Sabtu, 18 Oktober 2008

Stockholm Syndrome

Kisah ini bermula di Stockholm, Swedia. Kala itu, terjadi penyekapan beberapa warga setempat oleh penjahat.

Dalam situasi ini, para korban ketakutan dan sangat berharap pasukan pemerintah datang menumpas kawana begal itu dan membebaskan mereka. Namun, lama ditunggu tuan penolong yang mereka harapkan belum juga muncul.

Akibat harapan yang terlalu tinggi ini, menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Kini situasi berbalik, para korban yang semula membenci si penjahat berbalik malah memujanya.

Bahkan semakin buruk perlakuan yang diterimanya dalam sekapan, makin dalam pula dukungannya akan aksi penjahat tersebut.

Saya kurang pasti bagaimana akhir dari kasus ini. Apakah pasukan pemerintah berhasil menumpas para penjahat? Lalu bagaimana nasib penjahatnya? Dihukum apakah mereka? Lalu bagaimana nasib para korban? Apa mereka trauma, atau malah berhalal bi halal dengan penjahat yang menyebabkan mereka menderita tadi?

Entahlah. Sebab, yang menarik dari kasus ini bukanlah alur ceritanya, melainkan dampak yang disebabkan peristiwa ini banyak melahirkan film-film Hollywood bertema seorang korban penculikan yang mencintai penculiknya. Seperti dalam film The Chase yang dibintangi Charles Sheen.

Dan yang lebih penting, dampak peristiwa ini telah melahirkan sebuah analisa ilmu psikologi yang disebut Stockholm Syndrome.

Kita atau kawan kita tentu pernah mengalami kisah (kondisi jiwa) yang mirip dengan Stockholm Syndrome ini. Bahaya Sindrom ini memang tak bisa dirasakan langsung, namun sangat menghawatirkan dan menular. Karena sifat manusia itu sendiri tak lepas dari pengaruh lingkungan.

Meski sindrom ini sangat mudah disembuhkan, namun gampang juga kumat. Indikasinya hanyalah harapan dan kekecewaan tadi.

Dalam keseharian mungkin kita kerap melihat, seorang karyawan yang kecewa dengan kebijakan bosnya, memilih mendukung (memuja) pesaingnya dan mendoakan agar perusahaannya bangkrut. Semakin hebat krisis di perusahaan tempat dia bekerja terjadi, semakin nyaring jua sorak sorai di hatinya.

Saking bangganya, sehingga di WC kantor pun sampai hati ditulis, “Selamat hancur (nama perusahaannya) oleh orang dalam, he he he!” Namun, saat kebijakan bosnya sudah dirasa tak mengecewakannya, maka dengan sendirinya Stockholm Syndrome ini akan hilang.

Kawanku pernah berkisah, dulu atasannya langsung sering memuji-muji bahwa perusahaan tempat dia bekerja sangat bonafid. ”Di sini kamu akan mendapat peluang cukup bagus,” katanya.

Namun setelah si atasan tersebut dimutasi oleh sang big bos, malah dia berkata sebaliknya, dengan mengisahkan perusahaan tempat dia bekerja sangat buruk. ”Cepatlah kamu ke luar, ngapain bertahan dis itu.” Katanya. Bahkan dia berani menuji perusahaan pesaing setinggi langit.

Atau contoh lain, seorang bos yang panik melihat sepak terjang pesaing, malah berbalik memuji-muji pesaing daripada timnya sendiri. Bahkan ketika bawahannya bertanya, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi pesaing, si Bos malah bilang, “Ya contoh saja bulat-bulat pesaing itu!”

Namun, saat timnya mampu melawan langkah pesaing, tentu saja omongan si bos ini tak lagi menebar sanjung puja pada pesaing.

Apakah mental Stockholm Syndrome sama dengan musuh dalam selimut atau penghianat? Menurut saya, tergantung kadarnya. Kalau hanya sebatas ucapan atau surat kaleng saja, masih belumlah. Beda apabila sudah menjadi sebuah tindakan, misal menjual rahasia perusahaan terhadap pesaing, tentu itu lain cerita.

Tidak ada komentar: