Minggu, 12 Oktober 2008

Surat untuk DPRD Kepri

Akhir-akhir ini koran-koran ramai mengungkap sebuah berita tentang anggota DPRD Kepri yang membahas APBD di sebuah hotel mewah di Batam.

Sebenarnya apa yang menarik dari berita ini? Memangnya tak boleh membahas APBD di hotel? So wahat gitu loh?

Kalau hanya dilihat sepintas sih memang tak ada yang aneh. Namun, mari kita amati lebih seksama lagi.

DPRD Kepri berdomisili di Tanjungpinang, tepatnya Pulau Bintan. Hal ini terkait peraturan daerah, yang mewajibkan semua kantor lembaga pemerintah maupun swasta skala provinsi, bertempat di sini.

Untuk itu Pemprov Kepri membangun gedung DPRD di daerah Dompak. Namun selama gedung permanen ini belum selesai, pemerintah provinsi menyewa sebuah gedung yang berada di Batu 12 arah Kijang (1 batu = 1 mil atau 1,6 kilo meter), sekalian merenovasinya. Anggran yang dirogoh mencapai Rp7 miliar!

Harusnya, semua kegiatan yang ada dilaksanakan di kota ini. Bahkan, seluruh anggotanya harus bermukim di sini. Sekadar diketahui, ada anggota DPRD Kepri ada 45 orang, sekitar separo berasal dari dapil Batam, seedang sisanya dari Tanjungpianng, Bintan, karimun, Natuna dan Lingga.

Namun apa kenyataannya? Selama ini banyak anggota DPRD Kepri masih enggan tinggal di Tanjungpinang, ngontrak rumah misalnya. Jadilah mereka tiap hari naik feri pulang pergi.

Efektifkah? Apa gaya semacam ini bisa menunjang pekerjaan mereka sebagai wakil rakyat? Mari kita lihat dengan mengambil contoh wakil rakyat dapil Batam.

Katakanlah wakil rakyat yang paling rajin, berangkat ke Tanjungpinang pada feri pertama pukul 08.00. Perjalanan feri Batam-Tanjungpinang memakan waktu satu jam, jadi sekitar pukul 09.00 mereka tiba di pelabuhan.

Selanjutnya, bermobil lagi menuju kantor DPRD yang berada 12 mil dari pelabuhan, jadi paling cepat 45 menit sampai di sana yang berarti pukul 09.45 baru tiba di kantor. Ini yang paling rajin, bagaimana yang tidak? Mulai jam berapa baru bisa ngantor?

Lalu, bagaimana saat ada pembahasan yang menuntut sampai malam? Tentu mereka tak bisa balik ke Batam, Karimun, Lingga bahkan Natuna. Karenanya, harus nginap yang umumnya di hotel.

Dari sini saja kita sudah mendapatkan gambaran berapa biaya yang diperlukan untuk transportasi saja, berapa biaya tiket PP feri, atau jika kadang nginap di hotel?

Terus bagaimana nasib mobil dinas mereka? Karena tak mungkin dibawa ke Tanjungpinang.

Dari pengamatan yang saya lakukan, umumnya anggota bagi anggota dewan dari Batam, mobil mereka diparkir di Pelabuhan feri Telaga Punggur (tempat penyeberangan ke Tanjungpinang). Namun ada kalanya yang melakukan sistem antar jemput.

Ini berarti, selama sang tuan berada di Tanjungpinang, selama itu pulalah mobil dinasnya nganggur. Lalu ke manakah roda-roda mobil dinas itu berputar?

Tak perlu dipungkiri lagi dan sudah menjadi rahasia umum, jika ada di antaranya mobil dinas itu beralih menjadi mobil keluarga. Lalu bensinnya dari mana, terus kalau rusak bagaimana? Apakah semua ditanggungkan ke anggaran transportasi yang nota bene didapat dari pajak rakyat? Ini yang mestinya harus jelas.

Kan kasihan rakyatnya, jika uang yang dia bayar ke daerah hanya untuk memanjakan kepentingan pribadi para oknum ini.

Sekarang kembali ke rapat di hotel tadi. Tentu bukan masalah rapat di hotelnya, melainkan mengapa harus di bukan di Kota Batam yang jaraknya terpaut puluhan mil laut dari Tanjungpinang?

Mengapa tak rapat di Tanjungpinang saja. Toh hotel-hotel di kota Gurindam ini –kalau meminjam istilah orang tempatan— berserak dan bersepak. Mau yang biasa atau kelas bintang lima pun ada.

Selain efektif, rapat di Tanjungpinang dapat menghemat anggaran transportasi sang wakil rakyang yang terhormat itu. Coba bayangkan, berapa ongkos feri yang dianggarkan untuk mengangkut mereka yang berjumlah 45 orang itu.

Kadang mereka tak sendiri, sebab masih membawa staf dan lainnya, belum lagi harus sewa kamar, makan, minum dan tentu saja SPPD-nya alias biaya perjalanan yang tiap orang jumlahnya cukup besar. Jadilah kian bengkak dan bengkak. Semua ini dibayar dari mana? Ya tentu dari APBD.

Tentu ini tak lucu, di tengah ngos-ngosannya pemerintah daerah mendongkrak APBD dan susahnya membuka sumber daya yang baru. Belum lagi rakyat harus dihadapkan oleh tekanan keuangan global yang memaksa mereka harus berhemat.

Dari semua ini, tak ada alasan lagi, segeralah dibentuk aturan yang benar-benar tegas agar semua anggota DPRD Kepri berdomisili di Tanjungpinang saja.

Sebenarnya apa alasan mereka menolak tinggal di Tanjungpianng yang nota bene dekat kantor?

Beberapa waktu lalu saya sempat mendengar dan membaca alasan keengganan mereka menetap di Tanjungpinang. Katanya, daerah ini belum siap menyambut mereka. Insfrasrtukturnya belum bagus, beda dengan di Batam. Banyak lagi alasan lain.

Ini tentu bukanlah jawaban seorang wakil rakyat yang terhormat. Mestinya, bukan sistem yang harus menyesuaikan pada mereka, tapi mereka lah yang harus menyesuaikan pada sistem. Ini jelas mengingkari komitmen yang diucapkannya sendiri saat pengambilan sumpah jabatan.

Kalau memang tak siap, ya mundur saja. Jangan dulu berebut mau jadi anggota dewan, namun setelah terpilih malah ogah-ogahan dan bersikap oportunis. Jangan hanya enaknya saja yang dikecapi, tapi pahitnya juga harus dirasakan.

Menjadi anggota dewan bukanlah untuk bermewah-mewah, namun harus menjadi tauladan terdepan di masyarakat. Jadi, jangan bicara soal untung rugi di sini sebab DPRD bukanlah gedung bursa saham.

Sebuah hikmah; suatu hari di kantornya, Umar bin Abdul Aziz kedatangan anaknya. Umar bertanya, ada apakah gerangan? Saat si anak menjawab ingin membicarakan masalah ekluarga, Umar langsung mematikan lampu, sehingga kantornya gelap gulita.

Si anak bertanya, ada apa gerangan. Umar menjawab, berbicara masalah keluarga tak baik jika harus menggunakan lampu yang minyaknya dibiayai dari uang rakyat.

Masyaallah. Ini baru masalah kecil, bagaimana lagi masalah yang besar.
Masih adakah anggota dewan di Kepri yang seperti ini?

Tidak ada komentar: