Sabtu, 18 Oktober 2008

Salat Jumat di Novotel

Usai menemui seseorang di Hotel Novotel Batam, Jumlat (17/10) lalu, saya terkurung hujan, Sementara jam sudah memukul angka 12.00. Bagi muslim seperti saya, ini saatnya harus menunaikan kewajiban salat Jumat. Namun mau salat di mana? Masjid yang terdekat saja jaraknya 1 km.

Sempat ada bisikan agar tak salat saja. “Hei, musafir tak wajib menunaikan salat Jumat. Bisa nanti dirapel di rumah!”

“Ah, alasan yang dicari saja itu. Rasulullah saja dulu jalan kaki 4 km dari rumahnya menuju Masjid Nabawi utnuk salat Jumat. Ini zaman moderen masih cari alasan saja. Masak takut sama hujan?!”

Di tengah debat dalam hati itu, saya memutuskan melangkah ke lantai dasar dekat ballroom.

Setibanya di sana, sayang bingung campur heran melihat banyak orang silih berganti keluar masuk ke ruang itu. Dari celananya yang diangkat setinggi lutut, saya tak yakin orang itu tengah menghadiri seminar.

Setelah saya amati lebih dekat, ternyata mereka akan melaksanakan salat Jumat. “O, rupanya orang-orang ini hendak mengambil air wudu.”

Girang, sayapun menanggalkan sepatu. Kebetulan pula, pihak hotel menyediakan sandal jepit karet merk Swallow untuk alas kaki jamaah saat berwudu.

Lalu saya ikuti ke mana arah orang yang hendak mengambilo air suci itu menuju. Ternyata mereka masuk ke toilet. Antreannya sangat panjang, hingga ke luar pintu masuk.

Sekadar diskripsi; toilet dekat ballroom Novotel ini berukuran 6x6 meter. Di dinding sebelah kiri ada sebuah kaca besar selebar 2 meter yang di bawahnya berderet tiga wastafel. Di sisi kanan, ada empat tandas untuk buang air kecil. Satu ukuran kecil satu lagi tinggi yang ditujukan bagi penyandang cacat.

Di antara wastavel dan tandas air kecil itulah, ada tiga ruang tertutup 1x1 meter yang di dalamnya ada toilet duduk untuk buang air besar. Di sinilah muara semua antrean itu. Rupanya, jamaah memanfaatkannya untuk ambil wudu dengan mengambil air dari selang sepanjang 1 meter di samping toilet duduk yang sedianya untuk membasuh usai buang air besar.

Selain mengambil wudu di sini, mereka bisa melaksanakan buang air kecil. Maklum, untuk buang di tandas kecil tentunya malu dilihat banyak pengantre. Meski begitu ada juga yang nekad buang air kecil di sana, tak peduli dengan mata para pengantre. Umumnya yang melakukan ini adalah anak muda.

Selain ambil wudu ruang di toilet duduk itu, ada juga yang melakukannya di wastafel. Caranya, lubang air di dasar wastafel ditutup. Begitu air sudah tertampung, mulailah mereka berwudu.

Tentu hal ini merepotkan, karena wastafel tidak dirancang untuk orang yang akan ambil wudu. Terutama saat hendak membasuh ke dua kaki. Mau tak mau, mereka mengggayung air di wastafel itu dengan kedua tangan untuk membasuh kakinya.

Melihat pemandangan ini hati saya sumpek. Tak tahan, lalu saya keluar menuju musala An-Naas yang berada di samping hotel. Nama An-Naas ini diambil dari nama Anas, panggilan owner Novotel yang seorang warga Tionghoa itu.

Meski berjalan agak jauh, dan harus hujan-hujan sebentar, namun saya puas. Saya bisa ambil wudu dengan baik. Namanya juga musala, tentu ada tempat wudunya. Barisan orang antre pun nyaris tak saya temui.

Usai ambil wudu, saya bergegas masuk ke Ballroom yang sudah difungsikan sebagai tempat salat itu. Saya perhatikan, di dalam telah terhampar karpet bermotif sajadah. Karena gedung Novotel asimetris dengan arah kiblat, maka karpet tersebut disusun melintang di sesuaikan dengan arah kiblat ke pojok kanan.

Mimbar khatibnyapun diambil dari mimbar (baca podium) konferensi dengan tulisan “Novotel” di tengahnya. Di sini saya memilih salat shaf paling depan, sekitar 2 meter samping kiri mimbar khatib.

Hingga khutbah dimulai, disini sang khatib mencermati soal banyaknya spanduk caleg non muslim, dibanding yang muslim, yang mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Menurutnya ini sangat membanggakan, namun kadang meresahkan.

Membanggakan, mengingat respon mereka akan Islam itu sendiri. Namun, hal ini dipandang meresahkan, kerena secara tak langsung mereka hanya memanfaatkan Islam untuk mencari simpati dari pemilih belaka.

Apalagi, ada kalanya bahasa-bahasa yang digunakan dalam spanduk kerap salah. Sehingga mengaburkan makna yang ada dan seakan mengolok-ngolok Idul Fitri itu sendiri.

Hal ini saya resapi memang cukup beralasan. Saat akan berangkat ke kantor, saya melintas di perempatan Simpang Frengki, Batam Center. Di sini banyak sekali spanduk caleg non muslim yang mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Yang bikin geli, saking “semangatnya”, ada kata-kata yang ditulis sampai keliru, mestinya Minal Aidin Wal Faidin, menjadi Minal “Aidil” Wal Faidin.

Tidak ada komentar: