apa ya?”

Kembali ke Pak M tadi.

Mendengar jawaban saya, dia berkata, “Kalau begitu Abang harus konsultasi dulu sama tim Abang. Nanti saya telepon balik ya?” ujarnya. Aku bingung, kok tiba-tiba ngomong begitu? Kan tadi sangat antusias? Bahkan mendesak ketemu segala.

Tak lama lamunanku buyar oleh dering ponsel. Pak M nelepon balik. “Setelah saya konsultasi dengan tim saya, kayaknya tidak dulu deh. Tak ada tenaga kami untuk membagikan-bagikannya.”

Pak AH, juga dari PPP provinsi, lain lagi. Dia seperti para caleg lain, lapor ke bos besar. Katanya publisitas mingguan tak adil, hanya ngangkat partai tertentu saja.

Saya pun lalu mengontaknya. Lalu mengatakan, persyaratannya harus beli seribu buah produk kami, Rp2 juta! Dia pun menyanggupinya.

“Tapi sekarang (Senin) saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam. Mungkin Selasa”
“Oke, saya tunggu maksimal hari Rabu ya?” balas saya. Dia menyanggupi.

Namun saat Selasa ditelepon, jawabannya, “Saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam.”

Hingga sore tak ada kabar. Rabu pagi saya hubungi, jawabannya “Saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam.” Hingga Kamis, saat ditelepon dia sudah tak mau angkat.

Sebenarnya saya sudah paham akan diperlakukan seperti ini. Selama ini AH memang dikenal sebagai ''Si Mulut Besar dari Timur''. Baginya, berjanji palsu itu ibarat menarik bernafas. Sangat biasa dan rutin. Ibaratnya berjanji palsu untuk hidup, hidup untuk berjanji palsu.

Ke PDIP, juga sama. Namun, mereka lebih berterus terang. “Maaf pak, untuk saat ini belum dulu. (pemilu) Masih jauh. Nanti tahun depan saja,” ujarnya Cak N.

Bagaimana dengan PAN? Sama saja. Saat dilobi, Pak EB bilang bersedia, “Besok telepon saya ya?” ujarnya. Namun, ketika saya telepon selalu bilang sibuk dan sebagainya, hingga satu minggu tak ada kabar berita.

Ada lagi Pak AD. Setelah saya kasih diskon separuh harga, Rp1 juta, dia bersedia. Namun, setelah publisitasnya terbit, AD yang juga humas salah satu perusahaan di Batam ini, malah susah bayar.

Rupanya akibat keseringan menerima komplen dan cacian dari pelanggan, membuat jiwanya kebal akan komplen dan cacian itu sendiri. Sehingga, tagihan hingga surat peringatan yang dikirim ke kantornya tak juga meruntuhkan rasa malunya.

Bahkan SMS bernada agak kasar yang saya kirim pun juga tak digubris. Benar-benar kebal. Kebal benar-benar. Mestinya Ad harus segera menemui psikiater, atau ke rumah sakit jiwa terdekat saja.

Apakah kini sudah dibayar? Entahlah.

Lebih sakit lagi saat melihat foto dia dengan senyum khasnya selalu naik di Batam Pos. Seolah mengejek, “Nah lihat neh, gua masih diperlukan juga kan? He he he, kaciaaan deh lu.”

Terakhir saya tahu, kalau Pak AD sudah dicoret dari daftar caleg partai yang dipelesetkan menjadi Partai Artis Nasional itu. Katanya, dia tak mau mengeluarkan dana untuk keperluan kampanye.

Ya wajar sajalah. Gimana mau ngeluarkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, sedangkan bayar uang publisitas Rp1 juta saja susahnya minta ampun. Di dunia ini mana ada yang gratis, makanya kalau memang tak mampu atau medit tak usah belagu mau jadi caleg segala.

Begitulah lika likunya. Makanya, lebih sakit lagi rasanya, ketika si caleg sudah mau, ternyata produknya tak diantar. Jadi, apakah saya harus melobi, mengantar lalu menagih juga? Ampun.

Hingga kemarin saya mendengar divisi pemasaran, eh salah, maksud saya departemen pemasaran (departemen atau masih divisi ya? Bedanya apa?) mengumumkan menaikkan harga produk kami, dari Rp2.000 menjadi 3.000 perbuah.

Ya udah, bagaimana lagi. Yang penting sekarang harus lebih maksimal lagi kerjanya. Tunggu dulu, “maksimal”? Memangnya seperti apa kerja yang maksimal itu? menurut Anda bagaimana?

Sudahlah. Ini hanyalah sebuah occupation hazard.

Tidak ada komentar: